Malam itu terasa sangat mencekam. AC yang dingin tak mampu memadamkan api dipikiran Arais. Dia baru saja memikirkan untuk membawa hubungan mereka ke arah yang lebih serius. Sayang, semua impiannya harus hancur dalam waktu sekejap.
Angin yang diam tiba-tiba menari kencang. Mengajak serta tirai putih untuk berdendang. Hujan tak diundang ikut datang. Membawa serta sang badai yang menghancurkan semua yang terpampang.
Arais yang sedang marah tak bisa mengontrol emosinya. Dia menatap wajah sang ayah dengan nyalang. Apa yang pernah dia banggakandari ayahnya menguap begitu saja kala mengingat apa yang sudah mereka lakukan di belakangnya.
"Menjijikan. Kenapa Papa tega nglakuin itu di belakangku, Pa? Apa salahku?" cecar Arais dengan wajah frustasi.
Sejujurnya dia masih mengharap ada pembelaan yang bisa membuatnya lebih tenang.
"Kamu tidak salah apa-apa, Arais. Bukan kamu yang salah, tapi dia," belanya. Seakan apa yang dia melakukan itu bukanlah kesalahan. "Dia sudah mencoba merayu Papa dan Papa—" Pranaya mendekati Arais yang berdiri membelakanginya. Ruangan yang cukup luas membuat mereka lebih leluasa untuk menjaga jarak.
"Dan Papa mau. Iya? Papa dengan senang hati meladeni Iranela? Papa macam apa Anda ini?" teriak Arais dengan keras di hadapan sang ayah. Menahan derasnya dorongan bulir kaca yang terus berusaha melesak keluar.
"Papa bisa jelaskan semuanya. Kamu tolong dengarkan dulu," pinta Pranaya dengan tatapan memohon.
Lelaki lima puluh delapan tahun itu terus berusaha mendekati anaknya yang tak ingin disentuh. Dia selalu menghindar kala tangan sang ayah mencoba menyentuhnya.
"Apa? Apalagi yang mau Papa jelasin ke aku? Semuanya udah jelas, Pa." Arais berpindah ke sisi lain dari ayahnya yang masih berdiri.
Dari sana bisa dia lihat kalau ayahnya menyiratkan sebuah ekspresi yang tak mampu dia baca.
"Kamu salah. Iranela itu tidak pantas untuk kamu. Dia—" Pranaya mencoba menjelaskan, tetapi Arais selalu memotong ucapannya.
"Iya. Iranela gak pantas untuk aku. Tapi lebih pantas untuk Papa. Itu 'kan maksud Papa? Jawab!" bentak Arais tak ingat kalau yang dia ajak bicara adalah ayahnya sendiri.
Apa yang sudah terlihat sudah mewakili isi hati mereka. Arais percaya kalau sang ayah sebenarnya menginginkan Iranela untuk menjadi istrinya. Hanya saja dia belum berani mengatakan dan memilih menjalani hubungan terlarang secara diam-diam.
"Arais—" Pranala memanggil nama anaknya dengan putus asa.
"Stop. Gak usah membela diri lagi. Aku muak dengan semua ucapan-ucapan dari Papa. Mulai sekarang aku akan pergi dari rumah ini. Aku anggap gak punya keluarga lagi. Silahkan kalian lanjutkan hubungan kalian!"
Arais tak mampu mendengar jawaban Pranaya yang akan semakin menorehkan luka. Sebelum dia mendengar sendiri, dia memilih untuk mundur dan menyerahkan kekasihnya pada sang ayah. Walaupun semua itu membuat hatinya terluka.
Dengan perasaan yang hancur, Arais memutuskan untuk pergi dari rumahnya sendiri. Sekuat hati dia menahan bulir kaca yang memaksa untuk luruh. Awalnya dia mampu bertahan. Namun setelah kakinya melangkah menjauhi rumah, tak mampu lagi dia bertahan.
Tetes demi tetes membasahi bumi yang masih basah. Mengajak sang hujan yang sudah mulai reda ikut bersanding bersama. Antara air hujan dan air mata kini tak mampu lagi dibedakan. Semua bersatu padu seakan ingin berbagi bersama.
Anak rambutnya bergoyang menutupi sebagian wajah. Angin yang kencang malam itu mengisyaratkan untuk tetap bertahan di dalam rumah yang nyaman. Sayang keadaan di dalam rumah tak lebih nyaman dari badai di luar. Hingga Arais pun memilih untuk melanjutkan langkah meninggalkan tempat yang penuh kenangan.
