Sesampainya di rumah, Risma langsung masuk kamar, sapaan emak dari dapur hanya dijawab sekenanya saja.
" Kenapa ini anak, datang datang langsung ngerem di kamar" kata Mak Lis, Ibunda Risma.
Mak Lis mengetuk pintu kamar Risma, dengan malas Risma membukakan pintu itu, diambang pintu Mak Lis menatap heran, melihat mata putri semata wayangnya itu sembab.
" Kamu kenapa, habis nangis nak" Tanya Mak Lis pelan. Risma menggeleng pelan.
" Kamu mandi dulu, setelah itu makan, baru bicara sama Mak" Mak Lis, seperti memahami kondisi hati sang buah hatinya. Dengan langkah gontai dan sedikit malas, Risma menuruti perintah orang tua satu satunya itu, karena ayahnya telah meninggal sekira tujuh tahun yang lalu.
Setelah mandi, Risma menghampiri Mak Lis diruang tengah, dimana diruang ini mereka sering menghabiskan waktu bersama.
" Makan dulu Ris..." titah Mak Lis.
" Risma udah makan Mak, tadi di tempat biasa" Risma menjawab sambil merbahkan badan dengan kepala bertumpu pada pangkuan ibunya yang sudah berusia melewati setengah abad.
Mak Lis memandang Risma, di elusnya rambut gadis itu. Risma menengadah melihat muka Mak Lis, lantas dia tersenyum.
" Kenapa tadi Mak lihat kamu menangis, baru kali ini Mak lihat matamu sembab" tanya Mak Lis, karena memang Risma hampir tak pernah menangis, bahkan sejak kecil dia cenderung kuat seperti anak laki laki.
" Aku cuma kelilipan Mak" jawab Risma asal. Mak Lis menghela napas, bathinnya sangat yakin jika sang anak tengah menyimpan kesedihan.
" Jangan menyimpan kesedihan sendiri nak, berbagi dengan Mak, karena kamu cuma punya Mak begitu juga sebaliknya. " suara Mak Lis, sedikit parau.
" Mak..." tiba tiba Risma bangkit, dirangkulnya wanita yang telah membesarkannya itu.
Tak ingin memperlihatkan kesedihan di hadapan Mak, namun air matanya tak mamou ditahan. Luka di dalam hatinya tak mampu lagi ditepis, Risma menangis sesenggukan, untuk pertama kalinya di pelukan Mak Lis, sejak ia beranjak remaja. Tangan Mak Lis mengusap lembut rambut dan punggung Risma. Dibiarkannya putrinya itu tenggelam dalam tangisnya. Mak Lis seperti memberikan ruang pada Risma untuk menumpahkan dukanya di dalam dekapannya. Perlahan Risma bangkit, kedua tangannya mengusap air mata yang telah menganak sungai di kedua pipinya.
" Mak... " suara yang parau silih berganti dengan sisa tangisnya.
" Sudah agak tenang nak?" lirih Mak Lis " Ceritalah, Mak akan menjadi pendengar buat kamu, Mak akan jadi wadah untuk kamu tumpahkan keluh kesah" Begitu bijak Mak Lis menghadapi remaja seusia Risma. Wanita yang keseharianya bergelut dengan barang dagangan di pasar itu tampak teduh melindungi Risma.
" Rido Mak... " Risma menghentikan ucapannya, airmatanya kembali menetes.
" Ada apa dengan Rido?" Mak Lis mengerutkan kedua alisnya, dia sangat mengenal sahabat anaknya itu. Di matanya Rido anak yang baik, meski dia anak orang kaya di komplek tapi dia tak sungkan bahkan lebih sering main di rumah Risma atau Ogi, yang terletak di perkampungan dengan dibatasi pagar tembok tinggo dengan tempat tinggal Rido.
" Risma, bicara yang jelas, biar kamu lega" kata Mak Lis lagi, terdorong rasa penasaran.
"Rido pacaran dengan Hana, Mak" jawab Risma mulai sedikit tenang. Mak Lis menatap Risma, dirinya menunggu lanjutan cerita dari Risma. Risma pun menceritakan secara jujur tentang perasaan yang dirasakanya ketika tahu kalau Rido pacaran dengan gadi lain.
" Kamu cemburu nak?" Mak Lis mencoba menebak.
" Apa kamu selama ini menyukai Rido?, selama ini Mak nggak melihat kamu seperti itu" sambung Mak Lis.
