Raymond segera mematahkan ucapan Divya. "Ah, sudah! Jangan banyak membantahku! Sejak kemarin kamu selalu membuatku merasa pusing! Salahku karena sudah menerimamu menjadi sekretarisku. Sekarang cepat buatkan aku kopi. Setelah itu kembali ke ruangan kamu dan segera laporkan jadwal meeting hari ini," gerutu Raymond seraya mulai berjalan menuju meja kerjanya.
"Baik, Pak." Divya segera beralih dan menguatkan kopi susu untuk pria tersebut. "Kalau saja aku tidak bergantungan kepadamu. Sudah pasti akan ku tinggalkan tempat ini! Dua hari aku bekerja di sini, rasanya sudah hampir sepuluh tahun," gerutu Divya di dalam hatinya.
Satu persatu laporan pun selesai Divya kerjakan. Raymond juga tidak menyangka bahwa sekretarisnya begitu cekatan dalam bekerja. Ia juga menjadi sangat teliti memeriksa semua laporan yang sudah wanita itu selesaikan. Tidak ada satu kesalahan yang ada di dalam berkas yang sudah Divya kerjakan.
"Bagaimana mungkin dia bisa menghafal dan mengerjakan semuanya sesuai dengan kriteriaku? Ternyata, dia ini bukan manusia biasa, ya!" pikir Raymond merasa kelimpungan mencari kesalahan Divya.
Divya langsung tersenyum ketika melihat raut wajah bingung sang atasan. "Permisi, Pak. Nanti sore jam lima kita ada meeting bersama dengan perusahaan—"
Raymond langsung mematahkan ucapan sekretarisnya. "Batalkan saja! Aku tidak punya banyak waktu untuk menghadiri pertemuan itu nanti. Bila perlu atur kembali jadwalnya," titah Raymond membuat Divya merasa kesal.
"Permisi, Pak. Namun, jadwal dari meeting ini sudah Bapak cancel beberapa kali dengan sekretaris yang lama. Mereka sangat berantusias ingin bekerja sama dengan perusahaan kita, Pak," ungkap Divya.
Divya langsung menjelaskan rincian perusahaan yang menurutnya sangat bagus untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka. Setelah mendengarkan semua celotehan Divya, Raymond langsung menyetujui pertemuan itu. Ia juga merasa tidak menyangka bahwa wanita yang kini berdiri di hadapannya begitu teliti dan maju dalam mencari informasi. Ada sedikit rasa bahagia yang tersirat di dalam hati Divya.
"Aku sudah mendapat sela kelemahanmu! Ternyata, kau begitu tergiur dengan popularitas dan uang," ungkap Divya di dalam benaknya. "Oke, Pak. Saya akan segera mengkonfirmasi kehadiran kita nanti."
Raymond sedikit menanjakkan alisnya. "Segera ganti pakaianmu!" titahnya.
"Per–permisi, Pak! Mengganti pakaian saya? Kenapa saya harus menggantinya, Pak?" tanya Divya merasa ada hal yang aneh.
Divya langsung mencium aroma yang terhimpit pada ketiaknya. Memang tidak ada masalah di bagian itu. Ia pun kembali mengendus aroma lain pada tubuhnya. Ia menjadi sangat insecure dengan hal tersebut. Kedua matanya pun kembali menatap wajah lelaki yang sudah memiringkan senyumannya.
"Permisi, Pak. Kenapa Bapak tidak menjawab pertanyaan saya? Ada yang salah dengan pakaian saya, Pak?" tanya Divya sekali lagi.
"Tentu saja, kalau tidak bermasalah mana mungkin aku memerintahkanmu untuk menggantinya," ungkap Raymond. "Pakai pakaian yang akan aku berikan kepadamu nanti. Aku sudah memesannya melalui Luke. Aku harap kamu mengindahkan permintaanku ini. Jika tidak, aku tidak akan mau pergi bersamamu nanti," lanjutnya.
"Oke, Baik. Saya akan mengikuti semua perintah Anda. Kalau begitu saya izin kembali ke ruangan saya, Pak. Terima kasih atas perhatian dan kebaikan Anda," ungkap Divya segera berlalu dari sana.
Setelah keluar, Divya langsung mengubah raut wajah senangnya menjadi sangat datar. Ia pun kembali masuk ke dalam ruangannya. Ia masih merasa sangat penasaran dengan ucapan Raymond. Ia masih terus mengendus aroma tubuhnya.
"Tidak ada yang salah dengan aroma tubuhku. Namun, kenapa dia menyuruhku untuk mengganti pakaian? Aneh sekali," gerutunya di dalam hati.
