Arais masih duduk di rerumputan. Memegang koran yang berubah basah karena dipegang oleh tangannya. Wajah sedih yang tadi terlihat, kini berubah geram. Arais yang baik kini sudah berubah jahat. Ada seribu rencana licik yang ingin dia lakukan untuk menghancurkan dua musuh besarnya. Iranela dan Pranaya.
Waktu yang sudah semakin gelap membuat Miraila mengajak untuk pulang. Mereka menaiki tanah yang tinggi. Miraila cukup kesusahan hingga dia pun harus berpegangan pada tangan Arais yang terulur untuk membantunya. Wajah bersemu merah tertutup kerudung usang membuat Arais tak bisa melihat kalau sekarang Miraila sedang salah tingkah.
'Kok, tangannya halus banget? Kayak gak pernah kerja kasar? Harusnya tangan Miraila kasar?' kata Arais dalam hati. Aneh. Dia memperhatikan wajah Miraila yang tertutup kerudung usang.
Miraila yang tidak tahu sedang dicurigai, menjadi semakin salah tingkah saat Arais melihat dirinya terus. Dia salah tingkah sampai dia harus menundukkan wajahnya.
"E," ucap Miraila dengan arti meminta izin untuk pergi lebih dulu.
"Hmm, apa?" Arais mendekatkan telinganya agar tahu maksud Miraila. Miraila menunjuk ke depan. Arais pun tahu maksud Miraila.
Arais memberi jalan, Miraila pun pergi. Sesekali melihat pada Arais yang rupawan, dia seperti merasakan sesuatu.
***
Arais dan Miraila sudah kembali dari sungai. Membawa kayu bakar yang dikumpulkan oleh Miraila, kini Arais bersemangat untuk menyusun rencana baru.
"Miraila. Aku punya banyak uang di tabunganku. Menurut kamu apa yang bisa kita lakukan untuk membuat mereka menyesal sudah melakukan itu sama aku?" tanya Arais disela mereka merebus singkong dengan tungku sederhana yang terbuat dari batu yang ditata sedemikian rupa.
Miraila mengambil sebuah kertas lalu menulis. Setelah selesai menulis, dia menunjukkan tulisan itu pada Arais.
"Kita sabotase pekerjaan ayah kamu. Kalau pekerjaan ayah kamu hancur, maka rekan bisnisnya akan marah dan menuntut ayah kamu dengan nominal yang sangat banyak. Saat itulah kamu muncul dengan perusahaan baru yang siap menggantikan perusahaan ayah kamu," baca Arais.
"Ide bagus. Kita bisa bayar pekerja yang ada di sana untuk mennghancurkan proyeknyaS." Arais sangat berminat melihat mereka menderita.
Miraila kembali menulis. Lalu dia memberikan tulisan itu pada Arais.
"Jangan sampai ketahuan. Pakai tenaga baru yang belum menulis identitas agar dia tidak bisa dilacak," baca Arais kembali.
Arais tersenyum lalu merangkul pundak Miraila.
"Kamu sangat jenius. Aku bangga padamu," seru Arais.
Hati Miraila tersentuh dengan perkataan Arais. Baru kali ini ada orang yang mau baik padanya. Biasanya memandangnya saja mereka sudah jijik. Wajahnya yang rusak parah dan rumahnya yang jelek menjadi alasan nomor satu untuk mereka menghina dirinya.
Miraila tersenyum. Bersama Arais, kepercayaan dirinya kembali hadir.
Melihat tungku sudah berasap dan menimbulkan suara air yang mendidih, Arais membuka tungku itu. Terlihat singkong sudah merekah dengan bentuk yang lebih besar. Dia menusuknya dengan sebuah lidi yang sudah dicuci bersih.
"Eh, sudah matang singkongnya. Ayo, kita makan. Huuu, panas. Awas, hati-hati." Arais mengambil singkong rebus yang baru saja matang dari atas panci yang panas.
Miraila yang sedang duduk di dekat tungku, dijauhkan oleh Arais. Dia berdiri di depan tunggu saat mengambil singkong lalu menaruhnya di bawah. Kemudian dia mematikan apinya dengan air.
Sebagai seorang laki-laki, dia sangat menghargai seorang perempuan. Sifatnya yang selalu menjaga membuat Miraila merasa nyaman.
"Aku ambil daun pisang dulu." Arais bangun dan mengambil daun pisang yang ada di belakang gubug. Di sana memang tumbuh subur pohon pisang yang juga sudah berbuah. Jika lapar, kapan saja pisang itu bisa dinikmati untuk menghilangkan lapar.
