Setelah membahas Jemmi, mereka tidak membahas apa-apa lagi. Namun Karin mau pun Jaya tidak juga memalingkan wajahnya ke arah lain. Karin berusaha berpikir untuk menemukan topik pembicaraan lain, namun yang Karin temukan malah wajah Jaya yang terus mendekat.
Otomatis, mata Karin tertutup dan ikut memajukan wajahnya. Bibir lembut milik laki-laki itu kembali menempel ke bibir Karin. Selain itu, dia juga bisa merasakan sentuhan tangan Jaya pada pipinya untuk menahan wajahnya agar tetap diam.
Tak lama, posisi mereka berubah. Karin kini berada di bawah Jaya. Pautan bibir mereka terlepas dan keduanya saling bertatapan begitu intens.
"Apa aku boleh?" tanya Jaya.
Karin malah balik bertanya, "Apa Kak Jaya yakin?"
"Ini yang pertama buat aku," jawab Jaya.
Karin juga ingin menjawab dengan hal yang sama, tapi tentu saja tidak mungkin. Mana bisa seorang yang diketahui sudah melahirkan melakukan itu? Jadi Karin hanya mengangguk saja. Malam ini dia setuju menyerahkan dirinya pada Jaya sekali pun dia tahu bahwa nantinya laki-laki ini akan meninggalkannya.
Jaya menurunkan kepalanya untuk kembali mengecup bibir Karin. Satu tangannya menahan tubuhnya dan tangan yang lain menelusuri tubuhk Karin. Kemudian, dia merasa Karin melepaskan pautannya.
"Apa, Kak Jaya bakalan pakai pengman?" tanya Karin.
Jaya sedikit bingung. Bukan karena dia tidak tahu pengaman yang dimaksudkan oleh Karin tapi dia tidak memilikinya. Dia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini sebelum menikah.
"Apa kita kita batalkan saja malam ini?" tanya Jaya dengan polosnya.
Seketika Karin merasa obrolan ini menjadi cangung. Tidak ingin hal seperti ini terus berlanjut, Karin pun menggeleng dan melanjutkannya. Kali ini tangannya lebih aktif untuk membantu Jaya membuka bajunya.
Kemudian, mereka berdua pun sudah tidak memakai apa-apa lagi. Jaya sudah bersiap memasukkan miliknya ke dalam diri Karin. Tentu saja ada perasaan takut untuk cewek itu.
Rasa takut tentang sakit karena pertama kali melakukannya. Kedua, takut Jaya menyadari kalau dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Namun rasa takut itu tidak membuat Jaya berhenti memasukkan miliknya ke dalam tubuh Karin.
"Auh," keluh Karin sambil mengigit bibir bawahnya untuk menahan suara.
"Apa sakit?" tanya Jaya sambil mengusap bulir-bulir keringat yang ada di dahi Karin.
Karin menggeleng dan dengan gerakan tubuhnya dia meminta Jaya kembali memasukkan benda itu lebih dalam. Sampai akhirnya Karin merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Sebab rasa itu bercampur dengan kekhawatiran bahwa Jaya akan menyadari kalau dia masih perawan.
****
Karin bangun saat merasa sesuatu sedang memainkan tangannya. Kelopak matanya terasa berat saat dia ingin dibuka. Setelah bisa melihat ke sekeliling, Karin mendapati bahwa tangannya sedang di pegang oleh Emily.
Jaya tidak terlihat lagi di tempat tidur dan bagiannya ditempati Emily. Karin melihat ke arah jam dinding sudah hampir jam delapan. Artinya, Karin tidak ikut sarapan hari ini.
Tiba-tiba dia mendengar suara mobil dari arah depan. Karin ingin sekali berdiri tapi bagian bawah tubuhnya masih terasa sakit dan dia tidak terasa tidak memiliki tenaga. Akhirnya, Karin hany menghabiskan waktu dengan bermain dengan Emily sambil menunggu tenaganya pulih kembali.
Suara pintu mengalihkan perhatiannya dari Emily. Jaya terlihat berjalan menghampirinya sambil membawa nampan berisikan sarapan. Karin berusaha untuk duduk walaupun sedikit susah.
"Sini, biar aku bantu," kata Jaya yang segera menaruh nampan itu di atas meja samping tempat tidur, lalu membantu Karin. "Apa sakit?"
