Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 27 - Kesempatan kedua

Chapter 27 - Kesempatan kedua

Sempat merasa tidak enak hati karena mendengar hinaan dari mama Marissa, kini sudah jauh lebih baik. Makan malam yang hangat di tempat mewah dan hidangan lezat. Peristiwa yang seperti ini tidak pernah berani dia bayangkan.

Jangankan mempunyai keluarga yang lengkap dan harmonis, membayangkan agar dapat diterima saja sering kali berubah menjadi mimpi buruk untuk Karin. Sehingga dia tidak berani untuk bermimpi terlalu jauh. Namun sekarang ini semuanya terwujud dalam kenyataan.

"Karin, kamu enggak suka sama makanannya?" tanya Anggita yang dari tadi memperhatikan Karin melamun.

Jaya menoleh ke arah cewek itu juga. Dari tadi dia sibuk berbicara dengan papanya soal pekerjaan. Sampai-sampai tidak memperhatikan Karin.

"Mau ganti menu lain?" tanya Jaya menunjukkan perhatiannya.

"Enggak, aku cuma kepikiran sesuatu aja," jawab Karin.

"Soal mamanya Marissa tadi ya?" tanya Anggita.

Karin hanya tersenyum tipis sebagai tanda mengiyakan dari pertanyaan Anggita. Walau pun bukan itu yang sebenarnya dia pikirkan. Namun Karin tidak dapat menyuarakan pemikirannya.

"Sudah, enggak apa-apa. Mereka pasti nggak berani lagi ngomong gitu ke kamu sama ke anak kamu."

Senyum Karin makin melebar, dia pun kembali memotong daging yang ada di hadapannya. Sesekali juga Karin melihat Emily yang sedang tertidur di kursi dorongnya. Awalnya Karin ingin tinggal dengan alasan ingin menjaga Emily. Namun Anggita terus memaksa sampai Karin tidak bisa menolaknya.

Setelah melihat Emily, mata Karin melihat seseorang yang sangat dikenalinya. Orang itu duduk tidak jauh dari meja tempat Karin berada dan sepertinya dia dari tadi sudah memperhatikannya. Karin menyinggungkan senyum pada orang itu dan dia segera berpaling.

Terbesit rasa kecewa saat melihat orang itu berpaling darinya. Namun rasa kecewa itu tidak bertahan lama saat ponsel yang ada di samping piringnya menyala. Sebuah pesan baru saja diterima Karin, segera dia mengecek pesan itu.

"Karin mau ke toilet dulu," kata Karin pada orang yang ada di meja makan. Sebelum pergi dia menepuk pelan bahu Jaya sambil berbisik, "Titip Emily sebentar."

Saat memasuki toilet perempuan, Karin tersenyum lebar melihat Miranda di sana. Sudah lama mereka tidak saling bertegur sapa. Terakhir kali yang Karin ingat itu terjadi saat papa Miranda meninggal.

"Mir, Ibu apa kabar?" tanya Karin seakan tidak terjadi apa-apa di pertemuan mereka yang terakhir kali.

"Ibu belum juga sadar, tapi kondisinya sudah lebih membaik," jawab Miranda.

"Apa aku boleh jenguk Ibu?"

"Emm." Miranda mengangguk. "Tentu aja. Kenapa enggak boleh?"

"Oke, aku bakalan jenguk ibu begitu ada waktu luang."

Mereka lalu sama-sama terdiam. Miranda memperhatikan penampilan Karin dari atas sampai ke bawah. Sangat jauh berbeda dengan Karin yang biasa dia kenal. Miranda menyukai perubahan yang ada di diri sahabatnya itu. Namun tentu ada hal yang masih mengganggu Miranda.

"Rin, aku sudah tau cerita kamu semuanya," ucap Miranda.

"Ce ... cerita aku yang mana?" tanya Karin gugup.

"Semuanya," jawab Miranda. "Tentang bagaimana kamu bisa tinggal di rumah Jemmi dan kakak Jemmi yang tiba-tiba menjadi ayah dari anak itu. Aku sudah tau cerita versi aslinya."

"Maafin aku Mir," bisik Karin sambil menggapai tangan Miranda.

"Kamu enggak perlu ngomong gini ke aku." Miranda ikut memegangi tangan Karin. "Apa kamu sadar, kamu terlalu baik ke mereka?"

"Aku juga butuh mereka Mir. Emily butuh tempat perlindungan yang layak."

"Kalo gitu berikan Emily ke mereka karena memang mereka keluarga asli Emily kan? Sedangkan kamu, kamu bisa pergi jadi Karin yang ambisius buat ngejar tujuannya lagi."

