Malam itu, malam pertama bagi Arais melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar. Dia sudah membentak orang tua tunggalnya yang selama ini membesarkannya. Meminum minuman yang sangat dijauhi dalam hidupnya.
Semua ini karena bermasalah dengan wanita. Wanita memang racun dunia yang bisa merubah karakter seorang pria.
Dalam keadaan yang tidak sadar, Arais melihat sosok Iranela yang sedang menatapnya dengan senyum mengejek. Iranela melipat kedua tangannya di depan dada dan memutar kedua bola matanya dengan malas.
"Iranela. Iranela, ke sini kamu. Kenapa kamu jahat banget sama aku? Apa salah aku sama kamu?" racau Arais sembari berjalan ke arah depan.
Dengan langkah gontai, Arais menghampiri Irabela yang ada di depannya. Padahal di depannya adalah tembok. Key yang melihat Arais sudah mulai mabuk, mengikuti dari belakang. Dia memegang bahu Arais yang tak mampu ditegakkan.
"Ini orang alim banget. Baru ditempelin kayak gitu, aja, udah teler. Payah banget," hina Key di depan Arais.
Mau menghina seberapa keras suaranya pun, Arais tak akan pernah dengar. Kesadarannya sudah hilang.
"Iranela. Kenapa kamu berubah. Padahal kamu dulu sangat polos dan baik. Kenapa sekarang kamu jahatin aku. Aku benci sama kamu, Iranela. Benci," teriak Arais yang tentu saja tak mampu didengar oleh pengunjung lain. Suara yang berdebam mengubur suara Arais yang putus asa.
"Nyusahin aja ini orang. Tahu kayak gini, mending aku gak ajak masuk tadi. Heh." Key menyesali perbuatannya.
Dengan susah payah, Key menahan tubuh Arais yang sempoyongan mau jatuh. Dia tak mampu menahan berat badannya sendiri.
"Iranela. Kenapa kamu malah selingkuh sama dia? Kamu tahu 'kan siapa dia? Dia Papa aku sendiri. Kalian jahat."
Dalam keadaan mabuk, Arais membocorkan rahasianya sendiri yang membuat Key tak percaya. Dia membola sempurna kala mendengar pengakuan Arais yang sangat mengejutkan.
"Apa? Pak Pranaya selingkuh sama calon mantunya sendiri? Gila, tuh, orang. Lama jadi duda buat dia gila. Masa punya anak sendiri diembat," celoteh Key yang merasa iba melihat keadaan Arais yang mengenaskan.
Key tak bisa membayangkan jika dia berada di posisi Arais. Dia pasti sudah bunuh diri.
"Mana Iranela yang aku kenal dulu? Iranela yang manis, Iranela yang sopan. Iranela yang menjadi bunga desa. Kenapa kamu berubah, Iranela."
Arais terus saja meracau tak karuan. Dia bahkan teriak lebih keras. Untung saja suara musik lebih kencang dari suaranya sehingga tak ada yang mendengarkan.
Masih teringat jelas saat mereka pertama bertemu. Waktu itu Arais sedang mencari alamat. Iranela yang sudah lama berada di desa tersebut dengan senang hati membantu mencarikan alamat yang dicari Arais.
Sejak saat itu, hubungan mereka semakin dekat karena mereka terlibat dalam projek bisnis yang sama. Iranela yang bekerja sebagai pengatur konsumsi di bagian projek itu mengharuskan bertemu dengan Arais setiap hari.
Kesopanan yang ditunjukkan Iranela pada siapa pun, serta wajahnya yang cantik membuat hati Arais terpana. Hingga mereka pun menjalin hubungan percintaan. Arais tak peduli dengan status ekonomi Iranela yang berada di bawahnya.
Setelah projek selesai, Arais mengajak Iranela untuk ikut bersamanya. Awalnya dia menolak karena dia punya seorang kakak yang sedang kerja di luar negeri. Jika dia ikut ke kota, Iranela takut nanti kakaknya mencari.
"Sekarangkan ada HP. Kamu bisa hubungi dia lewat HP dan kasih tahu dia kalo kamu ada di kota. Jadi kamu gak usah khawatir, ya? Lagian kakak kamu pulangnya masih lama, masa kamu mau nungguin dia terus di desa," bujuk Arais saat ingin mengajak Iranela ikut tinggal bersamanya.
