Chereads / Si CEO Berondong / Chapter 16 - Antar Jemput Berondong (16)

Chapter 16 - Antar Jemput Berondong (16)

Minibus reyot yang batuk-batuk knalpotnya makin rajin nampang di ruko punya Simon. Iya sih, itu ruko nyokap Simon. Seingat Simon, sejak ia lahir, kantor Poppin Corn memang sudah buka di situ. Dengar-dengar sebelum married dengan nyokap, bokap Simon menyewa gedung kantor di tempat agak jauh. Harus diakui, Lokasi ruko ini strategis dan mudah dijangkau dari pusat keramaian kota, maka terang saja, harganya pun melejit setinggi langit.

Lewat bincang-bincang sersan, serius tapi santai, tahulah Simon bahwa minibus lawas itu fungsinya antar jemput anak sekolahan. Setelah acara antar dan jemput anak-anak usai, si pemilik jemputan akan beralih memboyong berondong jagung, untuk dibawa pulang ke rumahnya di pinggiran Jakarta.

"Kita ini tinggalnya mepet ke ibu kota, tapi namanya ya, tetep kampung juga, Mas." Si Pak Minibus terkekeh malu-malu, mungkin merasa ruko Simon tergolong gedung sultan yang membuatnya agak-agak rikuh.

"Saya juga orang kampung, Pak. Kakek nenek buyut dari mama saya orang luar pulau, Pak. Dari Kalimantan, persisnya." Simon menyahut dengan riang.

"Oh, tinggalnya di kota besar atau kota kecil, Mas?"

"Kayaknya desa gitu, Pak. Namanya aja gak kecantum di peta. Tapi waktu married, kakek nenek buyut saya lalu merantau ke sini dan beranak pinak di Jakarta."

"Ya itu berarti orang Jakarta lha, Mas. Mas lahir di Jakarta, kan?"

Sebetulnya si Pak Minibus juga warga Jakarta bila merunut etnisnya yang Betawi. Bukannya Betawi itu diambil dari Batavia, nama Belanda untuk Jakarta tercinta? Nah, kan, jadi lupa kan sama sejarah bangsa? Faktanya, tempat tinggal si bapak makin lama makin terpinggirkan, hingga lupa bahwa Betawi itu nama yang sangat lekat dengan ibu kota kita.

"Oh ya, Pak. Kan ibu kota kita sudah mau pindah ke Kalimantan. Tapi ya Jakarta kita tetap megapolitan, sih." Simon mencoba menghibur si Pak Minibus.

"Iya ya. Biarpun tinggal di Jakarta, kita juga gak bisa bangga-banggain jadi orang ibu kota lagi. Soalnya kan bakalan pindah ntarnya."

"Begitulah. Bentar lagi saya bakal pindahan juga kok, Pak." Simon berkeluh di luar kesadarannya.

"Gitu, Mas? Pindah ke ibu kota baru maksudnya Mas?"

Pindah ke zona pailit kali, Pak. Simon membatin, nyinyir sama nasibnya sendiri. Ruko nyokap sudah dijaminkan ke bank. Kayaknya biarpun Simon bisa melariskan Nurish Corn seratus truk pun tak bakal mengubah kenyataan, tetap saja ruko ini bakalan dilego untuk pelunasan utang.

Simon melepas senyum pada Pak Minibus, tak bersedia merinci "pindah" yang ia maksudkan. Biarpun jualan popcorn di warung si bapak laris manis, tak mungkin bisa membantu jumlah utang yang menumpuk segunung. Penghasilan jualan eceran berapa, sih? Cuma seujung kuku atau sepitil dalam istilah kasarnya. Si berondong Simon tak percaya bisnis recehan mampu menambal "lubang" peninggalan bokapnya yang menganga.

"Jualan berondong ternyata bawa hoki, Mas. Warung saya kok perasaan jadi rame sejak jualan punya Mas. Anak-anak suka sekali, lho. Sampai saya kehabisan stok masih ditanya-tanya terus."

Selagi berceloteh, Pak Minibus duduk di bangku bakso, menonton kesibukan Simona dan Simon menata bungkus berondong dalam kardus bekas. Usulan yang diajukan si bapak memang bukan-bukan, yakni meningkatkan produksi berondong dari skala rumahan jadi home industry, supaya bisa disebar ke warung-warung sewilayah Jakarta.

"Kalo perlu Bapak bisa jadi distributor berondongnya, Mas dan Mbak. Kata anak saya, sih, Bapak ini punya otak bisnis lihai. Hehehe."

Mendadak Simona nimbrung, mengompori semangat bisnis Pak Minibus, yang katanya bernama Farmi Noh. Kedua manusia aneh ini sibuk saling pamer mimpi masing-masing. Simona bermimpi berondong Nurish Corn masuk ke minimarket, lalu ke swalayan besar, dan Pak Farmi jadi distributor tunggal yang terpercaya. Si Pak Minibus melambung makin tinggi, bahkan bermimpi punya minimarket yang jadi waralaba setanah air Indonesia, lalu jadi supermarket multinasional.

"Ya macam kayak Parkour gitu, Mas. Keren, kan, nanti ada swalayan merah putih yang meraja ke seluruh buana, lantas nama saya masuk ke majalah Thanks yang ngebahas bisnisman sukses itu, lho."

Dari sini saja sudah ketahuan kualitas kebisnisan Pak Farmi Noh. Parkour itu kan olahraga ekstrem, seni gerak untuk melewati rintangan secara efisien dan secepat-cepatnya, kebetulan asalnya dari negara Prancis. Lalu bisnisman itu bahasa apa, ya? Nah, majalah Thanks itu lebih aneh lagi. Masak sih namanya Thanks?

Noh, Pak Farmi Noh. Belajar dulu, Noh, baru nanti bermuluk-muluk lagi mimpinya. Jangan takabur, Noh.