Miraila berada di meja operasi bersama dokter yang dikenalkan oleh Arais. Walaupun Miraila sangat ketakutan, keinginannya untuk berubah menjadi wanita cantik sangat besar. Dia pun tetap melanjutkan operasi plastik tersebut.
Sebelum operasi dilakukan, ada beberapa hal yang dibicarakan Arais dengan dokter yang menangani operasi Miraila.
"Dokter Arya, akan memakan waktu berapa lama operasi sampai masa pemulihan ini?" tanya Arais pada Dokter Arya.
"Saya tidak bisa memastikan karena semuanya tergantung kondisi pasien masing-masing. Apalagi ini operasinya ada dua, jadi harus menunggu satu sembuh baru bisa operasi yang lainnya. Memangnya kenapa? Apa Anda punya rencana lain?" jawab Dokter Arya.
"Iya. Aku ada beberapa rencana yang sepertinya berpengaruh dengan operasi ini. Apa sebelum dua bulan semuanya sudah selesai?" Walau tidak yakin, Arais tetap menanyakannya.
"Sepertinya tidak bisa. Dua bulan waktu yang mepet untuk pemulihan setelah operasi."
"Lalu berapa lama, Dok?" tanya Arais menahan kesal.
"Kurang lebih enam bulan. Nanti tubuh akan bereaksi dengan sendirinya untuk pemulihan. Kalau pun bisa dipaksa, takutnya nanti akan berakibat fatal di kemudian hari," jelas Dokter Arya.
Arais meringis kesal. Kalau tahu waktu yang dibutuhkan lebih lama, Arais tidak akan mau menyarankan operasi ini. Sayang, semuanya sudah terlambat. Dia pun harus mau mengikhlaskan pembalasan dendamnya tertunda.
***
Arais menunggu Miraila di depan ruang tunggu sambil mencari tahu kegiatan sang ayah. Dia biasanya akan membagikan kegiatannya pada paparazi agar semakin terkenal.
"Kita cari tahu dulu proyek apa yang sedang ditangani oleh Bapak Pranaya terhormat." Arais mengambil ponsel lalu mencari tahu kegiatan terbaru Pranaya. Sangat mudah untuk mencari tahu orang terkenal seperti ayahnya itu. Sedangkan Iranela, Arais sulit melacaknya karena dia jarang mengunggah kegiatan di media social miliknya.
Tak menunggu waktu lama dia menemukan apa yang dia cari. Sebuah proyek baru yang sedang digarap oleh ayahnya dan bernilai sangat besar.
"Aku harus menggagalkan proyek itu. Aku udah hapal dengan semua pekerja di bagian proyek. Mari kita sedikit bermain, Papaku tersayang," gumam Arais dengan seringai jahat.
Arais mengambil ponsel lalu menghubungi seorang mandor yang biasa kerja untuk proyeknya. "Halo. Kamu sedang mengerjakan proyek dari papaku?"
Sebuah suara berat terdengar dari balik sambungan telponnya. "Iya. Ini dengan siapa?" tanya lelaki paruh baya itu heran.
Arais menggunakan nomor baru sehingga dia tak tahu kalau yang menghubunginya adalah orang yang biasa memakai jasanya. "Aku Arais. Apa kamu sudah lupa denganku?"
Lelaki itu mengerutkan keningnya, nadanya sangat tidak bersahabat. Berbeda dengan Arais yang dia kenal. Dia pun mengira dia bukan Arais—anak Pranaya. "Arais siapa? Setahuku Tuan Arais itu gak pakai nomor ini," jawabnya seketika.
"Aku pakai nomor baru. Apa kamu kira aku bisa lupa dengan nomormu yang sering sekali membantu proyekku? Proyek yang sering aku tawarkan padamu tentang pembangunan real estate yang sangat mewah dan megah di semua penjuru Indonesia. Apa kamu lupa kalau aku sering sekali mentraktir kalian setiap bulan dengan makanan enak dari restoran mahal? Aku kira kamu gak akan bisa melupakan semua yang aku lakukan padamu termasuk saat membantu pembiayaan anakmu yang sedang kritis dua tahun yang lalu," papar Arais membuat lelaki itu menganga tak percaya.
Semua yang dikatakan benar adanya. Dia memang Arais yang sering membantunya. Namun, gaya bicara Arais sekarang sudah berbeda. Arais yang hangat kini berubah dinging dan pongah. Dia tak suka dengan perubahan itu.
"Tuan Arais Zuyo anak Tuan Pranaya Zuyo?" Lelaki itu memastikan.