Karin mengangguk sambil memegangi selimut agar tetap menutupi dadanya, karena hanya benda itu yang melekat di tubuhnya. Biar pun Jaya sudah melihat seluruh bagian dirinya, tetap saja di saat seperti ini dia merasa malu. Bagian privasi harus tetap dilindungi
"Aku pikir cewek cuma merasa sakit saat pertama kali melakukannya," ucap Jaya.
"Aku juga pikirnya begitu," balas Karin. Sekali lagi, ini bukan yang kedua bagi Karin. Sama seperti Jaya, tadi malam pengalaman pertamanya.
"Semalam capek banget ya? Sampai Emily nangis kamu enggak bangun," kata Jaya dengan nada mengejek.
Pipi Karin memerah mengingat kejadian semalam. Kalau tadi malam banyak yang dia takutkan, pagi ini banyak hal yang membuatnya bahagia. Pertama Jaya tidak menyadari bahwa tadi malam kejadian pertama untuk Karin. Hal lain yang membuatnya bahagia, dia bisa melihat sisi lain dari Jaya.
"Papa sama Mama sudah pergi ya?" tanya Karin mengalihkan pembicaraan.
"Iya, habis sarapan mereka langsung ke kantor katanya ada rapat pagi."
"Pasti aku keliatan enggak sopan banget ya, bangun jam segini?"
"Aku bilang kamu enggak enak badan dan mama percaya. Tadinya dia mau liat keadaan kamu tapi aku larang."
Karin mengerutkan keningnya. "Kenapa Kak Jaya larang?"
"Ngebiarkan mama liat kamu dengan keadaan kamu yang begini?" Jaya memandangi tubuh Karin yang hanya tertutupi selimut. Senyum nakal terihat menghiasi wajahnya.
Karin otomatis menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sebelah kakinya menendang pelan tubuh Jaya. "Nyebelin. Ini juga kan karena kamu."
"Ya, makanya aku enggak mau mama liat kamu begini. Aku masih enggak bisa bayangkan reaksi mama kalau tau kita ngelakukan ini sebelum pernikahan."
"Kak Jaya lupa, Kak Jaya sendiri yang bilang ke mama pernah melakukan itu di hotel sam aku?"
"Itu kan ceritanya enggak sengaja dan udah kejadian lama. Kalau dia tau tadi malam aku ngelakuin itu, bisa-bisa pagi ini kita bakalan terus dengar ceramahnya."
Setelah dipikir, benar juga. Kalau orang tua Jaya tahu kalau Karin melakukan hubungan intim dengan anaknya sebelum pernikahan, bisa jadi mereka berpikir yang tidak-tidak soalnya. Karin pun mengangguk tapi masih dengan wajah yang cemberut.
"Mau sarapan dulu atau mandi?"
Karin menoleh pada isi nampan yang dibawa Jaya. Terlihat menggugah seleranya. Selain itu, Karin juga membutuhkan asupan untuk memulihkan tenaganya.
"Mau makan dulu deh."
Waktu Karin ingin mengambil piring itu, Jaya menahan tangannya. Cowok itulah yang mengambilkan piring untuk Karin. "Biar aku yang suapin."
"Emily sudah makan?" tanya Karin sebelum menerima suapan pertama dari Jaya.
"Aku tadi kasih dia susu, habis itu dia tidur." Jaya menoleh pada Emily. "Sekarang dia bangun dan enggak nangis. Artinya dia belum butuh makan kan?"
"Mungkin beberapa menit lagi dia bakalan nangis karena lapar."
"Kalo gitu, kamu harus makan dulu." Jaya menyodorkan sendok berisi makanan.
Karin segera menerimanya. Pagi ini dia merasa sangat bahagia sekali karena ada orang yang memperhatikannnya. "Kak Jaya punya makanan favorit?"
"Sate, terutama sate lilit," jawab Jaya. "Kamu bisa masaknya?"
"Sate biasa aku bisa buat, tapi enggak tau deh Kak Jaya bakalan suka atau enggak."
"Kalo gitu aku mau cobain masakan dari tangan kamu."
Karin lalu teringat satu moment saat dia masih sekolah dulu. "Sebenarnya, Kak Jaya pernah kok makan masakan aku."
"Kapan?"
"Ingat brownis pandan yang Kak Jaya bawa ke Amerika?"
"Brownis pandan punya Jemmi itu?"
"Iya. Itu aku yang buat. Waktu tau kue yang aku kasih diambil sama Kak Jaya, Jemmi marah banget. Sampai-sampai aku harus buat lagi saat itu juga."
"Bisa kamu buatkan aku, brownis pandan itu lagi?" pinta Jaya.
Karin tersenyum lebar sambil mengangguk.