Kegelapan pekat menyapa pemuda itu begitu matanya terbuka. Sesaat ia memandang lurus ke atas, lalu memejamkan mata lagi dan membukanya.
Namun hitam masih menyapa dan dia seperti melayang. Tenggelam tapi pada sesuatu tak berdasar.
Helaan napas berat meluncur dari bibir lelaki berema hitam itu. Dia melihat, tak ada gelembung udara di sini dan dia tahu dimana dia.
Heh. Fix, dia baru saja mati.
Oh bukan. Dia tidak bercanda. Jujur saja, lelaki berambut ikal ini tak bisa mengingat dengan persis sejak kapan, mengapa dan bagaimana ia bisa di sini, di dimensi ini. Sejak matanya terbuka kali pertama itu, ia tak mengingat apa pun. Mungkin cuma secuil fakta yang mengendap di kepalanya, seperti nama--jika dirinya adalah Cakrawala--dan dimensi ini bukanlah dunia.
Tempat ini adalah tempat singgah nyawa sebelum bereinkarnasi.
Cakra memejamkan matanya sejenak, dia merasakan tubuhnya. Masih sedikit berat. Hah, itu artinya belum sepenuhnya ia mati. Nyawanya masih ada yang berada di dalam raga.
["A-Yun ... A-Yun ..."]
Cakra mengerutkan kening mendengar sebuah suara yang familiar, tapi asing di satu sisi, menyapa gendang. Dia kemudian merasakan tangannya digenggam, lalu diangkat, ditempelkan pada permukaan kulit yang kenyal; pipi. Berikutnya ia mendengar cicitan depresi, lolongan frustasi, kembali menyebut namanya, ["Ye Xia Yun!"]
Di sini Cakra tahu, ah ... namanya di kehidupan ini, yang baru saja dia mati, adalah Xia Yun. Senyum kecil merekah di bibir Cakra, dia sepertinya melalang buana dan reinkarnasi ke setiap peradaban. Sebelum ini, ia ingat namanya sebelum ini Vayu, kehidupan sebelumnya lagi, Hyeon-U, dan sebagainya.
Hanya saja, Cakra cuma mampu mengingat sampai di situ saja. Dia bahkan tak tahu siapa yang memanggilnya, nama orang itu. Dia cuma ingat namanya dari kehidupan ke kehidupan. Tanpa mampu memanggil memori apa yang terjadi di kehidupan itu ... siapa yang terlibat dengannya di sana.
Dia hanya bisa mengingat apa yang terjadi di alam penantian ini.
Dan karena itulah dia yakin ... dia selalu mendengar suara ini sebelum ia mati.
Menyedihkannya, dia yang entah siapa itu selalu berada di sisinya, memanggil namanya. Suara itu hancur. Kesedihan mengarak. Dan ini membuat hati Cakra mencelos. Seolah ia ingin tak ingin laki-laki itu, menangisi kepergiaannya.
["M-maafkan aku A-Yun ..."]
Cakra menggigit bibirnya. Satu hal lain yang ia ingat, suara ini selalu meminta maaf padanya. Kenapa, ada apa, mengapa--tentu ia tak mengerti. Tapi tanpa luput barang satu kehidupan pun, orang itu, selalu meminta maaf.
["Kalau saja aku tak ada di sisimu, maka kamu ..."]
Cakra terdiam sejenak. Tanda tanya bercongkol di kepala mendengar suara ini: kenapa? Apa maksudnya?
Namun tentu Cakra tak mendapatkan apa yang ia pertanyakan. Suara bariton milik entah siapa itu lenyap, dia hanya mampu mendengarkan isak tertahan. Sebelum tiba-tiba genggaman tangan itu menguat. Hal yang entah bagaimana, seolah mematik sinyal bahaya pada Cakra.
