Divya masih terus memandangi jalan raya. Sudah pupus harapannya untuk pulang ke rumah. Tidak ada angkutan umum yang melintas di sana. Ia pun kembali menatap gedung yang sempat ia kunjungi tadi.
"Aku tidak akan mungkin bisa pulang ke rumah. Argh, bodohnya aku! Kenapa aku tidak menginap saja di sana? Lagian, aku juga bisa memesan satu kamar biasa untuk dijadikan tempat peristirahatan sementara. Aku terlalu naif dan menyayangi uang-uangku ini," gerutunya. "Hm, tidak ada salahnya jika aku meminta bantuan kepada pria tadi, 'kan?"
Dengan rasa bodoh amat, Divya kembali masuk ke dalam hotel. Kini, ia sudah berdiri di depan pintu kamar Raymond. Tangannya sedikit berat mengetuk pintu tersebut. Ia pun kembali merilekskan tubuh sebelum melancarkan aksinya.
Ketika ingin mengetuk pintu, Devan bersama dengan Raymond secara mendadak membuka pintu ruangan tersebut. Sungguh terperangahnya Divya ketika melihat kondisi atasannya. Tidak terlihat seperti mabuk dan bisa tertawa seperti biasanya. Ia pun langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada melihat hal tersebut.
"Bapak? Kenapa bisa berjalan dengan normal dan … hm, aku tahu! Bapak sedang bersandiwara, ya?" pekik Divya tanpa rasa segan.
Raymond juga langsung terperangah melihat kehadiran sekretarisnya di sana. "K–ka–kamu kenapa masih ada di sana?" tanyanya kemudian.
Tatapan Divya begitu tajam, sehingga membuat Raymond kembali melancarkan sandiwaranya. Ia pun pura-pura terjatuh sembari memegangi kepalanya. Devan hanya bisa terdiam dan tertawa di dalam hatinya. Divya pun kembali menelan salivanya dan mencoba membangkitkan tubuh Raymond.
"Eh, ba–ba–bapak kenapa? Kenapa bisa sampai terjatuh seperti ini?" Divya merasa sangat cemas. "Pak Devan, tolong bantu saya untuk mengangkat tubuh Pak Raymond. Saya mana kuat sendirian mengangkat tubuhnya yang besar ini." Divya masih berusaha untuk mengangkat tubuh Raymond.
Devan pun dengan senyuman manisnya langsung membantu Divya untuk membawa tubuh Raymond masuk ke dalam kamar hotel. Setelah selesai membaringkan tubuh Raymond, Divya segera memberikan minyak Dewi Tunjong kepada hidung atasannya. Pria itu sontak terbangun dan menghindari tubuh Divya. Devan pun sampai tertawa geli melihat reaksi temannya.
"Ah, minyak apa ini? Hah? Bau sekali!" gerutu Raymond seraya membersihkan hidungnya dengan selimut.
"Eh, Pak. Sudah sadar? Ampuh juga minyak ini," celetuk Divya merasa takjub.
"Hei, kamu beri minyak apa kepada hidungku ini? Panas dan baunya sangat menyengat! Seperti minyak kemenyan!" gerutu Raymond merasa kesal.
"Ini minyak Dewi Tunjong, Pak. Bagus sekali untuk meringankan rasa pegal dan keadaan seperti Anda tadi. Dan lihat saja khasiatnya, Bapak sampai tersadar seperti itu," ungkap Divya dengan polosnya.
"Singkirkan! Kamu ini manusia aneh, ya! Sungguh sangat aneh dan langka." Raymond kembali menatap wajah Devan yang sudah menahan tawa besarnya di belakang Divya. "Dan kenapa kamu kembali ke tempat ini? Bukanya kamu sudah pulang sejak tadi?" tanyanya kemudian.
Divya langsung tersenyum dan menjelaskan maksud kedatangannya di sana. Devan pun langsung menyodorkan dirinya untuk mengantar Divya pulang. Namun, Raymond menolak usul pria tersebut. Ia memaksa Divya untuk tetap menjaganya di sana sampai besok pagi.
Dengan tegas Divya menolak permintaan atasannya. Namun, Raymond malah mengancam akan memecat Divya, jika menolak perintahnya. Bukan hanya itu saja, Raymond juga akan menuntut Divya atas penyalahgunaan kontrak kerja dan tidak tanggung-tanggung akan meminta denda sebanyak sepuluh kali lipat dari gajinya.
Sungguh tercengangnya Divya setelah mendengar ucapan Raymond. Ia juga merasa sangat menyesal sudah kembali ke tempat tersebut. Mau tidak mau, Divya pun mengiyakan permintaan sang atasan. Namun, Devan tidak bisa berbuat banyak. Raymond memang sosok pria yang keras kepala.
