"Bukanlah, aku sudah punya seseorang di hatiku," jawab Arisha. Mana mungkin dia mau dengan Erland. Bagaimana bisa hidup dengan lelaki yang setiap hari mesum padanya.
"Kalau begitu Arisha boleh juga, dia cantik dan baik." Erland berpikir sekretarisnya wanita yang cantik dan baik, mungkin tak ada salahnya kalau dia sedikit membuka hati pada wanita yang bukan tipenya.
"Apa? Arisha itukan aku juga? Gimana ini? Niat hati mencarikannya pawang dinosaurus justru malah ingin memangsaku," batin Arisha. Tak habis pikir. Lempar bola agar aman justru bola panas menggelinding ke arahnya.
Arisha menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan.
"Erland, bukannya Arisha sekretarismu?" tanya Arisha.
"Iya, dia sekretaris yang sholeha dan itunya enak," jawab Erland. Tersenyum mengingat Arisha. Wanita berhijab yang pertama kali hadir di hidupnya.
"Itunya enak apa?" tanya Arisha. Dia berpikir Erland pasti memikirkan hal mesum tentangnya. Arisha jadi teringat saat pertama bertemu dengan Erland.
"Pasti otaknya memikirkanku memakai bikini atau dia ....? Tidak, hubungan ini tidak sehat," batin Arisha. Jangan sampai Erland jatuh hati pada dirinya.
"Telur dadar dan sambal yang sering dibawanya, itu pertama kali aku makan-makanan murahan," jawab Erland. Makanan yang dibawa Arisha sudah membuat kenangan yang terukir di pikiran lelaki tampan itu.
"Oh kirain apanya yang enak? Gara-gara gaul dengan Erland otakku jadi miring dan ngeres," batin Arisha. Sudah berpikir hal yang mesum yang dipikirkan Erland, ternyata sang casanova sedang memikirkan telur dadar dan sambal yang sering dibawanya.
"Jadi kau suka itu?" tanya Arisha.
"Iya, aku suka," jawab Erland. Sambil menatap pemandangan di pagi hari yang memanjakan kedua netranya.
"Kapan-kapan aku buatkan mau?" tanya Arisha.
"Apa rasanya sama dengan buatan Arisha?" tanya Erland. Telur dadar dan sambal itu membuat Erland menyukai makanan biasa. Dia tidak yakin wanita bercadar itu bisa membuat yang sama dengan yang dibuat Arisha.
"Pasti sama, bahkan lebih enak," jawab Arisha. Sudah jelas dia bisa membuat telur dadar dan sambal yang diinginkan Erland, karena wanita yang dibicarakan Erland itu dirinya sendiri.
Beberapa jam berlalu. Sore itu Erland makan dengan lahap. Dia memakan telur dadar dan sambal buatan Arisha. Erland duduk sambil ditemani Arisha yang ada di sampingnya.
"Erland, kau sudah habis dua piring, tidak akan kekenyangan?" tanya Arisha. Dari tadi memperhatikan Erland yang makan sendirian.
"Tidak, satu piring lagi," jawab Erland. Dia kembali menyuapkan nasi ditambah telur dadar dan sambal ke mulutnya.
"Kau bisa gemuk. Ingat berlebihan itu tidak baik." Arisha berusaha menasehati Erland agar tak menambah nasi lagi.
"Iya. Tapi telur dadar dan sambal buatanmu rasanya mirip yang dibawa Arisha," sahut Erland. Dia merasa telur dadar dan sambal buatan wanita bercadar itu mirip buatan sekretaris berhijab di kantornya.
"Masa? Enakkan buatan istrimukan?" tanya Arisha.
Erland langsung menghentikan makannya. Tersenyum tipis melihat wanita bercadar itu.
"Kau cemburu aku membicarakan Arisha?" tanya Erland. Menggoda wanita bercadar yang mulai membandingkan dirinya dan sekretaris berhijab itu.
"Gak, gak akan," jawab Arisha.
"Oya, nanti saat aku mendapatkan hati gadis berhijab itu kau akan menyesal," sahut Erland. Dia yakin istrinya akan menyesal saat Erland mendapatkan hati sekretaris sholeha yang ada di kantornya.
Arisha tersenyum dibalik cadar. Orang yang dibicarakan Erland itu dirinya sendiri.
"Erland, kenapa kau tidak cari wanita lain. Siapa tahu Arisha sudah punya pacar."
"Tidak peduli. Aku belum pernah kencan dengan wanita berhijab. Pasti serukan?" Erland mulai kembali menyantap makanannya dengan santai.
