Bel istirahat baru saja berbunyi membuat suasana menjadi lebih ramai. Anak-anak mulai keluar dari kelas, mencari udara segar sebelum nanti terjebak lagi dalam ruangan itu selama pelajaran.
"Ayo ke kantin," ajak Kira, gadis yang pernah satu kelas dengan Bela sebelumnya. Bela pun mengangguk menyetujui ajakan itu.
Kira sudah bersama dua anak lain saat menunggu Bela yang masih merapikan buku catatannya. Namun saat Bela berdiri dan berniat bergabung dengan rombongan itu, tiba-tiba tangannya dicekal.
Bela menoleh pada sang pelaku.
"Kau mau kabur?" tanya Riki dengan senyum menyebalkan.
Kira dan anak-anak lain berdeham melihat kejadian itu. Mereka merasa salah tempat, seperti sedang menjadi nyamuk di antara Riki dan Bela.
"Kami … duluan ke kantin," ujar Kira karena Riki sepertinya tidak akan membiarkan Bela pergi. "Kau bisa menyusul kalau sudah menyelesaikan urusanmu dengan Riki."
"Baiklah. Nanti aku menyusul," jawab Bela tak punya pilihan.
Dia memperhatikan kepergian Kira dan anak-anak yang lain. Punggung mereka menghilang begitu keluar dari ruang kelas. Bela pun beralih pada Riki.
Gadis itu berdecak. Lalu duduk lagi di bangkunya dengan kesal.
Semua anak di kelas itu sudah pergi. Hanya mereka berdua saja yang masih tinggal di sana. Tanpa sadar jantung Bela kembali berpacu dengan gila. Persis seperti saat Riki berbisik tajam padanya tadi.
Riki berujar, "Sudah aku bilang jangan kabur. Kenapa kau keras kepala sekali?"
Bela menyentak tangannya. Tetapi kekuatan Riki jauh lebih besar sehingga gadis itu gagal meloloskan diri dari cekalan tangan Riki. Bela mencoba sekali lagi, dan berakhir gagal lagi.
"Lepaskan tanganku," pinta Bela pada akhirnya. Dia sudah menyerah dengan percobaannya yang gagal terus. Sudah jelas sikap perbuatannya tidak bisa dibandingkan dengan lelaki itu. Dia jauh lebih lemah.
Sayangnya Riki tidak langsung menuruti permintaan Bela. Dia malah menatap Bela dengan curiga. Matanya menyipit pada gadis itu.
"Aku tidak akan kabur," ujar Bela saat sadar sedang dicurigai teman sebangkunya sendiri. Dia menghela napas dalam. "Aku akan duduk diam di sini selama yang kau mau. Jadi lepaskan aku. Oke?"
Riki masih belum melepaskan tatapannya dari gadis itu. Dia juga masih menatap dengan penuh curiga. Berpikir seakan-akan gadis itu akan kabur darinya kapan saja.
Tetapi semakin memperhatikan gadis itu, dia tidak bisa mencurigainya lagi lebih jauh. Pada akhirnya, dia pun mengalah.
"Baiklah," ujar Riki sambil mengangguk. Kemudian dia melepaskan tangan Bela sesuai keinginan gadis itu.
Bela mengembuskan napas lega. Dia pun mengelus-elus pergelangan tangannya yang bekas dicekal Riki. Meskipun tidak sakit tetapi bekas cekalan lelaki itu masih bisa dia rasakan.
Dia melempar punggungnya ke sandaran kursi. Kemudian dia pun memulai percakapan dengan pertanyaan sinis, "Mau bicara apa?"
"Soal tugas," jawab Riki. kan tentu saja jawabannya hanya satu itu karena tidak ada hal lain lagi yang perlu mereka bicarakan selain tentang tugas di mana mereka berada dalam satu kelompok yang sama.
Selain soal tugas kelompok tersebut, Riki jelas tidak akan bersusah payah mencegah gadis itu pergi hanya untuk mengobrol. Mereka tidak belajar dapat hubungan yang cukup baik untuk bisa mengobrol normal.
Sehingga saat mereka harus mendiskusikan tugas itu pun mereka menjadi sangat canggung.
Jika boleh jujur maka Riki akan memilih untuk kabur saja dari tempat itu daripada harus berada pada ruang yang sama dengan Bela. Hanya dengan gadis itu saja.
