Arais membaca tulisan yang ditulis oleh Miraila. Dia tak yakin dengan semua yang ada dalam benak jahatnya. Bagaimanapun juga mereka berdua adalah orang yang paling dia sayang. Dia tak akan tega menyakiti mereka.
"Enggak. Aku gak mau membalas mereka. Biarlah mereka dibalas oleh Tuhan. Aku gak mau mengotori pikiranku dengan hal seperti itu," gumam Arais menangkis segala bisikan setan.
Miraila tersenyum sekilas. Dia lalu meneruskan makan. Arais yang sejak kecil tak pernah diajari untuk menaruh dendam, selalu berpegang teguh pada ucapannya. Apalagi itu adalah wasiat dari sang ibu yang sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta.
Waktu Arais kecil, kepada ibunyalah dia mengadu. Meminta masukan dan kehangatan yang tidak bisa lagi dia dapatkan walaupun sang ayah selalu berusaha menjadi ayah dan ibu sekaligus. Sang ibu akan memarahi Arais dengan halus jika Arais melakukan salah besar.
"Kalo kamu dipukul, terus kamu balas memukul, itu artinya ... kamu dan dia sama saja. Arais tadi ngomong kalo dia nakal 'kan? Berarti Arais juga nakal," seru sang ibu dengan lembut. Hidung mancung Arais selalu disentuh, setelah itu Arais akan memeluk erat sang ibu.
"Gitu, ya, Ma? Jadi aku gak boleh balas kejahatan dengan kejahatan? Terus aku harus gimana?" tanya Arais polos tanpa melepas pelukannya.
"Biarin Tuhan yang balas semua perbuatan dia. Tuhan itu adil. Kalo kamu baik, nanti kamu akan dibaikin lagi sama orang. Inget selalu nasihat Mama ini, ya, Sayang," pinta sang ibu.
Masih teringat jelas semua nasihat baik dari sang ibu yang selalu membuat hatinya tenang. Kalaupun dia merasa sakit, itu hanya sebentar. Jika dia sudah melupakannya, maka semua sakit itu menguap begitu saja.
***
Hari sudah mulai sore. Mentari menunjukkan warna jingga yang sangat indah. Keindahan yang tidak pernah Arais rasakan semenjak sibuk mengurus bisnis ayahnya.
Berdiri di sisi sungai yang jernih, Arais dapat merasakan semilir angin yang membelai wajah. Sejuknya mampu mempengaruhi pikiran manusia. Begitu pula dengan isi otak Arais.
Di sisi yang berbeda, dia melihat sepasang kekasih sedang bermain air. Mereka saling memercikan air satu sama lain. Saling tertawa dan tak menyadari ada Arais yang memerhatikan mereka.
Mereka berdua semakin intens bermain air, hingga akhirnya sang perempuan hampir terjatuh karena batu yang licin. Kekasih yang sangat mencintanya itu gesit menangkap tubuh sang gadis. Sehingga mereka jatuh berpelukan di atas batu yang setengahnya terendam air.
Berada di saat yang sangat romantis, mereka yang sedang dimabuk asmara pun tak ingat waktu dan tempat. Mereka mengungkapkan rasa cinta mereka lewat sentuhan dari bibir ke bibir. Mereka saling menikmati sentuhan yang semakin lama semakin liar. Saling memeluk dan enggan terlepas. Mereka berguling dari sisi kanan ke sisi kiri.
Seketika Arais teringat bayangan ketika dia menyalakan laptopnya. Emosi yang datar, perlahan naik. Membanjiri batas yang seharusnya tak terendam emosi. Tangannya mulai terkepal kuat. Rahangnya mengeras.
"Irabela! Jahat kamu. Papa! Aku benci kalian," teriak Arais tak bisa menahan gejolak amarah di dada.
Mereka berdua yang tengah asyik memadu kasih, langsung melepas pelukannya karena kaget mendengar teriakan dari Arais. Mereka berdiri dan segera lari dari sungai itu. Tak peduli sedang asyik, mereka memilih aman. Keadaan yang tenang berubah mencekam.
Arais berlari ke arah sungai. Derasnya aliran air tak lagi dihiraukan. Dia terus berlari ke tengah. Badannya yang tinggi mulai tenggelam oleh dalamnya sungai yang masih jernih.
"Kalian jahat. Aku benci kalian!" Arais terus meracau. Tak menghentikan langkahnya yang mulai terseret aliran sungai yang semakin deras.
Melihat Arais mulai terseret ombak, Miraila yang tengah membawa kayu bakar langsung meletakkan kayu bakarnya. Dia takut Arais akan tenggelam karena sungai itu sering memakan korban.
"E. E. E-eh" teriak Miraila dengan maksud mencegah Arais untuk melanjutkan langkahnya dan meminta tolong pada orang-orang.
