"Sebenarnya Lo siapa, sih? Emang kita kenal?" tanya Aslan pada cewek yang kini menatapnya lekat-lekat.
"Lo mau bolos?"
"Bukan urusan, Lo!"
"Tetap itu urusan gue," tegasnya tak mau mengalah.
"Cewek aneh!"
Aslan sudah tak mau lagi mendengarkan perkataan cewek itu, lantas mengibaskan tangan Meysa yang memegangnya dengan kasar.
"Eh, anak baru lebih baik gak usah nasehati dia. Orangnya emang kayak gitu, yang ada kamu sendiri yang kena masalah nanti," tutur seorang siswi yang duduk tak jauh dari bangkunya.
"Lo mau ke kantin? Ayo, bareng sama kita sekalian," ajaknya.
"Boleh." Meysa tersenyum padanya lantas mengikuti langkah segerombolan siswi itu menuju kantin.
Saat melewati koridor sekolah, mereka melihat segerombolan cowok sekelasnya, juga ada seorang cowok yang duduk sebangku dengan Meysa. Cowok itu duduk di bangku panjang, dengan sebuah ponsel di tangannya.
"Eits! Stop, bayar dulu," pinta mereka begitu Meysa dan yang lain hendak melintas.
"Besok aja ya, kami lagi gak punya uang," pintanya memohon.
"Mana ada gak punya uang barengan, emang kalian satu bapak?" Permohonan itu justru dijadikan bahan candaan.
Terpaksa beberapa teman baru Meysa, hendak mengeluarkan uang dari sakunya.
"Jangan kasih apa-apa ke mereka," cegahnya.
"Eh, cewek ini lagi jangan cari gara-gara sama kita, deh mending, sebelum terlambat sih," cetusnya.
"Memangnya kenapa? Yang kalian lakukan ini salah, dan gak seharusnya kalian malak murid lain seperti ini. Kalian di sini buat belajar apa mau jadi preman sok jagoan?" sindir Meysa.
"Halah banyak omong! Cewek yang kayak gini harus diberi pelajaran!"
Edo sudah terpancing emosi, begitu juga dengan yang lain. Meysa tak gentar sedikitpun, mereka hendak mencelakainya, dengan sigap cewek itu melawan mengeluarkan kemampuan bela diri yang sudah dia pelajari bersama kakeknya dulu.
Perkelahian itu, mampu menarik perhatian murid-murid yang ada di sana rupanya. Bahkan, Aslan yang semula cuek, kini menoleh.
"Hentikan!" perintahnya.
Cowok itu berjalan mendekat ke arah Meysa.
"Siapa cewek ini sebenarnya?" tanyanya menunjuk ke arah Meysa.
"Dia cewek yang kemaren kita temui di persimpangan, sama bapaknya," jawab Tama.
Terukir senyum di sudut bibirnya.
"Namanya Meysa," bisik Edo kemudian.
"Ayo pergi." Semua anak buahnya merasa heran, tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh Aslan, biasanya cowok itu langsung menghajar habis orang yang berani melukai anggotanya.
Meysa mendapat tepuk tangan dari beberapa murid yang melihat kehebatannya dalam berkelahi.
"Gimana kalau Lo, masuk ke circle kita?" Penawaran itu baru pertama kali Meysa dapatkan.
"Iya mau ya, biar kita gak digangguin sama mereka lagi," sahut teman lainnya.
"Oke." Meysa menerima uluran tangan itu.
"Namaku Clara."
"Aku, Mira."
"Dan, aku Ela," sahut yang lainnya pula.
"Nanti kita masukkan ke grup khusus, okey."
Lagi-lagi Meysa hanya menjawab dengan senyuman, tangannya ditarik dan dia hanya pasrah mengikuti langkah teman-teman barunya itu.
Di gudang belakang sekolah.
"Lan, Lo kenapa aneh banget sekarang?" protes Edo saat mereka semua berkumpul.
Anggotanya bahkan lebih dari lima belas jumlahnya, tapi hanya ada tiga orang yang satu kelas dengan cowok itu, yang lain beda kelas semua.
"Aneh gimana?"
"Tadi, kita dihajar sama itu cewek, kenapa Lo gak belain? Malah ngajak kita pergi," sahut Tama.
"Iya, mana banyak murid-murid lain yang lihat." Arya pun ikut bersuara.
