Ini adalah hari pertama Bela sebagai siswa kelas sebelas. Anggota kelas diacak sehingga teman sekelasnya berbeda dengan tahun lalu saat kelas sepuluh.
Harusnya dia berangkat lebih pagi agar bisa mencari bangku yang nyaman dan teman sebangku yang lumayan dia kenal. Sayangnya dia bangun kesiangan. Dan baik bangku maupun teman sebangku, tidak ada yang dia dapat sesuai keinginan.
Ini semua gara-gara ibunya yang lupa membangunkannya tadi pagi!
"Hai," sapa Riki, teman sebangku Bela yang baru.
Seisi kelas sudah penuh saat Bela datang. Hanya tersisa satu bangku di sebelah Riki. Sehingga mau tak mau Bela harus duduk di sana, menjadi teman sebangku lelaki itu selama dua semester ke depan.
"Hai juga," Bela menyapa balik sambil lalu. Dia pun duduk dan mengeluarkan ponsel, satu-satunya benda yang bisa menyelamatkan dia dari kecanggungan di antara dirinya dengan sang teman sebangku baru.
Mereka berdua sudah mengenal meski tidak berada di kelas yang sama saat kelas sepuluh. Hanya saja karena suatu kejadian, mereka berdua menjadi canggung satu sama lain.
Bela mencoba mencari bangku lain, mencari anak yang mau bertukar tempat duduk. Tetapi mereka semua tampaknya sudah mulai menyesuaikan diri, dan menolak permintaan Bela untuk bertukar tempat. Bela pun hanya bisa menghela napas kecewa.
Melihat Bela yang gelisah dan tidak bisa diam di kursinya, Riki pun berujar, "Sudahlah. Terima saja nasibmu, tidak usah repot-repot menghindariku."
Bela melirik tajam bocah lelaki itu. "Siapa juga yang menghindarimu?" dengan sewot Bela membalas.
Padahal memang benar gadis itu berusaha menghindar dari Riki. Dia masih terbayang dengan kejadian di masa lalu mereka. Hal itu membuatnya tidak nyaman berada di dekat Riki. Rasanya Bela ingin kabur sekarang juga.
"Tidak usah mengelak. Aku tahu keberadaanku membuatmu merasa canggung," ujar Riki tepat sasaran. Apa yang dia ucapkan memang benar adanya.
Tetapi Bela terlalu gengsi untuk mengakui hal itu. Dia pun kembali membalas dengan sewot, "Jangan terlalu percaya diri, deh, jadi orang."
Nada bicara Bela yang sinis membuat Riki merasa geli. Dia tahu persis kalau gadis itu memang sedang merasa tidak nyaman saat ini. Bela hanya sedang berpura-pura baik-baik saja dengan berlaku sewot.
"Bukannya terlalu percaya diri, aku cuma tahu kalau kau memang merasa—"
"Diam. Kau terlalu banyak bicara," sembur Bela dengan cepat. Tidak memberi kesempatan bagi Riki untuk menyelesaikan kalimatnya.
Dia tidak bermaksud berkata kasar, hanya saja dia sudah sangat malu. Jadi dia berusaha menghentikan teman sebangkunya itu untuk bicara lebih jauh lagi.
Riki sendiri tidak merasa tersinggung. Dia hanya terkikik geli melihat gadis itu yang kewalahan dengan rasa malunya sendiri.
"Apa salahnya bicara? Ini mulutku dan aku punya hak untuk mengoceh menggunakannya," ujar Riki menggoda Bela.
Lagi pula siapa pun yang melihat gadis itu juga pasti akan setuju kalau dia sebenarnya sedang merasa canggung di sebelah Riki. Melihat dia terus saja mengelak fakta tersebut membuat Riki semakin bersemangat untuk menggodanya. Terlebih saat melihat wajah merah gadis itu yang sudah seperti kepiting rebus.
"Aku juga punya hak untuk tidak diganggu. Jangan egois dan hanya memikirkan hakmu sendiri saja, dong," Bela lagi-lagi berujar sewot untuk menutupi kecanggungan yang dia rasakan.
"Apa suaraku mengganggu?" tanyanya.
Bela melirik sinis. "Sangat."