Arisha mengelus dadanya. Bagaimana bisa Erland justru mau mengejarnya.
"Memang tidak ada yang lebih baik? Arisha tidak akan mau denganmu yang seorang casanova," ujar Arisha. Coba mempengaruhi Erland agar tidak mengejarnya.
"Aku akan berhenti mengejar wanita-wanita yang tak penting itu, dan mulai fokus pada satu wanita seperti katamu." Apa yang tadi dikatakan wanita bercadar itu ada benarnya. Dia harus belajar setia dan mencari wanita yang baik.
"Kau yakin? Casanova sepertimu bisa insaf? Jangan buat wanita baik-baik kecewa." Arisha meragukan kesungguhan Erland untuk insaf dari kebiasaannya.
"Mungkin, kalau aku bisa mencintainya," jawab Erland. Dulu dia pernah setia bahkan mengorbankan semuanya demi cinta. Mungkin rasa itu akan kembali padanya.
***
Malam itu Arisha lebih dulu masuk kamar. Dia berbaring di ranjang usai sholat sambil bersantai karena hari esok sudah mulai bekerja lagi. Erland hanya memberi ijin cuti satu hari untuknya.
"Aku belum menelpon Ibu, aku rindu." Arisha bangun. Dia mengambil handphone di atas nakas. Dan mulai menghubungi Safira untuk mengetahui kabarnya.
["Assalamu'alaikum."]
["Wa'alaikumsallam.]
["Bu, bagaimana kabar Ibu? Arisha kangen."]
["Baik Nak. Kau sendiri?"]
["Baik Bu, sekarang aku sudah menikah. Dan tinggal di rumah Keluarga Dewangkara.]
["Apa? Keluarga Dewangkara?"]
["Iya Bu."]
Tiba-tiba pembicaraan itu diakhiri Safira. Hal itu membuat Arisha bingung. Dia tidak tahu kenapa Safira menutup telpon padahal Arisha belum bicara banyak.
"Ibu kenapa ya?" Arisha resah dan gelisah. Dia kembali menggubungi Safira.
"Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi."
"Kok malah gak aktif." Arisha heran kenapa nomor telpon Safira malah dinonaktifkan. Dia merasa tidak mengatakan hal yang salah saat menelpon ibunya.
"Apa aku salah ngomong? Ibu kenapa?"
Arisha memegang handphone di tangannya. Dia menatap foto Safira di wallpaper handphone miliknya. Entah kenapa Safira seperti itu padanya. Membuat Arisha kebingungan.
Arisha ke luar dari kamar. Mungkin bisa membuat pikirannya lebih tenang. Dia berjalan di antara ruangan demi ruangan. Rumah Keluarga Dewangkara begitu besar dan luas seperti rumah lamanya. Saat tinggal bersama Raditya.
"Untuk apa kau membawa kado dari Eric?" Suara Victoria terdengar dari ruangan kerjanya, membuat Arisha ingin tahu apa yang sedang dibicarakan Victoria dengan seseorang di dalam ruangan itu. Arisha mendekat dan menguping pembicaraan itu.
"Maaf Bu. Maaf." Sisilia berdiri di depan Victoria yang duduk di sofa. Dia menunduk dan memegang kado di tangannya.
"Lelaki pengkhianat, untuk apa kau masih peduli padanya?" tanya Victoria. Ada gurat kekecewaan di wajahnya.
Sisilia terdiam. Dia tidak berani berbicara apapun lagi di depan Victoria yang berkuasa. Apalagi statusnya di rumah itu hanya menantu.
"Siapapun yang tidak bisa mengikuti peraturan di rumah ini. Aku tak segan mengusirnya."
"Iya Bu." Sisilia tahu tak ada ampun jika Victoria sudah mengusir siapapun dari rumahnya. Jika ingin tinggal maka harus mengikuti semua peraruran yang ada.
"Eric lebih memilih dia dari pada dirimu. Seharusnya kau tahu itu." Victoria kembali mengingatkan luka lama Sisilia akibat pengkhianatan Eric padanya.
Sisilia mengangguk.
Arisha terperanjat mendengar percakapan itu. Dia baru tahu kenapa Eric tidak ada di acara pernikahannya dan Erland. Yang seharusnya hadir sebagai ayah pengantin pria.
"Kau sedang apa di situ?" tanya Renata yang berdiri di belakang Arisha. Dia memergoki Arisha sedang menguping.
Deg
Arisha semakin dibuat terkejut saat mendengar suara Renata ada di belakangnya. Jantungnya berdebar tak karuan. Dia takut Renata tahu kalau dia sedang menguping pembicaraan Victoria dan Sisilia.