"Bagaimana, Divya? Kamu masih mau menolak permintaanku?" tanya Raymond seraya memiringkan senyumannya.
Divya dengan ketus pun menjawab, "Tidak, Pak. Kalau begitu saya akan memesan kamar lain. Dan Bapak yang harus membayarnya, ya!"
"Eh, kenapa kamu jadi mengatur saya?" serang Raymond.
Tatapan Divya kembali menajam menatap wajah pria itu. "Permisi, Pak Raymond. Kita ini belum menikah, mana mungkin bisa tidur dalam satu ruangan seperti ini! Bagaimana kalau bapak berniat jahat kepada saya? Hah, saya ini masih perawan, Pak!"
"Terus kalau kamu masih perawan apa urusannya dengan saya? Saya hanya mau kamu menemani saya tidur di sini!" gerutu Raymond, ia masih tidak mau mengalah.
Divya langsung terdiam, ia pun kembali menatap wajah pria yang ada di belakangnya penuh harap. Devan langsung tersenyum dan segera berpamitan dengan Raymond. Tanpa rasa malu, Divya pun mencoba mengikuti kepergian Devan. Namun, Devan langsung menutup pintu kamar, sehingga kepala Divya terbentur keras pada benda tersebut.
"Aduh, kenapa dia sangat kasar? Hm, Divya! Bagaimana sekarang? Kamu sudah terperangkap pada cengkraman si lelaki buaya darat!" gerutunya di dalam hati.
"DIVYA!" panggil Raymond, suaranya sudah memenuhi seisi kamar hotel.
Divya dengan langkah cemasnya pun mulai mendatangi Raymond. Sampai detik ini, kedua netranya masih enggan menatap iras atasannya. Tanpa rasa malu pria itu langsung memerintahkan Divya untuk membukakan seluruh pakaian luarnya. Sudah pasti pikiran Divya berkelana ke mana-mana.
"Dia ini sudah kehilangan akal, ya? Kenapa malah memerintahkanku untuk membuka pakaiannya? Dia ini sebenarnya mau apa, sih?" pikir Divya merasa kesal.
"Kamu kenapa menatap wajahku seperti itu?" tanya Raymond dengan melemparkan tatapan khasnya.
"Kenapa Anda memerintahkan saya untuk membuka pakaian itu? Maaf, Pak. Ranah saya tidak sampai pada titik tersebut. Hubungan kita hanya sampai pada pekerjaan saja. Kalau sudah sampai seperti ini, itu namanya kamu sudah memanfaatkan saya pada hal lain!" urai Divya dengan tegas.
Raymond dengan santainya mulai menyilangkan kedua tangannya. "Wanita ini sangat bijak. Dia sudah melewati satu ujianku," pikir Raymond. "Oke, baik. Akan ku potong gaji pertamamu sebanyak dua puluh persen!"
"Baik, Pak. Tidak masalah, lebih baik seperti itu daripada saya harus menyentuh tubuh Anda," ungkap Divya, ia segera memalingkan wajahnya. "Aduh, Divya. Kenapa kamu bodoh sekali? Gaji pertamamu sudah dipotong dua puluh persen. Argh, lelaki itu memang sangat pandai mengancam seseorang," lanjutnya di dalam hati.
Sepanjang malam Divya tidak bisa tidur dengan tenang di bawah lantai. Tubuhnya terasa sangat dingin dan sangat sulit untuk digerakkan. Kedua netranya pun kembali melirik ke arah tempat tidur. Pria yang ada di atas sana sangat tenang menikmati peristirahatannya.
Hari semakin meninggi, tetapi Divya masih tertidur di bawah lantai. Raymond juga merasa sangat terperangah ketika melihat cahaya mentari yang sudah sangat terik. Ia kembali beralih untuk melihat jam dinding. Kedua matanya langsung membulat ketika melihat ke arah samping kanannya.
"Sudah jam sepuluh pagi! Aduh, kenapa aku sampai terlambat bangun? Dan wanita ini juga masih sangat asyik menikmati tidurnya!" gerutu Raymond di dalam hatinya.
Tidak lama kemudian, Luke datang membawa semua perlengkapan mandi dan pakaian ganti. Tatapannya masih sangat liar menatap ke arah kamar tersebut. Namun, Raymond segera berdehem. Itu artinya ia harus segera pergi dari sana.
"Wanita ini tidurnya seperti badak! Bahkan, dia masih bisa tertidur dengan pulas sampai sekarang. Hm, wajahnya terlihat sangat bagus ketika sedang tertidur," pikir Raymond, ia kembali duduk dan menatap wajah Divya.
"Hoam!" Divya secara mendadak mulai membuka kedua matanya.