"Harusnya kalian malu, sama cewek malah dilawan. Ingat, Bro, cowok sejati gak akan pernah mau bertanding dengan cewek, apalagi sampai menyakitinya," tutur Aslan terdengar semakin aneh saja di telinga teman-temannya.
Jam pelajaran terakhir.
Seorang guru Matematika, sekaligus guru BK di sekolah itu masuk ke ruang kelas tersebut. Sebuah hal langka, yang harus diabaikan menurutnya. Aslan dan teman-teman gengnya itu, tak bolos untuk pertama kalinya di jam pelajaran Bu Rena.
"Siang semua," sapanya.
"Siang, Bu ...."
"Itu yang di pojok, kesambet apa?" Gemuruh suara para siswa yang menertawakan ucapan Bu Rena barusan membuat beberapa teman Aslan merasa kesal.
"Lan, sini maju. Sama teman-teman kamu juga," pintanya.
Ini yang membuat mereka malas masuk kelas, pasti ada saja hal yang mempermalukan ketika jam pelajaran Bu Rena.
"Sekarang kalian berpikir tegak, kedua tangan di pinggang dan goyang ke kanan dan kiri," suruhnya.
"Bu, salah kami memangnya apa?"
"Masih pakai nanya lagi, selama hampir satu bulan ini kalian ke mana setiap jam pelajaran saya? Gak pernah masuk, sekali masuk palingan cuma tidur atau gak bikin rusuh! Kalian gak kapok masuk ruang BK setiap hari? Sekarang juga, kalian ke lapangan dan hormat ke bendera merah putih sampai jam pelajaran saya selesai! Cepat!!!"
Setelah ngomel panjang lebar, yang lumayan membuat telinga seisi kelas panas mendengarnya, akhirnya Bu Rena diam juga. Tak ada yang berani membantah perintahnya, meski malas Aslan pun mengikuti teman-temannya yang lain.
"Sekarang kita lanjut pelajarannya. Kemaren sampai mana ...."
Bukannya fokus pada apa yang dijelaskan oleh gurunya di depan, Meysa malah kepikiran soal cowok yang bernama Aslan itu. Pertemuan pertama mereka, sudah tidak baik, tapi bagaimana cara dia menghargai cewek, membuat pintu hati Mesya sedikit terketuk.
"Jadi, siapa yang tahu jawabannya, Meysa?"
Cewek itu tak mendengar pernyataan dari gurunya.
"Meysa!!"
"Meysa!!" panggil Bu Rena untuk ketiga kalinya.
"Eh, iya Bu, ada apa?"
"Kamu sudah duduknya di pojok, banyak melamun lagi. Hati-hati, kamu duduk sama Aslan, 'kan?"
Mesya mengangguk mengiyakan.
"Dia itu biang onar, pembawa pengaruh buruk jangan sampai kamu ketularan karena duduk sebangku dengannya," tutur gurunya mengingatkan.
Jam pulang sekolah pun tiba. Dari lantai atas, Meysa lihat Aslan dan beberapa temannya masih berada di bawah tiang bendera dengan Bu Rena yang ngomel-ngomel di depan sana. Keduan pasang mata mereka bertemu, membuat Meysa langsung mengalihkan pandangannya.
"Mey, Lo pulang bareng sama siapa?" tanya Bima padanya.
"Sendiri, naik angkot aja, soalnya motor masih ada di bengkel," jawabnya.
"Bareng aja yuk, kebetulan 'kan searah!"
"Searah apanya, samping rumah kalik!" sahut Meysa membuat keduanya tertawa.
Cewek itu tahu, dari bawah sana Aslan masih setia memadangi setiap tingkahnya.
"Oh iya, dengar-dengar tadi, Lo cegah geng itu malak anak-anak pas di koridor, ya?"
"Iya, habisnya kesel banget!" jawabnya.
"Mey, berapa kali harus aku bilang jangan cari masalah sama mereka. Kalau terjadi sesuatu aku gak mau ikutan, takut," sahut Bima bergidik ngeri.
"Dikira hantu apa. Lagian gak terjadi apa-apa juga sama aku. Sudahlah, tenang saja mereka gak bakalan berani ngapa-ngapain aku," jelasnya begitu sombong.
"Belum, pasti sebentar lagi bakalan nangis-nangis ke gue buat minta solusi."
Meysa kelihatannya tak mendengarkan nasehat dari sahabatnya, meski sudah berkali-kali Bima mencoba.
Bersambung ....