Menggunakan mobil biru kesukaannya, Arais melesat membelah jalanan ibu kota yang lengang. Hujan di malam ini membuat semua penikmat jalanan untuk terdiam di rumah. Membiarkan sang hujan dan badai menikmati masanya berdua.
Hanya Arais yang masih dengan ugal-ugalan melajukan sang kuda besi dengan tak karuan. Isi otaknya terpengaruh dokumentasi dari video yang membuat hidupnya berubah drastis.
Tepat di sebuah klub malam yang masih terbuka, Arais memarkirkan mobilnya. Dia ingat kalau salah satu temannya pernah mengajaknya ke tempat itu. Tempat para penikmat dunia menghilangkan masalahnya.
Tak peduli hilangnya problem tidak akan abadi, mereka memilih kesenangan sesaat untuk melarikan diri. Walaupun setelah efek dari fly yang mereka minum menghilang, masalah akan kembali lagi. Mereka tidak peduli.
Hingar bingar klub malam yang baru pertama kali Arais masuki membuatnya bingung. Suara musik yang memekakkan telinga dan lampu yang temaran serta warna-warni menjadikannya pusing.
"Berisik banget di sini. Aku gak nyaman jika menghilangkan stress di tempat seperti ini. Lebih aku pergi saja,"gumam Arais saat ingin berbalik badan.
Belum sempat dirinya berbalik, seorang laki-laki menghampiri. "Hei. Kamu Arais 'kan anaknya Pak Pranaya?" tanya seorang pemuda yang memakai baju masa kini. Jaket hudi serta celana jeans panjang warna biru tua.
Arais tersenyum sekilas. Mendengar nama ayahnya disebut orang itu, membuatnya kesal. Bukannya hilang, ini semakin parah stressnya.
"Ayo masuk. Kamu mau ke mana? Ini tempatku. Kamu bisa nikmatin apa aja yang ada di sini." Lelaki yang bernama Key itu merangkul Arais dan memaksanya untuk masuk.
Tepat di sebuah kursi dengan sebuah meja kecil di depannya, Key mendudukkan Arais yang terlihat seperti orang bingung. Sebagai pemuda masa kini yang sukses di usia muda ternyata tak menjanjikan Arais akrab dengan dunia malam.
Arais lebih suka menghabiskan waktu untuk memikirkan bisnis yang lebih baik agar keuntungannya lebih besar daripada menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Jika dia pusing, dia akanbertanya pada ayahnya. Sang ayah dengan suka cita memberikan masukan.
Sayangnya, kali ini semuanya berbeda. Orang yang selalu memberikan masukan justru yang membutnya berada dalam masalah besar. Kini Arais harus mencari jalan keluar sendiri.
Key mengangkat tangannya dan meminta sebuah minuman spesial. Dia ingin menjamu Arais dengan baik. Arais adalah anak rekan bisnisnya. Tidak mungkin dia akan membuatnya menyesal sudah mampir ke tempatnya.
Tak lama sebuah minuman yang dipesan datang. Dua gelas kecil dengan satu botol minuman.
"Minum dulu. Kayaknya kamu lagi stress banget. Ini minum. Minuman ini bisa membuat masalah kamu hilang." Key menyodorkan sebuah gelas bertangkai dengan minuman berwarna coklat menyengat pada Arais.
"Hemmm. Apaan ini. Baunya, kok, aneh?" Arais menutup hidungnya dengan tangan.
"Minum aja. Enak, kok." Melihat Arais yang bersikap seperti itu, Key tahu kalau Arais bukan tipe orang pemabuk.
"Enggak. Makasih. Aku gak mau minum," tolak Arais yang tak ingin mencoba sesuatu yang membuatnya tak yakin.
"Minum aja. Enak, kok. Nanti kamu juga ketagihan," paksa Key dengan memasukkan minuman itu ke mulut Arais.
"Heum. Buah." Arais menyemburkan minuman yang terasa aneh itu. Rasanya sangat tidak enak.
Walaupun hanya sedikit yang masuk, kepala Arais sudah tereaksi. Pandangannya berputar-putar, pusing. Arais mulai berhalusinasi.
"Iranela. Iranela kamu jahat, Iranela," racau Arais yang melihat Iranela ada di hadapannya.
Wajah Arais yang tenang berubah nyalang. Dia berdiri dan menghampiri Iranela yang tersenyum melihat Arais yang sedang mabuk.
Apa yang akan terjadi?