"Gila kamu. Kerja sama dengan kamu hanya akan membuat perusahaanku turun level. Apa kata ayahku kalau aku sampai memberikan proyek besar ini pada perusahaan kecil seperti perusahaan kamu? Bisa digantung aku sama ayahku," sungut Denish.
"Kamu lupa? Aku anak dari Pranaya Adinaya. Aku sering memenangkan proyek-proyek besar bersama Dony. Dan sudah menjadi rahasia umum kalau proyek yang kami menangkan menghasilkan mega projek yang sangat bagus. Hingga sepuluh tahun bangunan yang kami bangun sangat awet dan menjadi daya pikat dunia. Aku bisa janjikan proyek yang akan kami jalankan gak ada bedanya dengan proyek itu."
Arais benci dengan ayahnya. Namun, untuk kali ini dia butuh nama ayahnya agar usahanya bisa berjalan lancar.
"Daripada aku berikan proyek ini sama kamu, lebih baik aku berikan proyek ini sama Zuyo Group. Perusahaan itu sudah terkenal hasilnya. Daripada aku pakai perusahaan baru seperti kamu, kalau hasilnya jelek, pasti aku yang akan kena omel ayahku. Bisa dipecat aku dari perusahaan."
Tentu saja yang lebih senior menjadi lebih utama. Namun, bukan Arais namanya jika dia tak membuat Denish berpikir ulang dengan keputusannya.
"Anda yakin akan memberikan proyek ini pada Zuyo Group? Apa Anda gak sayang dengan nama baik Anda di mata dunia kalau scandal Anda terbongkar ke hadapan publik?" Arais mengambil sebuah foto dari saku jasnya. "Aku punya beberapa foto yang menunjukkan seorang wanita malam sedang bermesraan dengan laki-laki hidung belang di sebuah taman. Mereka tanpa malu melakukan aktitas menjijikan di bangku taman. Keadaan taman itu emang lagi sepi. Dan itu dimanfaatkan dua sejoli itu untuk melakukan hal terlarang."
Tak bisa mengancam hanya dengan ucapan, Arais kini menunjukkan sebuah bukti scandal yang akan membuat Denish sangat kaget.
Benar sekali. Denish langsung membola sempurna. Dia berusaha merampas foto-foto itu, tetapi Arais segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
"Brengsek kamu! Jadi kamu mau ancam aku agar aku kasih proyek ini ke kamu? Iya?" Denish mulai kalap, dia pun mencengkeram krah jas Arais.
Dony ketakutan. Berusaha melindungi Arais, Dony melerai keduanya dengan berada di tengah-tengah mereka. Mereka mau terpisah, hanya saja Denish memasang wajah marah. Dia tidak mengira kalau Arais punya bukti-bukti dari apa yang dia katakan.
"Sabar, Pak. Tenang. Semuanya bisa kita dibicarakan dengan baik-baik," ucap Dony pada Denish yang mulai tidak sabar.
Denish menatap nyalang pada Arais yang tetap tenang walaupun lawan bicara terbakar emosi. Arais memang terkenal sabar dalam bertindak. Namun, sikap yang ditunjukkan sekarang sangat berbeda dengan dulu. Dia ingin terus menekan agar dia bisa mendapatkan apa yang dia mau.
"Jadi gimana? Apa Anda akan memberikan proyek ini sama aku? Atau pada yang lain dengan resiko nama baik Anda rusak," ancam Arais dengan nada halus tetapi menghunus.
"Kamu! Ok. Aku akan berikan proyek ini ke kamu, asal kamu janji jangan beritahu siapa pun tentang hal itu pada yang lain. Berikan foto-foto itu ke aku sekarang juga," sungut Denish menengadahkan tangan agar foto-foto itu diberikan Arais.
"Gak masalah. Asal kamu tanda tangani surat kontrak ini dan kamu transfer semua dana yang kami butuhkan untuk proyek yang akan kami bangun di luar kota," tekan Arais.
"Mana ada seperti itu. Kamu tahu kalau dana hanya akan turun setengahnya dulu. Setelah proyek selesai, baru setengahnya lagi. Kamu harusnya tahu tentang ketentuan dari perusahaanku ini." Denish marah karena Arais seenaknya sendiri mengatur kesepakatan.