"Mir tapi aku eng-"

"Kamu masih bisa masuk ke fakultas kedokteran di tahun depan. Kamu masih punya kesempatan satu kali lagi. Aku bakalan bantu." Pegangan tangan Miranda makin kencang ke tangan Karin. Miranda ingin Karin mempertimbangkan sekali lagi keputusannya untuk meninggalkan anak yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

"Mir, aku sudah sampai sejauh ini," tolak Karin. "Aku enggak bisa berenti begitu saja."

Miranda menggeleng cepat. "Enggak Rin, kamu bisa berenti. Serahkan Emily ke mereka dan kamu bakalan bebas."

"Enggak semudah itu Mir."

Miranda melepaskan tangan Karin. "Pikirkan lagi, Rin. Gimana kalau semuanya terbongkar? Akhir dari semuanya ini sudah bisa terbayang. Nantinya, kamu jadi satu-satunya yang terbuang. Mereka bakalan tetap pertahankan Emily tapi enggak dengan kamu."

"Aku tau," jawab Karin setelah Miranda selesai dengan pembicaraannya. Dari saat membuat surat perjanjian, Karin sudah dapat membayangkan kalau dia nantinya akan ditinggalkan. "Aku memang melakukan ini demi Emily. Maaf Mir, aku enggak bisa ikuti apa yang kamu mau. Makasih ya sudah khawatir sama aku."

Karin melepaskan genggaman tangan Miranda dengan perlahan. Cewek itu tidak lagi berkata apa pun dan sepertinya memang ingin membiarkannya untuk pergi. Saat Karin ke luar dari kamar mandi, dia berhadapan langsung dengan Anggita.

"Mama," ucap Karin.

"Kamu kenapa lama, sakit ya?" Anggita memegangi wajah Karin.

"Enggak Ma, Karin ketemu teman Karin jadi ngobrol dulu," jelas Karin berbohong. "Mama ke sini mau ngecek Karin atau mau ke toilet juga?"

"Tadinya mau liat kamu, tapi bisa tunggu sebentar? Mama mau perbaiki riasan Mama."

"Ya udah kalo gitu. Karin tunggu sini ya." Karin memilih untuk menunggu di dekat pintu masuk ke area toilet saja dari pada harus kembali masuk dan ketemu dengan Miranda.

Anggita masuk dan beberapa saat Karin bisa mendengar percakapan yang terjadi di dalam.

"Temannya Karin ya?" tanya Anggita.

Jatung Karin jadi bertedegup kencang menunggu jawaban dari Miranda.

"Iya, teman SMA dia."

"Berarti teman Jemmi juga?"

"Iya Tante, kami dulu satu kelas."

"Kalo gitu, kapan-kapan main ke rumah ya. Bisa ketemu Jemmi sama Karin sekaligus."

"Iya Tante."

"Tante duluan."

Karin akhirnya bisa menghela napas lega saat percakapan itu akhirnya berakhir juga. Dari tadi dia terus dihantui dengan pemikiran jelek tentang Miranda. Dia takut kalau Miranda akan memberitahu segalanya ke mama Jaya.

"Karin, ayo kita kembali lagi."

"Iya Ma," kata Karin sambil mengikuti Anggita.

Saat sampai di meja makan, semuanya telah selesai dengan makannya. Kecuali Karin dan Anggita yang masih melanjutkan makannya. Jemmi, Jaya dan papanya sibuk membahas soal rencana liburan yang belum ditentukan lokasinya.

Selesai makan malam, mereka pun kembali ke mobil masing-masing. Kali ini hanya Jaya dan Karin yang satu mobil. Sementara Jemmi mengatakan kalau dia ingin menginap di rumah temannya. Sempat dilarang tapi Jemmi dengan lihai dapat membujuk papa dan mamanya.

"Ternyata begitu ya cara Jemmi kalau minta sesuatu," komentar Karin.

"Kamu sudah liat sendiri kan? Mirip anak TK. Kalau dia sudah begitu, papa sama mama aku enggak bakalan bisa melarang lagi."

"Mereka percaya aja sama Jemmi bakalan nginap di rumah temannya?"

"Sampainya di rumah temannya, Jemmi bakalan disuruh telepon video ke mama. Jadi kemungkinan dia untuk bohong sangat kecil dan kalau sampai dia ketahuan bohong, hukumannya enggak akan di kasih uang."

"Oke, kalo soal hukuman itu aku percaya," kata Karin. "Jemmi mana bisa hidup tanpa uang dari papanya."