Riki mengangguk-angguk. Sudah merasa cukup mengganggu gadis itu sejak tadi. Dia pun mengalah, "Baiklah. Aku akan diam."
Bela mendengus. "Harusnya dari tadi."
Selama pelajaran berlangsung, mereka berdua tidak saling bicara sama sekali. Keduanya mendiamkan dan membuat bangku mereka sepi bagai kuburan.
Hari demi hari berlangsung, dan tidak ada yang berubah. Mereka masih saja tidak berkomunikasi selayaknya teman sebangku. Hanya bicara seperlunya saja dan sisanya kembali diisi oleh keheningan.
Sampai akhirnya, sebuah tugas kelompok diberikan.
"Kerjakan tugas ini dengan teman sebangku kalian masing-masing. Dikumpulkan maksimal dua minggu lagi. Paham?"
"Paham!" jawab seisi kelas serentak, kecuali dua orang yang duduk di pojok kanan belakang; Riki dan Bela.
Kedua makhluk itu membeku untuk sesaat. Lalu mereka saling menatap panik. "Bu, apa kelompoknya tidak bisa diubah?" tanya Bela sambil mengangkat tangan.
"Diubah bagaimana?" tanya guru itu meminta kejelasan.
Pembagian kelompok dengan teman sebangku adalah yang paling mudah dilakukan. Jarang-jarang ada yang protes dengan hal tersebut.
Bela menjawab, "Diubah sama yang lain, Bu. Riki tidak mau satu kelompok dengan saya."
Riki melotot. Dia tidak mengatakan hal itu. Sekali pun dia memang tidak ingin berakhir dalam kelompok yang sama dengan Bela, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Sayangnya Bela sudah terlanjur menumbalkan dirinya demi mengganti anggota kelompok.
"Kapan aku bilang begitu?" Riki berbisik dengan penuh penekanan pada Bela. Matanya mendelik murka pada gadis itu.
Sementara Bela hanya mengangkat bahu tidak peduli sebagai respon. Tidak merasa bersalah setelah menjadikan lelaki itu tumbal di hadapan seisi kelas.
Guru perempuan itu bertanya pada Riki, "Riki, kenapa kau tidak mau satu kelompok dengan Bela? Apa ada masalah?"
Seluruh kelas mendadak hening.
Mereka semua tahu apa yang sudah terjadi di antara Riki dan Bela tahun lalu. Sebuah kejadian yang membuat mereka berdua tidak pernah bersama lagi.
Menyadari keanehan suasana kelas, sang guru pun bertanya hati-hati, "Kalian berdua … bertengkar?"
Bela terdiam. Ingatannya terlempar pada kejadian tahun lalu. Dia dan Riki bukan hanya bertengkar, tapi lebih parah dari pada itu.
Saat gadis itu membeku dan tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru, Riki pun mengambil alih keadaan. Dia berujar dengan tenang, "Tidak usah mengganti kelompok, Bu. Kami berdua akan mengerjakan tugasnya bersama."
Sang guru mengangguk puas meski dia masih heran kenapa seisi kelas menjadi hening. "Baiklah kalau begitu."
Riki paham bahkan jika mereka mencoba untuk menghindar, mereka tetap akan berakhir menjadi partner tugas, setidaknya satu kali dalam tahun ajaran itu mengingat mereka adalah teman sebangku.
Namun meski sudah memperkirakan hal tersebut, mereka berdua masih saja belum siap dengan keputusan guru yang membuat mereka berakhir dalam satu kelompok yang sama. Terlebih lagi, tidak ada orang lain dalam kelompok itu. Hanya mereka berdua.
"Kalau kalian berdua sedang ada masalah, lebih baik dibicarakan dan diselesaikan dengan baik-baik. Oke? Karena kalian akan menjadi teman sebangku selama satu tahun ke depan. Pasti rasanya tidak nyaman jika ada masalah yang belum diselesaikan, bukan?"
Riki dan Bela tidak menjawab. Mereka berdua ragu bisa menyelesaikan masalah mereka dengan 'baik-baik' sebagaimana yang gurunya sarankan.
Bahkan mereka tidak tahu kalau masalah mereka bisa diselesaikan atau tidak. Sebab waktu sudah lama berlalu, dan mereka berdua sudah tidak saling peduli lagi.
Sama sekali.