"Jika Anda memang tidak memerlukan aku sedari awal maka lebih baik Anda melupakan aku karena aku sudah hidup bahagia dengan ibuku," Camelia kembali berkata kepada sang ayah yang sudah terlihat kesal kepadanya.
Camelia tidak akan pernah mau tinggal dia rumah sang ayah yang sama sekali tidak pernah menginginkannya sedari awal, dia lebih memilih tinggal dengan hidup sederhana bersama dengan sang ibu. Meski dia akan selalu menerima perlakuan sang nenek yang menyesakkan tetapi itu lebih baik dibandingkan hidup dengan sang ayah yang sudah membuangnya.
"Kamu bisa mengatakan apa saja kepada Ayah tetapi yang pasti kamu tidak bisa pergi dari rumah ini," Sang ayah berkata kepada Camelia.
Setelah itu sang ayah mengatakan kepada sang asisten untuk membawa Camelia ke kamarnya dan juga menyuruh beberapa pengawal untuk berjaga dan tidak mengizinkan Camelia untuk pergi. Sang asisten menganggukkan kepalanya dan dia mempersilakan sang nona untuk ikut dengannya.
Camelia sudah tidak banyak bicara lagi karena dia tahu tidak akan ada gunanya untuk berdebat dengan orang yang egois dan tidak paham dengan perasaannya. Dia pun berjalan mengikuti sang asisten menuju kamar yang sudah disiapkan oleh sang ayah untuknya setelah tahu jika Camelia adalah putrinya.
Sang ayah terdiam melihat kepergian putrinya dan dia merasa jika apa yang dikatakan oleh Camelia adalah hal yang wajar karena dia memang sudah membuang putri kandungnya. Namun, dia kembali mengingat apa yang dikatakan oleh Amalia yang memintanya untuk bersabar dengan Camelia.
"Andaikan kamu mengatakannya lebih awal kepada Camelia dan aku mungkin semua ini tidak akan terjadi dan aku merasa bingung untuk mengatakannya kepada, Camelia," gumam sang ayah lalu dia pun kembali fokus dengan dokumen yang ada I atas mejanya.
Camelia sudah berada di dalam sebuah kamar yang sangat luas dan dia membandingkannya dengan kamar yang ditempatinya selama bertahun-tahun bersama dengan sang ibu. Semua yang terlihat begitu indah dan sudah sangat mahal tetapi entah mengapa dia tidak merasa nyaman dengan semua yang terlihat oleh kedua matanya. Ponsel Camelia berdering dan dia mengambil ponselnya yang ada di dalam tas lalu melihat siapa yang menghubunginya, dia tersenyum lalu mengangkat teleponnya karena yang menghubunginya adalah sang ibu.
"Bu, apakah aku bisa kembali ke rumah? Entah mengapa aku tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini?" Camelia langsung bertanya kepada sang ibu setelah mengangkat teleponnya.
Sang ibu merasa sedih mendengar suara Camelia tetapi semua ini adalah demi kebaikan sang putri karena sang ibu tidak ingin melihat putrinya terus saja menderita. Dia pun mengatakan kepada Camelia jika dirinya harus mulai bisa memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh sang ayah. Semua hal yang sudah terjadi itu adalah masa lalu dan bagaimanapun juga Camelia tidak bisa menghilangkan ikatan darah dengan sang ayah.
Camelia mendengarkan apa yang dikatakan sang ibu dan dia merasa jika ada yang janggal dengan setiap kalimat yang ke luar dari mulut sang ibu. Semakin dipikir semua keanehan itu membuatnya bertanya kepada sang ibu, "Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
"Kamu harus ingat satu hal apa pun yang terjadi dia adalah ayahmu dan kamu harus sudah mulai bisa menerima semua itu," Sang ibu berkata di seberang telepon.
Setelah mengatakan itu sang ibu pun memutuskan sambungan teleponnya dan dia terdiam sembari terduduk, matanya mulai berembun dan dia akhirnya menangis. Dia mengambil sebuah foto di atas meja lalu menatap wajah yang ada di dalam foto tersebut yang tidak lain adalah Camelia.
"Maafkan ibumu ini yang memaksamu untuk berada di sisi ayahmu," ucap sang ibu sembari menyentuh lembut foto Camelia.
"Apa yang kamu tangisi? Mengapa kamu mengizinkannya untuk membawa Camelia?" tanya sang ibu yang merasa kesal dengan keputusan Amalia.
Sang ibu terus mengatakan jika semua keputusan yang diambil oleh sang putri semuanya adalah kebodohan dan dia sungguh tidak mengerti mengapa melahirkan seorang putri yang sangat bodoh. Dia menyesali semua hal yang dilakukan oleh Amalia yang lebih memilih hidup miskin padahal dia bisa hidup dengan bergelimpangan harta.
"Camelia lebih pantas hidup dengan ayahnya dibandingkan denganku dan juga denganmu, Bu," Amalia berkata setelah dia menghentikan tangisannya.
"Kamu salah karena Camelia akan hidup dengan kesengsaraan meski dia sudah bertemu dengan ayahnya," sambung sang ibu.
"Mengapa? Mengapa Ibu selalu saja berkata hal buruk tentang putriku? Apakah dia sudah berbuat salah kepadamu, Bu? Apakah semua hal yang sudah dilakukan olehnya dan juga aku tidak pernah membuat hati ibu terenyuh?" Amalia melontarkan beberapa pertanyaan kepada sang ibu.
"Karena dia ā¦,"