Miraila merasa selalu aman bersama Arais. Selama dua puluh lima tahun dia baru merasakan diistimewakan oleh orang lain. Miraila merasa bahagia.
Tak lama Arais kembali dengan membawa daun pisang yang cukup panjang.
"Ambil kecil susah, jadi aku ambil besar aja. Kita makan bareng-bareng aja, ya?" kata Arais lagi. Dia meletakkan daun pisang di depan Miraila dan dirinya yang duduk di batu besar yang cukup rata.
Iya, di depan dapur sederhana itu terdapat batu yang cukup besar dan luas agar mereka bisa meracik masakan sebelum memasaknya. Kali ini hanya ada singkong, mereka pun menikmati singkong hasil Miraila menanam sendiri.
Satu umbi singkong yang cukup besar dipotong-potong menjadi beberapa bagain. Mereka pun makan satu demi satu potongan singkong itu.
Ada empat potong singkong diletakkan di atas daun singkong. Arais mulai membelahnya menjadi beberapa bagian. Keluarlah kepulan asap hangat dari tengah singkong itu. Membuat Miraila menjauh karena kepanasan.
"Panas, ya? Sebentar aku tiupin. Kamu pasti udah laper 'kan? A." Arais mengambil satu potong kecil lalu meniupnya. Setelah asap menghilang, dia menyuapkan pada Miraila sebagai bentuk terima kasih karena sudah sering membantunya.
Miraila menerima suapan dari Arais dengan hati berbunga-bunga. Untuk pertama kali dia disuapi pria asing. Pandangan matanya tidak pernah lepas dari Arais. Perasaan apa ini? Apa Miraila jatuh cinta pada Arais?
Setelah satu potong itu masuk mulut, Arais kembali mengambil singkong lagi. Dia tiup lalu disuapkan pada Miraila lagi, seolah dia seorang ayah yang sedang menyuapi anaknya. Iya. Arais hanya menganggap Miraila sebagai teman, tidak lebih.
"Makan yang banyak, ya. Aku gak mau kamu sakit. Kalo kamu sakit, aku gak punya temen lagi," seru Arais.
Miraila mengangguk sambil tersenyum lalu berkata, "E," sambil memperagakan tangannya agar Arais ikut makan juga. Arais menurut, dia pun ikut makan.
Mereka saling tersenyum sambil menikmati singkong rebus. Tanpa terasa satu umbi sudah habis.
"Alhamdulillah. Kenyang. Kamu masih lapar gak?" tanya Arais setelah selesai makan.
Miraila menggeleng. Lebih kenyang dari yang pernah dia rasakan.
Arais bangun dan ingin mengambil air yang ada di guci penampung air. Air itu berasal dari air pancuran yang masih mentah. Namun, rasanya sangat sejuk dan bening. Mereka hanya memanfaatkan tempurung kelapa untuk mengambil dan meminumnya.
***
Arais melihat ke langit. Dia biasanya melihat birunya langit yang bertabur bintang bersama Iranela. Iranela akan selalu bilang kalau bulan itu tidak cantik, tetapi Arais akan menggodanya dengan mengatakan bulan itu cantik. Iranela akan merajuk dan menjauh darinya. Saat menjauh, Arais akan membujuk dengan merangkulnya dari belakang.
"Ih, kamu. Ngapain kamu ngrangkul-ngrangkul. Sana pergi. Rangkul aja bulan kamu yang cantik itu. Aku gak suka sama bulan," rajuk Iranela.
"Iya-iya. Bulan itu jelek. Tapi menurutku, kamu tetap bulan di hatiku. Jelek atau cantik, aku akan tetap cinta sama kamu. Karena hati aku udah untuk kamu semuanya. Kenapa aku suka sama bulan? Karena bulan itu tenang, terang. Seperti kamu. Selalu menerangiku dan membuatku tenang."
"Hmmm, gombal." Wajah Iranela bersemu merah.
Arais semakin merangkul erat tubuh Iranela dari belakang. "Aku gak gombal. Kapan, sih, aku gombal? Aku itu jujur sama kamu. Kamu yang aku sayangi. Aku cintai. Gak ada orang lain di hati aku selain kamu."
Kenangan itu membuat Arais terluka. Ternyata mulut manis Iranela bukan untuk dirinya saja, Arais kecewa.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Arais. Arais menoleh dan dia sangat kaget.