"Iya. Siapa lagi yang namanya Arais yang selalu membantu kamu. Kamu berhutang budi sangat banyak padaku. Apa aku boleh meminta bantuan padamu agar bisa mengurangi sedikit hutang budimu padaku?" Arais mencoba menjebak lelaki itu agar dia tidak menolak permintaannya.
Namanya Bragi. Pria paruh baya yang berumur empat puluh tahun. Dia menjadi mandor yang sangat setia dan jujur pada perusahaan Zuyo Group. Kini dia sedang menggarap proyek baru Pranaya dari Armour Estetik. Pembangunan sebuah Mall di pusat kota yang terletak di Sumatera Utara. Proyek ini baru berjalan satu bulan dan akan membutuhkan banyak waktu karena mereka hanya menggunakan tenaga yang sedikit.
Arais tahu semua yang Pranaya lakukan. Dia lebih mementingkan untung banyak daripada waktu yang cepat. Hal itulah yang sering menjadi bahan perdebatan di antara mereka. Kini bahan perdebatan itu tidak akan terjadi lagi. Arais sudah memutuskan untuk pergi dan akan memulai semuanya dengan pemikirannya sendiri.
Mendadak perasaan Bragi tidak enak. Dia pun berkata dengan gemetar. "A—apa yang Tuan Arais mau dari aku?"
"Gagalkan proyek yang sednag kamu garap. Bikin Pranaya rugi dan relasi bisnis meninggalkan Zuyo Group. Aku akan memberimu banyak uang dan kamu akan bekerja untukku. Proyek yang sedang kamu tangani ini akan berpindah ke aku dan kamu akan menanganinya lagi." Arais sangat yakin rencanaya berhasil dan berani menjanjikan hal manis pada Bragi.
Bragi sangat kaget mendengar permintaan dari Arais. Permintaan seperti apa itu? Seorang anak ingin menghancurkan ayahnya sendiri? Sangat tidak pantas untuk dicontoh.
"A—apa Tuan? Tuan Arais ingin aku menghancurkan proyek ini? Apa aku gak salah dengar?" tanya Bragi ulang, tidak percaya dengan semua kejelekan yang dulu tidak pernah ditunjukkan dari seorang Arais yang baik.
"Aku akan buka perusahaan baru. Perusahaanku akan menjadi saingan Pranaya Zuyo Group. Dan aku pastikan perusahaanku akan berkembang pesat melebihi Zuyo Group. Kamu gak akan menyesal berbalik padaku dan meninggalkan Zuyo Group."
"Apa nama perusahaan Tuan? Aku belum mendengar apapun tentang perusahaan yang Tuan pimpin. Jangan-jangan Tuan bukan Tuan Arais yang aku kenal. Tuan hanya mengaku saja dan aku gak akan percaya dengan mulut busuk Tuan. Aku setia pada Zuyo Group. Sebanyak apapun kamu menyuapku, aku gak akan mau berpaling pada siapa pun, sekalipun kamu orang terdekat Tuan Pranaya sendiri. Terima kasih." Bragi menolak penawaran dari Arais karena dia tidak percaya kalau Arais sejahat itu pada ayahnya sendiri.
Arais memukul kursi tunggu dengan sangat keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Tidak hanya itu, kursinya pun jebol karena tenaga yang dikeluarkan oleh Arais sangatlah besar. Arais sangat kesal karena mendapatkan penolakan dari bawahannya sendiri.
"Gak bisa dibiarkan. Bragi meremehkan aku karena aku belum membuat perusahaan tandingan. Ok, kalau begitu. Aku akan buat perusahaan tandingan sambil menunggu Miraila sembuh."
Sepuluh milyard cukup untuk membangun perusahaan yang baru. Arais pun menghubungi Dony—assistennya yang setia.
"Hallo, Dony. Kamu ada di mana? Apa kamu bisa temui aku? Nanti aku kirim alamatnya," kata Arais dingin.
"Hallo, ini dengan Pak Arais? Pak Arais ke mana aja, Pak? Aku nyariin Pak Arais ke mana-mana." Dony sangat senang mendengar Arais menghubungi lagi setelah sempat menghilang akibat kasus dengan ayahnya.
"Jangan banyak tanya. Kamu bisa temui aku atau tidak?" Mendadak Arais tidak ingin berbasa-basi. Lebih cepat masalahnya selesai, akan lebih baik.
Dony mendadak takut. Biasanya Arais akan sangat senang jika ditanya kabar, kenapa sekarang berubah?