Jaya membantu Karin membereskan barang-barang Karin yang ada di apartemen. Rasanya baru kemarin Karin mengatur tata letak barangnya di tempat ini. Sekarang dia harus kembali merapikannya.
Beberapa barang sengaja tidak Karin bawa seperti peralatan makan dan juga hiasan. Sebagai ucapan terima kasih Karin karena sudah diperbolehkan tinggal di sini secara cuma-cuma. Karin juga sedikit banyak mengenal bagaimana sifat Bobby. Cowok itu bukanlah orang yang buruk walaupun Karin tidak terlalu akrab dengannya. Terakhir yang Karin tahu cowok itu sedang mendekati Miranda.
"Kak Jaya, mama ada telepon nggak?" tanya Karin saat meletakkan kardus di atas sofa.
"Enggak ada. Buat apa dia telepon?"
"Aku takut Emily bikin mama Kak Jaya kerepotan."
"Kamu tau kenapa aku di jodohkan sama Marissa?"
Karin hanya mengangkat kedua alisnya untuk menunggu jawaban dari Jaya.
"Mama pengin cepat punya cucu, makanya waktu tau kamu punya anak dari aku dia cepat-cepat ngecek kebenarannya. Untungnya, Emily keliatan mirip sama aku." Jaya nampak berpikir sebelum melanjutkan omongannya. "Aku jadi penasaran gimana papanya Emily yang asli."
Karin kembali melangkah dan melewati Jaya begitu saja. Dia ingin menghindari pembicaraan itu karena dia tidak memiliki gambaran tentang bagaimana papa Emily. Saat membahas Emily anak siapa, kepala Karin hanya bisa membayangkan wajah Jemmi.
"Rin," panggil Jaya menghampiri Karin yang sedang merapikan bajunya.
"Ya?"
"Apa kamu marah karena aku bahas soal papa Emily?"
"Aku cuma enggak mau ingat dia aja. Jadi aku bisa nggak minta sama kamu jangan bahas dia lagi?"
"Kalo gitu, aku minta maaf."
"Iyaaa," ucap Karin dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
****
Sampainya di rumah, Karin dan Jaya sama-sama terperangah melihat apa yang ada di ruang tamu. Banyak sekali kotak yang berisikan perlengkapan bayi. Seperti kereta untuk anak belajar berjalan sampai mainan kemah untuk anak usia empat tahun.
"Nira, siapa yang beli barang sebanyak ini?" tanya Jaya.
"Katanya, ini kiriman dari Nyonya Anggita."
"Mama?"
Nira mengangguk. "Ini belum semua, masih ada barang yang lagi diperjalanan."
"Terus, Mama di mana sekarang?"
"Nyonya pergi ke salon anak."
Tangan Jaya merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Tak tanggung-tanggung dia menghubungi mamanya dengan panggilan video. Setelah menunggu beberapa saat, panggilan Jaya diterima.
"Ma, ini pesanan Mama semua?" Julian menyorotkan kameranya ke barang-barang yang ada di lantai dan sofa.
Dengan santai Anggita membalas, "Oh, sudah datang pesanannya."
"Ma, apa ini enggak berlebihan?"
"Berlebihan gimana? Barang-barang kamu sama Jemmi lebih banyak dari pada itu dulunya. Sekarang di rumah enggak ada mainan yang begitu, makanya Mama beli lagi."
"Emily masih kecil," cicit Jaya.
"Ya bagus, artinya kalau dia besar nanti dia sudah punya banyak mainan."
"Emily mana?"
"Dia lagi dipijat, nanti Mama kirimkan foto-fotonya. Sudah dulu ya," kata Anggita sebelum memutuskan sambungan panggilan video itu.
"Ma," panggil Jaya yang tidak berarti apa-apa.
Bel pintu rumah berbunyi, Nira bergegas berjalan ke arah pintu. Jaya mengikuti langkah Nira sampai ke depan pintu untuk memastikan itu barang pesanan atau bukan. Ternyata dugaan Jaya benar, dua kotak lagi barang pesanan mamanya.
"Apa masih ada pesanan atas nama Ibu Anggita?" tanya Jaya pada kurir yang membawakan barang pesanan mamanya.
"Untuk hari ini, dua barang ini yang terakhir."
"Untuk hari ini?" Jaya mengulang kata-kata kurir itu.
