Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 28 - Cerita Masa Lalu

Chapter 28 - Cerita Masa Lalu

"Apa kamu sudah ngantuk?" tanya Jaya waktu Karin menarik selimut sampai ke dada. Malam ini mereka tidak lagi tidur bertiga karena Emily sudah memiliki tempat tidur sendiri.

"Belum Kak, kenapa?" Setelah berkata begitu, Karin malah menutup mulutnya karena menguap.

Jaya tertawa pelan. "Mana yang benar? Omongan atau tindakan?"

Karin ikut tertawa malu-malu sambil berbaring menghadap ke Jaya. "Kak Jaya ada yang mau di omongin?"

"Tadi waktu membahas liburan sama papa, kita belum putuskan mau ke mana? Kamu ada negara yang mau kamu kunjungi nggak?"

"Negara yang mau aku kunjungi?" Karin bertanya balik sambil memikirkannya. Tapi kemudian dia segera menjawab, "Enggak tau."

"Hah?"

"Aku enggak pernah mikirkan mau ke mana. Apa lagi luar negeri."

"Terus selama ini, kamu ngapain?"

"Kerja, belajar. Santai pun cuma sesekali. Aku hidup sendiri Kak, enggak ada yang bisa aku harapin buat kasih aku uang jajan selain diri aku sendiri," jelas Karin.

Jaya termenung mendengar ucapan Karin, dia tidak menyangka ada orang yang tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini seperti Karin. Dari dulu Jaya memang sadar tidak semua orang bisa seberuntung dirinya. Itulah mengapa Jaya tidak ingin begitu tergantung dengan orangtuanya. Walaupun begitu, dia tetap memungkiri kalau dia mempunyai keuntungan sebagai anak dari Ghani Agler.

"Aku boleh dengar cerita tentang kamu?"

"Kak Jaya mau dengar cerita aku dari mana?"

"Terserah, dari kamu lahir juga boleh aku bakalan dengar semuanya."

"Cerita aku enggak begitu seru. Kak Jaya pasti bakalan cepat ngantuk."

"Kalo gitu ceritakan. Setiap malam aku memang susah untuk tidur kalau enggak minum obat tidur."

"Kata pengasuh di panti, papa sama aku meninggal dari kecelakaan mobil. Awalnya aku percaya itu, tapi makin aku bisa berpikir aku mulai ngerasa ada yang salah. Kalau kedua orang tua aku meninggal, keluarga mereka ke mana? Apa enggak ada yang bisa ngerawat aku. Karena mau tau soal itu, aku malah nemuin kenyataan lain."

Jaya bisa melihat kalau mata Karin menerawang saat bercerita. Sepertinya dia kembali di saat masa kecilnya. Masa yang mungkin tidak begitu menyenangkan bagi Karin.

"Apa kamu mau bicarakan soal kenyataan itu sama aku?"

"Papa aku pergi waktu tau mama aku hamil. Setelah aku lahir, katanya mama aku pernah mau bunuh aku tapi itu enggak terjadi karena ketahuan. Mama aku akhirnya di penjara dan dia bunuh diri di sana," jelas Karin.

"Apa cerita itu enggak terlalu berlebihan?" tanya Jaya. "Mungkin orang yang jelaskan ke kamu enggak sepenuhnya benar."

Karin lalu berbalik badan, mengambil ponselnya yang ada di meja samping ranjang. Dia tidak ingin menjawab ucapan Jaya dengan perkataan. Karin ingin menunjukkan bukti yang dia dapatkan.

"Ini," kata Karin sambil memberikan ponselnya pada Jaya.

"Awalnya aku juga enggak percaya dengan cerita itu, tapi aku cari buktinya sendiri dan itu yang aku dapat."

Jaya melihat layar ponsel Karin, di sana tertera sebuah berita dengan judul, narapidana butuh diri akibat ditinggalkan sang kekasih. "Wanita berusia dua puluh dua tahun di temukan gantung diri di toilet, diketahui bahwa K tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia ditinggalkan oleh kekasihnya saat tengah mengandung buah cinta mereka. Dari keterangan warga sekitar tempat tinggalnya, K pernah kedapatan dua kali ingin membunuh darah dagingnya."