"Ya, udah. Anda siap-siap saja foto-foto ini tersebar di mana-mana." Arais bersiap pergi. "Ayo Dony. Kita temui wartawan," ajak Arais.
"Tunggu. Ok. Aku akan tandatangani kontraknya dan akan aku transfer semua dananya. Mana surat kontraknya?" Mau tak mau Denish menyetujui perjanjian itu. Dia pun menandangani semua berkas kontrak dengan wajah jengkel.
Arais tersenyum bahagia. Akhirnya dia bisa mendapatkan kontrak itu juga. Selesai menandatangani surat kontrak, Denish langsung menagih foto-foto itu pada Arais.
"Mana fotnya?"
"Kamu transfer dulu uangnya. Ini nomor rekeningku." Arais menujukkan ponsel yang berisi nomor rekeningnya.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Denish pun tanpa menolak langsung mengirim uang ke nomor rekeningnya. Uang sudah terkirim, Arais mengeceknya.
"OK. Uangnya udah masuk. Satu hal lagi. Anda harus memberikan semua proyek-proyek Anda pada kami. Kalau sampai Anda ketahuan memberikan proyek Anda pada perusaahan lain, dengan sangat terpaksa aku akan sebarkan foto-foto ini. Dan satu lagi. Beritahu semua rekan Anda agar jangan beri bantuan apapun pada Zuyo Group. Mengerti?"
Armour Estetik mempunyai relasi kerja yang sangat banyak. Bahkan, hampir semua perusahaan di Indonesia menjadi relasinya. Jika Armour Estetik menyuruh mereka melakukan sesuatu, maka semua akan mematuhinya.
Ini dimanfaatkan oleh Arais untuk langsung menghancurkan ayahnya. Dengan begitu perusahaan ayahnya akan bangkrut karena tidak ada dana yang masuk. Sementara dia harus terus membayar karyawan yang jumlahnya tidak sedikit.
"Gila kamu. Kamu udah gila. Itu perusahaan ayah kamu sendiri. Kenapa kamu mau menyabotasenya?"
"Itu bukan urusan Anda. Anda hanya menuruti syarat dari aku. Mau atau gak?" Arais tidak akan membiarkan Pranaya dan Iranela bersenang-senang. Jika perusahaan Pranaya hancur, mau ke mana lagi Iranela meminta bantuan?
"OK. Aku lakukan apapun kemauan kamu. Asal kamu berikan foto-foto itu ke aku."
Sudah mendapatkan semua yang dia mau, Arais pun memberikan foto-foto itu pada Denish. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu pun menerima foto itu dengan lega bercampur kesal. Secepatnya dia merobek bukti scandalnya.
Kini tinggal dia mencari alasan saat ayahnya menanyakan alasan dia memberikan proyeknya pada perusahaan yang baru menetas.
"Terima kasih atas bantuan dari Anda. Senang kerja sama dengan Anda." Arais menjabat tangan Denish dengan wajah yang berseri. Namun, berbeda dengan Denish yang memasang wajah marah.
***
Dony menyetir dan Arais berada di sampingnya. Sepanjang perjalanan setelah pulang dari kantor Armour Estetik, mereka hanya diam. Dony menyimpan banyak pertanyaan di benaknya, hanya saja dia bingung harus mengatakannya dengan cara apa. Arais sudah berubah, dia tidak bisa seenaknya menanyakan pertanyaan yang mengganggu pikiran.
Sesekali Dony melirik Arais. Arais tetap serius melihat ponselnya. Dony pun urung menanyakan perasaan yang mengganggunya. Ternyata Arais tahu kalau Dony ingin menanyakan sesuatu.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu tanyakan padaku?" seru Arais membuat Dony terkejut.
Dony kaget saat Arais tiba-tiba berkata padanya.
"Maaf, Pak. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di benakku. Apa aku boleh menanyakannya pada Pak Arais?" ucap Dony ragu.
"Boleh. Katakan."
"Apa Pak Arais ingin menghancurkan Pak Pranaya?"
"Kalau iya kenapa? Apa kamu mau mundur dari perusahaanku?" tanya Arais dengan tajam. Kini dia menoleh dan menatap Dony dengan tatapan yang menakutkan.