Setengah jam kemudian, Luke masuk ke dalam ruangannya. Pria tampan itu segera tersenyum dan memberikan beberapa bingkisan berwarna hijau kepada Divya. Wanita muda berparas menawan segera meraih empat tas bernuansa mewah itu.
"Terima kasih, Pak." Divya langsung menundukkan separuh badannya.
"Segera ganti pakaianmu, Nyonya. Tuan Raymond sudah menunggu kehadiran Anda di dalam ruangannya. Jangan kaget dengan pakaian ini, ya," bisik Luke ketika berlalu dari hadapan Divya.
Divya masih dalam keadaan kelimpungan. Salivanya pun tanpa sengaja tertelan secara kasar. Setelah kepergian Luke, ia segera beralih masuk ke dalam kamar mandi. Ia sangat terperangah ketika melihat pakaian berwarna hijau lumut itu. Pakaian yang sudah Raymond beli terlihat sangat ketat dan sexy.
"Rok ini terlalu pendek untukku. Bagaimana mungkin aku memakainya?" Divya merasa resah, ia kembali memutar-mutarkan tubuhnya di depan cermin datar. "Namun, aku juga tidak bisa menolak permintaan Raymond. Ah, sudahlah. Tidak apa-apa, lagian aku memakai ini hanya untuk sekali saja, 'kan? Hm, bagaimana kalau dia menjadi ketagihan melihat kemolekan tubuhku?" Divya sejenak terdiam dan menatap bagian cembung yang sangat terlihat tegas di depan sana sana.
Divya mulai merapikan pakaian yang sudah tergeletak di atas wastafel. Ia pun segera pergi keluar untuk menemui Raymond. Tidak disangka, pria tampan bertubuh kekar itu menjadi terpanah melihat penampilan baru sang sekretaris. Sangat menarik dan terlihat lebih bagus.
"Dia sangat cocok memakai pakaian seperti itu," puji Raymond di dalam benaknya.
"Permisi, Pak? Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Divya merasa cemas.
"Tidak, mulai sekarang kamu harus memakai pakaian seperti itu setiap hari. Jangan pernah memakai celana lagi," titah Raymond sembari melonggarkan simpulan dasinya.
"A–apa, Pak? Pakaian ini terlalu minim, Pak," bantah Divya.
Kedua netra Raymond langsung menajam setelah mendengar ucapan Divya. "Berani membantahku?" sentaknya.
Divya segera menyosor ucapan Raymond. "Hehe, bukan seperti itu, Pak. Namun, pakaian ini terlihat sangat sexy, 'kan? Akan terlihat tidak baik dimata orang lain. Apa lagi saya berprofesi sebagai sekretaris Bos Besar—"
Raymond langsung memotong ucapan sekretarisnya. "Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain. Kalau aku mengatakan sangat menyukai penampilanmu ini bagaimana? Kamu masih akan menolak permintaanku tadi?" Raymond langsung menebarkan senyuman mematikannya kepada Divya.
Divya sampai terpesona, ia sampai lupa apa yang harus diucapkan selanjutnya. Kedua netranya kembali membidik bibir tipis berwarna merah jambu itu. Kepalanya juga tanpa sadar langsung menggeleng cepat dan bibirnya segera tersenyum lepas menatap wajah pria berkharisma tingkat tinggi tersebut. Sungguh pemandangan yang sangat molek. Pesona Raymond memang sangat berbeda.
"Ya sudah, kalau begitu kamu harus selalu berpenampilan seperti itu setiap hari," lanjut pria yang kini memakai jas berwarna hitam metalic.
"Pak, saya belum menyetujui permintaan Anda. Kenapa main ACC begitu saja?" gerutu Divya merasa keberatan.
"Lah, bukannya kamu tadi tersenyum dan menggerakkan kepalamu? Aku sudah menganggapnya sebagai bentuk persetujuan kamu. Mau bagaimanapun juga, kamu harus tetsp berpenampilan seperti itu! Titik," sosor Raymond tidak mau tahu dengan alasan ataupun penolakan yang akan Divya katakan.
"Apa katanya? Aku menggerakkan kepalaku dan tersenyum kepadanya? Hah? Sejak kapan? Atau pikiranku menjadi kacau karena melihat senyuman mematikan itu?" pikir Divya merasa bingung sendiri. "Permisi, Pak. Bolehkah saya mengajukan satu pernyataan lagi?"
"Katakan saja," jawab Raymond dengan dingin.
Divya sedikit memasang raut wajah kasihan kepada Raymond. "Kalau boleh jujur, di dalam lemari pakaian saya tidak ada pakaian sebagus ini, Pak. Dan saya hanya mempunyai—"