Serius. Mata lelah Cakra seketika membelalak dan jantungnya berdegup cepat. Makin menggila ketika ia mendengar dia kembali berbicara. Nadanya lemah, tapi penuh determinasi, ["aku sudah memutuskan, A-Yun,"] jeda terjadi sejenak. Cakra merasakan punggung tangan dicium. Pipinya, keningnya ... kecupan hangat menghujani seiring derai air mata jatuh membasahi.
Lalu lirih, lelaki itu melanjutkan ucapannya,
["Aku merelakanmu."]
Cakra tersentak karenanya.
Rasa berat yang semula ia rasa karena nyawa dan kesadarannya masih tertinggal di dunia fana, hilang. Ia bahkan spontan terduduk dengan mata membelalak. Napasnya memburu, jantung pun berdebar kencang tak karoan. Dia tak mengerti kenapa, ini adalah hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Namun jelas ... takut bercongkol di sanubari.
Dia tak ingin mendengar ucapan itu ... entah mengapa ia tahu dia tak ingin direlakan oleh lelaki itu ... tidak! Tidak!
["Berbahagialah, di kehidupanmu yang berikutnya ..."]
Cakra panik. Ia perlahan membawa tubuhnya yang bergetar hebat, berdiri sembari menoleh ke kanan kiri. Untuk pertama kalinya, meski bergetar, ia menolak kehendak alam dan mencari sumber suara.
Hatinya menjerit. Dia ingin berteriak, 'jangan! Jangan ucapkan apa yang mau kau ucapkan!' tapi bibirnya hanya terbuka tertutup, tanpa ada satu pun nada meluncur dari pita suara.
Dan tanpa daya, ia mendengar lelaki itu melanjutkan,
["Berbhagialah meski bukan denganku."]
Muka lelaki berema ikal itu memucat. Apalagi ketika ia merasakan tangan yang menggenggam jasadnya itu melepaskan pagutan, ia segera berlari.
Seperti orang gila, ia menyusuri kegelapan, menoleh ke sana ke mari dengan ketakutan merajah wajah. Matanya memanas. Panas sekali ...
Air mata mengancam tumpah.
Tidak! Tidak! Jangan! Jangan menyerah! Ia kembali berusaha menyuarakan isi hati sambil menggerakkan tangan ke udara, meraup kekosongan. Harapannya ia bisa menggerakkan jasad mortalnya, menggenggam jemari lelaki yang terus menyayanginya dan meyakinkan ia untuk terus berjuang.
Sayang sekali ia tak bisa. Suaratan takdir ini terlalu berat untuk dia sanggah. Ia tak punya kuasa menolak apa yang telah dituliskan Dewa Dewi.
Berikutnya, tanpa bisa berbuat apa pun, Cakra merasakan tangannya lepas dari genggaman lelaki itu seutuhnya. Ditekuk sedemikian rupa hingga menggenggam tangan lain--tangannya sendiri.
Kemudian ia merasakan remanya tersibak. Sebelum pelan, penuh kelembutan sebuah kecupan diberikan.
["Selamat tinggal, sayang."]
Dan detik itu juga, selepas kalimat itu terlontar, Cakra berteriak, "tidak! TIDAAAK!"
Suaranya kembali dengan perlahan. Mula-mula kecil, lalu makin lama makin keras dan berbuah menjadi lolongan menggelegar.
Sakit. Cakra merasakan dadanya perih sekali, sesuatu seolah habis direnggut paksa dari dalam relung, sisakan lubang yang menganga.
Dia tak ingat siapa yang mengatakan itu. Tak tahu siapa.
Namun kini ia merasakan kehilangan.
Kehilangan yang amat dalam.
Sebelum pijakannya bergetar tiba-tiba.
Cakra terjatuh.
Terhisap masuk di tengah kegelapan.
Lalu sedetik sebelum kesadarannya hilang, Cakra mendengar suara itu kembali bicara.
["Sampai kapan pun aku tetap mencintaimu, Cakrawala Pangestu. Meski kau bukan untukku."]
Dan semua menjadi gelap.
[]