"Ada mainan kuda sama mobil yang baru datang dua Minggu lagi karena Ibu Anggita minta yang warna merah mudah dan kami kehabisan stok."
Jaya hanya menarik napas dan mengembuskannya berlahan. Dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi melihat mamanya memesan begitu banyak mainan seperti ingin membuat taman kanak-kanak. Padahal di rumah ini hanya ada satu anak kecil.
"Ini," kata Nira memberikan tanda terima yang selesai dia tanda tangani.
Kurir itu pun pergi dan Nira membawakan barang itu masuk. Jaya ikut membantu membawa kotak satunya. Karin masih saja terlihat bingung memandangi barang-barang yang ada di sini.
"Apa ini enggak terlalu berlebihan?" tanya Karin.
"Kamu dengarkan mama aku ngomong apa tadi?"
"Maksud aku, apa mama kamu enggak habiskan terlalu banyak uang untuk beli semua ini."
"Kalo soal itu, kamu enggak perlu pikirkan. Lebih baik kita tinggalkan ini, yuk." Jaya mengambil lagi tas pakaian milik Karin dan tangan lainnya menggandeng tangan cewek itu.
Sampai di kamar, mereka kembali dikejutkan dengan hal lain. Masih karena ulah Anggita. Nolla ada di sana sedang mengeluarkan pakaian Jaya dari dalam lemari.
"Nolla, kamu ngapain?"
"Di suruh Nyonya buat mengosongkan lemari ini," jawab Nolla seperti orang yang tak berdosa.
"Buat apa?"
"Nyonya bilang, lemari yang ini untuk pakaian Non Karin."
"Baju aku enggak begitu banyak." Karin menunjukkan tas yang di bawa oleh Jaya. "Enggak perlu semuanya dikeluarkan. Bagian atas aja sudah cukup."
"Nyonya nyuruh semuanya," bantah Nolla.
Sekali lagi Jaya menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Dia menaruh tas Karin di tempat tidur. "Ini baju-baju Karin."
Jaya kembali membawa Karin ke luar dari kamarnya. Mereka berjalan ke bagian belakang rumah dan mengambil tempat duduk di kursi santai dekat kolam renang. "Mama nih benar-benar ya."
"Ini pertama kalinya dia begini ya?" Karin ikut duduk di samping Jaya.
"Enggak, dulu juga dia begini waktu bulan pertama aku pacaran sama Marissa. Dia manjain Marissa karena takut Marissa ninggalkan aku. Mama takut kalau aku enggak akan pernah bisa punya istri karena terlalu fokus sama sekolah atau pekerjaan."
"Kaku," ledek Karin. "Jangan bilang fokus sekolah sama pekerjaan. Bilang aja karena Kak Jaya engga ngerti caranya dekati cewek."
Wajah yang dari tadi terlihat kesal kini berubah menjadi senyuman. "Oh, jadi kamu sudah ngeakuin cowok polos?"
"Ngeliat gimana takutnya mama liat Kak Jaya enggak bakal punya pacar...." Karin lalu mengangguk.
"Udah gini baru percaya." Jaya mencubit kedua pipi Karin.
Karin menahan tangan Jaya dan agak sedikit menjauh dari cowok itu. "Terus kenapa enggak kaku sama aku?"
"Siapa bilang?"
"Ini buktinya." Karin mendorong tangan Jaya yang ingin kembali menjangkau pipinya.
Jaya pun akhirnya berhenti untuk bermain-main. Dia duduk tegap lagi. "Aku juga enggak ngerti, mungkin karena...."
"Karena?"
"Karena aku merasa punya adik aja."
Karin terkekeh. "Jadi Jemmi itu apa? Patung atau guci pajangan?"
"Kalau sama Jemmi, aku ngerasa enggak pernah bisa cocok. Dari kecil, dunia aku sama dia itu udah keliatan banget bedanya. Contohnya aja soal mainan, aku lebih suka mainan yang bikin aku berpikir. Kalau Jemmi, dia lebih suka mainan yang buat seru aja. Jadi biar pun kakak adik dan sama-sama cowok, aku enggak pernah bisa cocok main sama Jemmi," jelas Jaya panjang lebar.
"Jadi Kak Jaya pikir bisa cocok sama aku?"
"Kata Jemmi kamu ini kutu buku. Seenggaknya, itu yang bikin aku ngerasa cocok sama kamu." Jaya menyentuh ujung hidung Karin.