"Bukannya sudah kita bicarakan tadi?" balas Bela dengan tidak peduli sama sekali. Dia berujar seakan-akan mereka tadi sudah benar-benar membicarakan tugas kelompok mereka dengan serius. Di saat kenyataannya mereka tadi hanyalah bertengkar saja.
"Bicarakan apanya? Kau malah menyuruhku mengerjakan semuanya sendiri," ujar Riki mencoba mengingatkan Bela tentang apa yang gadis itu sebut sebagai 'diskusi' itu tadi.
"Ya itu kan karena kau sendiri yang salah," Bela tiba-tiba saja menyalahkan Riki.
Laki-laki ucapan gadis itu berhasil membuat rahang Riki terjatuh saking terkejutnya. Dia tidak menyangka akan disalah kan di saat dia tidak melakukan apa-apa yang bisa disebut sebagai kesalahan.
"Kenapa kau mendadak menyalahkanku?" Riki bertanya dengan tidak terima, "Memang apa yang aku lakukan?"
"Kau terburu-buru," ujar Bela dengan nada menyalahkan. Seakan-akan bersikap terburu-buru adalah sebuah kesalahan paling fatal yang pernah ada.
Sementara Riki kebingungan. Sungguh tidak paham kenapa dia disalahkan. Jika pun dia memang terburu-buru tetap saja dia tidak bisa disalahkan karena semua itu demi tugas mereka bersama. Supaya mereka bisa mendapatkan nilai yang bagus.
"Apa salahnya terburu-buru? Anak lain juga sudah mulai mengerjakannya. Hanya kita yang benar-benar belum membahasnya sama sekali," ujar Riki, menerangkan keadaan mereka saat itu. Mereka benar-benar sudah ketinggalan jika dibandingkan dengan anak-anak yang lain.
"Kau sangat terburu-buru dan ingin menyelesaikan tugas itu secepatnya. Makanya aku suruh kamu sendiri kalau memang ingin cepat selesai," jawab Bela. Masih dengan level ketidakpedulian yang tinggi.
Riki berdecak. "Jadi kapan kau punya waktu? Kau sungguh tidak mau mengorbankan akhir pekan demi tugas ini?"
"Tentu saja tidak mau. Aku ingin bersantai dan bersenang-senang di hari libur," jawab Bela. Sama sekali tidak berubah pikiran sejak tadi.
Yang ada dalam kepalanya masih saja sama. gadis itu masih saja menginginkan hari liburnya untuk dipakai bersantai tanpa terganggu oleh hal-hal yang berpotensi membuat pusing kepala.
Riki menghela napas dalam untuk yang kesekian kali. dia mencoba menemukan cara lain untuk bisa membuat teman sebangkunya itu bersedia untuk mengerjakan tugas kelompok.
Dia pun menyarankan hal lain, "Kalau begitu nanti pulang sekolah—"
"Tidak! Aku sudah pusing dengan pelajaran seharian ini. Otakku bisa meledak kalau pulang sekolah masih harus berpikir juga," sambar Bela tanpa membiarkan lelaki itu berujar sampai selesai.
Riki, sekali lagi, menarik napas dalam-dalam.
Padahal dia sudah menyarankan waktu lain yang mana tidak perlu mengganggu akhir pekan yang ingin garis itu gunakan untuk beristirahat sepenuhnya. Siapa sangka gadis itu masih saja tetap menolak usulnya?
Mendadak Riki kehilangan kesabaran. Dia pun meledak, "Kau itu benar-benar—!"
"Apa?" Bela menyahut galak. Dan untuk yang kesepian kali gadis itu tidak membiarkan Riki menyelesaikan kalimatnya.
Matanya menyorot galak pada lawan bicaranya itu. Seakan siap menerkam dan menggigit kapan saja.
Melihat hal itu, Riki tidak merasa terintimidasi. Tetapi dia mulai berkesimpulan bahwa Bela tidak memiliki niat sedikit pun untuk mengerjakan tugas kelompok mereka.
"Kalau kau memang tidak niat mengerjakan, biar aku saja yang mengerjakan semuanya sendirian," ujar Riki dengan kecewa.
Sayangnya, Bela tidak menyadari kekecewaan dalam suara Riki.
Dia masih dalam mode galak siap menggigit kapan saja. "Kau mau mencoretku dari daftar kelompok?" tanyanya tidak terima.
"Aku akan membiarkan namamu tercantum meski kau tidak berkonstribusi apa-apa," jawab lelaki itu sebelum bangkit dan pergi.
Meninggalkan Bela yang baru menyadari kalau teman sebangkunya itu sedang merasa kecewa.