Tangan sedikit bergetar saat dia membaca artikel itu. Dia tahu banyak kasus serupa yang seperti ini. Namun baru kali ini dia merasa terdampak dengan kasus mengerikan ini.

"Anak itu, kamu?"

"Aku berharap, itu bukan aku," kata Karin dengan mata berkaca-kaca. Selain itu, suaranya juga bergetar saat kembali berbicara, "Aku berharap, mama sama papa aku benar-benar kecelakaan mobil kayak yang aku percaya di awal."

Jaya menaruh ponsel Karin di meja yang berada di samping tempat tidur dekatnya. Dia ingin menjauhkan benda itu dari Karin. Setelah itu, dia mendekatkan diri ke cewek itu dan memeluknya.

Dari cerita masa kecil Karin membuat Jaya mengerti kenapa cewek yang ada di dekapannya ini mempertahankan Emily. Peraturan yang dibuat Karin juga hanya untuk Emily bukan untuk kepentingan pribadinya. Padahal awalnya Jaya pikir Karin akan mengambil semua yang dimilikinya dan juga memanfaatkan kebaikkan mamanya. Namun sejauh ini, yang bisa Jaya lihat, Karin tidak mengambil keuntungan sama sekali selain untuk Emily.

"Sekarang, kamu sudah enggak sendiri." Jaya mengelus lembut puncak kepala Karin agar cewek itu bisa lebih tenang.

Tak lama kemudian, Karin memundurkan tubuhnya agar pelukan mereka terlepas. Cewek itu menghapus air matanya dengan punggung tangannya. "Maaf, aku jadi keliatan cengeng."

Jaya mengusap kembali puncak kepala Karin. "Aku senang kamu cerita tentang kamu, jadi aku bisa lebih ngerti kamu."

"Aku belum pernah cerita sedetail ini ke orang lain. Baru sama Kak Jaya. Jemmi aja cuma tau aku anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan dan biayain hidupnya sendiri."

"Jadi, waktu masih sekolah yang ambilkan rapot kamu siapa?" tanya Jaya. Dia terbayang saat melihat Karin berdiri di podium sebagai siswa yang menjadi juara kelas. "Orang dari panti asuhan?"

"Bukan," jawab Karin sambil menggeleng. "Orang panti enggak pernah ngambil rapot aku karena waktu dipanggil umumkan juara kelas, rapotnya langsung diberikan."

"Tau nggak, tiap giliran kelas Jemmi yang diumumkan aku selalu berharap kalau Jemmi masih di salah satunya. Tapi aku tau, harapan aku terlalu tinggi untuk adik aku itu. Orang yang selalu aku liat di podium pasti kamu."

"Waktu masih sekolah, Jemmi tau dia enggak harus remedial aja udah senang banget. Padahal, nilainya pas standarnya."

"Aku pikir, nilai standar dia itu hasil kasihan sama nyontek. Benar nggak?"

Karin hanya tertawa karena tidak berani berkata iya secara langsung. Bagaimana pun dia hanya orang lain. Sementara Jaya adalah kakak Jemmi, dia bisa bebas untuk berbicara apa saja tentang adiknya.

"Jemmi itu, dia enggak pernah belajar. Aku juga heran kenapa dia bisa naik kelas. Papa sama mama juga enggak mau keras sama dia soal pelajaran. Mereka selalu bilang, mungkin kehebatan Jemmi bukan soal pelajaran. Yah, sampai sekarang pun aku enggak tau kehebatan Jemmi ada di bidang apa."

"Otomotif, mungkin," kata Karin.

"Hmm?"

"Aku liat, Jemmi tertarik soal otomotif. Aku sendiri enggak begitu ngerti sih tapi kalo diliat dari mobilnya, dia selalu suka modifikasi mobilnya."

"Kalo dia suka otomotif, dia enggak ambil jurusan hukum."

"Benar juga," ucap Karin lagi setelah teringat dengan jurusan kuliah Jemmi.

Saat memilih jurusan itu, Jemmi tidak dipaksa oleh siapa pun. Dia hanya tinggal bilang ke papanya dan semua administrasi dipelancar. Tidak seperti Karin yang menginginkan masuk di jurusan kedokteran harus mencari biaya sendiri dan belajar mati-matian. Namun akhirnya, Karin harus meninggalkan jurusan itu.