" Risma nggak tahu Mak, Risma nggak tahu, kenapa bisa begini, Risma nggak pernah merasakan ini" Risma menunduk. Mak Lis menghela napas dala, seperti ada beban yang teramat berat.
" Ris... boleh Mak ngomong?" tanya Mak Lis, Risma hanya mengangguk. " Kamu perempuan, betul semua orang boleh suka dan cinta kepada siapapun. Tapi kita harus hati hati nak, jangan sampai kita jatih cinta pada orang dan tempat yang salah. Karena jika itu terjadi, yang ada akan kecewa dan sakit hati. Kamulah sekarang contohnya" Mak Lis menghentikan omongannya, matanya menatap dinding usang dihadapannya, matanya nampak sedikit berkaca kaca.
" Mak, maafin Risma udah bikin Mak sedih" Risma menatap sang ibu, dan kembali memeluknya.
" Kamu nggak salah nak, cuma kamu sedikit keliru" begitu pandai Mak Lis memperhalus bahasa agar tak melukai hati Risma.
" Kamu harusnya tidak punya perasaan seperti itu pada Rido. Karena kamu dan Ogi serta Rido itu bersahabat sejak lama, sejak kalian masuk SMP. Jangan menodai persahabatan kalian dengan cinta. Selain itu, kita harus tahu siapa kita siapa Rido, dia anak orang kaya, sedangkan kita kamu tahu sendiri, kamu harusnya cukup bahagia bisa berteman dengan orang seperti Rido, jangan lebih. Ini buat hati kamu, biar nggak sakit, biar nggak kecewa" begitu panjang lebar namun penuh kehati hatian Mak Lis menasehati Risma.
" Aku nggak boleh cemburu mak?" tanya Risma.
" Hlilangkan perasaan itu nak" lirih Mak Lis.
Risma terdiam, dia menggigit bibirnya, omongan Maknya tidak ada yang salah, namun hatinya belum sanggup melupakan rasa itu. Dengan terpaksa Risma mengangguk pelan.
" Makasih Mak, Risma akan membuang rasa ini jauh jauh, maafkan Risma" Sekali lagi Risma memeluk perempuan itu.
" Sudahlah jangan cari penyakit nak, Mak mohon, demi kebaikan kamu, sekarang udah mau magrib, sana siap siap, jangan banyak pikiran, sekolah yang bener, biar jadi orang sukses, inget almarhum bapakmu, pesennya kamu harus jadi orang sukses" pungkas Mak Lis, sambil bangkit hendak bersiap ke mushola untuk sholat magrib berjamaah.
Risma beranjak ke kamar, diambilnya ponsel miliknya. Dengan gemas dia menghapus gambar yang di kirim seseorang tadi. Hatinya masih terasa perih, namun Maknya telah mnguatkan dirinya. Dirinya harus membuang jauh rasa itu, dan tak boleh cemburu. Sesuatu yang baginya sangat sulit, tapi harus bisa dilakukannya.
Usai sholat magrib, Risma keluar dari rumah mungilnya itu, matanya celingukan ke arah depan rumah, dimana tetangga depannya itu tak lain adalah rumah keluarga Ogi. Tapi dia tak melihat sahabatnya itu, bahkan motor yang biasa di pake Ogi juga tak ada di teras. Yang terparkir hanya motor dinas Kelurahan inventaris bapaknya Ogi tang memang bekerja di kelurahan.
' Kemana tuh anak' gumam Risma, sambil duduk di kursi rotan di teras rumahnya. Dikeluarkannya ponsel dari kantong celana yang di pakainya. Dia coba menghubungi Ogi, namun tak ada jawaban, Ogi tak menerima oanggilan darinya, Risma melenguh, dan beranjak kembali masuk kedalam rumahnya.
Namun baru saja dia berada di ruang tamu, langkahnya terhenti, dia dikagetkan suara tangisan di seorang perempuan dewasa di luar. Risma bergegas keluar dari rumah. Matanya melongo, melihat Bu Nining, ibunya Ogi, menangis histeris di depan rumahnya. Risma segera menghampirinya dan bertanya.
" Ada apa bu," Risma memegang tangan bu Nining, yang masih saja meraung-raung semakin keras,. hingga mengundang tetangga yang lain.
" Bu, ibu tenang ada apa ini" tanya Risma lagi.