"Tapi, Mas Arais. Masa aku tinggal sama Mas Arais. Kita 'kan belum nikah, gak boleh. Nanti digerebek Pak RT gimana?" tolak Iranela yang trauma melihat salah seorang temannya diarak keliling desa gara-gara tinggal satu rumah tapi belum menikah.
"Hahaha. Yah, enggaklah, Iranela. Mana ada yang mau gerebek kita. Kita itu tinggal di kota, bukan di desa. Jadi kamu mau, yah, ikut sama aku." Arais menatap manik Iranela lekat. Berharap pujaan hatinya mau ikut bersamanya.
Jarak yang jauh membuat Arais tak kuasa menjalani hubungan jarak jauh. Dia tak ingin lama berjauhan dengan Iranela. Takut Iranela diambil orang.
Iranela menunduk. Dia tak berani menolak. Tak juga menerima. Sebenarnya dia ingin ikut, tapi dia takut kalau harus tinggal dalam satu rumah yang sama dengan Arais. Dia takut mereka khilaf dan melakukan hubungan terlarang.
"Ehm, gini aja. Mungkin kamu takut kita digerebek, kamu akan tinggal di paviliun di belakang rumah. Di sana biasanya aku pakai kalau ada acara bisnis dan acara keluarga. Jadi kita gak tinggal serumah. Gimana?" papar Arais lagi.
Setelah mendengar ada sebuah rumah yang terpisah yang bisa digunakannya untuk tidur, Iranela mendongak girang. Dia langsung mengangguk semangat.
Rasa sayangnya pada Arais membuatnya mau meninggalkan kampung halaman. Menjalani hidup baru yang akan membawanya entah ke mana.
Selama tinggal di paviliun belakang rumah, Iranela tetap menjadi dirinya yang rajin. Sebelum pembantu datang untuk beres-beres, rumah itu sudah dibereskan lebih dulu olehnya. Bahkan untuk sarapan sendiri, Iranela sudah menyiapkan untuknya, Arais dan juga Pranaya.
Kini semua itu sudah hilang. Tak tahu kapan terjadi perubahan di diri Iranela, Arais hanya tahu saat dia menyaksikan yang menyayah hati.
Tubuh Arais yang tak bertenaga berusaha menggapai bayangan Iranela yang dia lihat di sampingnya. Dia berusaha bangun untuk menyentuh Iranela, yang tentu saja tidak bisa karena memang tak ada siapa pun di sana.
"Ehm, itu-tu tembok. Bukan Iranela. Aduh, nyusahin aja, sih, nih, orang. Bodo, ah. Mending aku bawa dia keluar aja dari sini. Ngrepotin doang," keluh Key yang memapah tubuh lemas Arais keluar dari klub-nya.
Setelah Arais sudah dibawa keluar, Key menyuruh satpam untuk membawa Arais jauh-jauh dari klub malamnya.
Dua satpam memapah tubuh Arais yang tak berdaya. Di sebuah jembatan yang sepi, tubuh Arais diletakkan di sampingnya. Setelah mereka merasa aman untuk meninggalkan Arais di sana, mereka pun pergi begitu saja. Tak peduli dengan nasib yang akan menimpa Arais selanjutnya.
Tengah malam yang gelap dan sunyi, Arais tertidur tanpa alas. Tubuhnya bau alkohol dan sangat memprihatinkan. Samar dia mendengar gemericik air dari dasar jembatan. Di sana terdapat sungai yang cukup deras.
"Suara apa itu? Suara air terjun? Heeh, hahaha. Air terjun di tengah kota? Kota mana yang ada air terjunnya?" serunya dalam keadaan teler. Dia tertawa miris. Menertawakan hidupnya sendiri.
Sekalipun dia sudah tak mempunyai banyak tenaga, dia mencoba bangun. Setelah dia mampu berdiri, dia berjalan sempoyongan ke arah jembatan. Matanya yang sayu menatap ke bawah. Ada aliran sungai yang mampu dia dengar.
"Hehe. Hehe. Hik hik." Arais tertawa miris. Lalu menangis sedih. Dia sungguh hancur.
"Mama. Aku mau nyusul Mama," kata Arais seakan ada mamanya yang sudah meninggal di bawah sana.
Apa yang akan Arais lakukan?