Dengan kaki mungilnya Miraila terus berlari. Menerjang rerumputan liar yang menimbulkan nyeri karena mereka ada yang berduri. Tak peduli dengan kakinya yang terasa perih oleh luka, Miraila langsung berenang agar bisa menyelamatkan Arais yang sudah mulai tenggelam.
"Hep. Hep." Arais berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar bisa mengapung di atas air.
Sayangnya, mendadak kakinya kram. Berulang kali dia mencoba menggerakkan kakinya, tetapi tidak bisa. Tubuhnya terus terseret ke arah aliran sungai dan tenggelam.
Sungguh sangat aneh. Karena sebelumnya Arais tidak pernah merasakan kakinya kram. Untungnya Miraila dengan cekatan meraih tangan Arais yang melambai meminta bantuan. Dia berhasil menarik Arais ke tepi sungai.
Cukup banyak Arais menelan air. Sehingga dia merasakan sesak di bagian dada. Banyak air yang memenuhi paru-parunya. Miraila pun menirukan penanganan pertama jika orang tenggelam yang pernah dia lihat saat ada yang tenggelam beberapa minggu yang lalu.
Miraila menekan taju pedang Arais dan keluarlah air dari paru-paru bersama kesadaran Arais yang memulih. Arais pun bisa selamat.
"Uhuk-uhuk." Arais terbatuk saat mengeluarkan air sungai itu. Dia pun terduduk lalu mengelap mulutnya yang basah. Dia menoleh pada Miraila.
"Miraila. Kamu yang udah nolongin aku lagi?" Arais heran. Kenapa Miraila yang selalu menolongnya. Padahal dia berharap kalau Iranela atau ayahnya yang akan menolong. Sungguh impian yang tidak masuk akal.
Miraila mengendikkan kepala sebagai isyarat bertanya "Kenapa?"
"Aku pikir, yang akan nolong aku itu Iranela atau Papa. Heh," kata Arais merasa bodoh.
Miraila menggoyangkan tangannya. Dia menunjuk ke arah kanan. Menunjukkan sebuah isyarat kalau Pranaya dan Iranela tidak akan peduli padanya lagi. Mereka berdua malah senang karena Arais sudah pergi dan membiarkan mereka merajut kasih.
Arais yang tak mengerti maksud perkataan Miraila, hanya tersenyum miris sambil duduk. Tak ada tanggapan apa pun yang mampu dikatakan oleh Arais. Apa yang mau dia tanggapi sedangkan maksudnya saja dia tak mengerti.
Tahu kalau Arais tak tahu maksud ucapannya, Miraila bangkit dan berlari ke arah kayu bakar yang dia letakkan di atas. Di atas kayu bakar itu ada sebuah koran baru. Tertanggal hari ini. Miraila kembali ke Arais dengan membawa koran itu.
Arais menerima koran yang diberikan Miraila padanya. Di bagian depan terlihat dua foto orang yang sangat dia kenal. Siapa lagi kalau bukan Iranela dan Pranaya—papanya.
"Pranaya dan Iranela akan menikah dalam waktu dekat karena Arais sudah pergi untuk selama-lamanya. Sebelum meninggal dunia, Arais meminta mereka untuk menikah agar dia pergi dengan tenang," baca Arais membaca koran tersebut.
Boom
Berita yang dia baca sukses membuat hatinya kembali hancur. Hati lembutnya yang belum menerima kenyataan disadarkan oleh kabar buruk itu.
Sontak Arais sangat marah bercampur sedih membaca itu semua. Dia tak menyangka kalau mereka sangat jahat. Mereka bahkan menganggap Arais sudah meninggal dan akan segera menikah.
Arais menggeleng tak percaya. Hidupnya bagai terkena bom atom yang sangat dahsyat. Meluluhlantakkan seluruh jiwa raga. Hidungnya terasa panas. Menjalar pula pada netra yang masih perih karena kejadian tadi.
"Jahat banget kalian. Aku pikir kalian akan merasa menyesal setelah aku mengikhlaskan kalian. Tapi kalian malah memperlakukan aku seperti ini. Jahat kalian," raung Arais semakin frustasi.
Miraila lalu menabrak-nabrakkan kedua tangannya yang terkepal dengan maksud membalas apa yang sudah mereka lakukan.
"Apa maksud kamu ... aku harus balas dendam sama mereka?" ujar Arais mencoba mengartikan bahasa tubuh yang mulai bisa dia mengerti.
Miraila mengangguk semangat. Rasanya tidak tega melihat Arais terus disakiti. Dia harus membalas kejahatan mereka dengan kejahatan lagi.
"Iya. Kamu benar. Aku harus balas dendam. Mereka akan merasakan apa yang udah aku rasakan. Bila perlu, mereka harus mendapatkan berlipat-lipat sakit yang aku rasakan."