Lisa Pov ;
Aku menutup pintu ruang rias dengan sedikit keras, kesal. Lebih tepatnya aku tidak itu perasaan kecewa, marah atau kesal, aku hanya tidak senang dengan lelucon pertunangan atau pernikahan Dave, dan perkataannya tentang harta berlimpahnya.
Dia memegang tanganku, menciumku dan menggendongku sesuka hatinya tanpa meminta izinku. Betapa hebat aktingnya di depan Jessy, tentang bagaimana dia tidak akan mengizinkan orang lain menyentuhku, bahkan jika itu saudaraku sendiri.
Aku bahkan hampir saja ikut terhanyut di dalam cerita karangannya. Caranya menatap tajam ketika melihatku dengan gaun terbuka, caranya berbisik kecil di samping telingaku, yeah dia tahu hal itu akan langsung membuatku mematung.
Ada apa dengan semua sikap itu? Menyukaiku? Tidak, dia hanya terlihat seperti sering melakukannya, menggoda banyak gadis. Lihatlah! Aku jelas-jelas berjalan dengan kesal tetapi dia bahkan tidak mengejarku. Sial. Apa yang kau harapkan Lisa?
Sudah pukul tiga lewat tiga puluh menit, satu setengah jam sebelum acara dimulai.
Para wedding organizer masih terlihat mondar-mandir memastikan dekorasi ruangan dilakukan dengan baik. Bunga-bunga ditata dengan rapi di setiap sudut. Nuansa putih yang elegan memanjakan mata. Jantungku bahkan sedikit berdebar hanya dengan berdiri di altar yang disiapkan untuk kedua mempelai.
Pernikahan, dalam rencanaku kedepannya sepertinya masih sangat jauh adanya. Aku pernah merasakannya, perasaan ingin dinikahi oleh pria yang kucintai. Tapi siapa sangka, hubungan itu tidak lagi bisa bertahan sebelum rasa itu kupenuhi. Aku sangat kecewa saat itu, kecewa kepada pria itu, kecewa pada diri sendiri dan kepada keadaan.
"Nona Lisa, Nyonya Wilson menunggu anda di ruang rias," seorang staf acara memanggilku di luar pintu. Aku mengangguk, mengikutinya dari belakang.
Jane sudah duduk manis di sana saat aku membuka pintu ruang rias. Jessy sedang dirias, aku melihat ke penjuru ruangan, tidak ada Dave disana. Apakah dia sudah pergi? Begitu saja?
"Kau mencari siapa Lisa?" Jane menyadari aku masih diambang pntu, memastikan sesuatu. Aku menggelengkan kepala, tersenyum kikuk. Jessy melihatku sekilas dari pantulan cermin.
"Kau cantik sekali hari ini, Jane." Aku mengambil tempat duduk di samping Jane.
"Benarkah? Astaga matamu ternyata masih bisa melihat dengan baik Lisa." Jane tertawa girang, mengambil cermin kecil di dalam tas nya, berkaca lagi. Dia kembali tertawa kecil, senang mendapat pujian.
"Gaun itu sangat cantik dipakai olehmu Lisa!" Jane menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian menarikku untuk berdiri.
"Maafkan aku Jane, gaunnya tidak kujaga dengan baik, sedikit kusut, tidak secantik saat kau memberikannya." Aku merasa bersalah, Jane memberikan gaun mahal ini kepadaku, tapi aku....-bukan! Dave-lah yang membuatnya mnjadi seperti sekarang ini. Oh sial, aku terus memikirnya.
"Itu tidak apa sayang, aku akan meminta seseorang membuatnya seperti semula, kau harus pergi untuk dirias dahulu!" Jane mendorongku, memaksaku duduk di depan cermin. Meja itu penuh dengan alat make up yang tidak kukenali. Jane keluar ruangan setelah mengangkat ponsel, meninggalkanku bersama wanita yang meriasku dengan canggung.
Aku terbangun ketika Ginny, wanita yang meriasku itu menepuk bahuku pelan. Aku tidak menyadari kapan tepatnya aku jatuh tertidur, mungkin karena membosankan.
Aku membuka mataku pelan, melihat pantulan diriku di depan cermin. Aku terdiam, seperti melihat diriku yang lain. Itu seharusnya hanya riasan tipis, tapi aku merasa menjadi lebih cantik dan percaya diri.
....
Pukul lima sore.
Acara akan dimulai sepuluh menit lagi. Jessy juga telah siap dengan gaunnya yang panjang. Dia terlihat sangat cantik, Dalen terus memegang tangannya.
Mereka berdua terlihat gugup, khususnya Dalen. Jane bahkan memberikannya obat penenang. Pernikahan memang harusnya terjadi satu kali seumur hidup, jika mereka bisa menjaganya. Karena aku belum pernah mengalaminya, aku tidak bisa merasakan apa yang mereka rasakan saat ini.
Jane memintaku untuk ke aula pernikahan bersamanya, Andrea sedang menyambut para tamu undangan.
Pintu masuk aula terlihat ramai, Andrea terlihat sedang mengobrol dengan rekan-rekan kerjanya, mungkin. Dalen adalah putra tunggal mereka, tentu saja mereka sangat senang ketika mendengar kabar pernikahan ini beberapa bulan yang lalu.
Jane menarik tanganku, menuju aula acara. Kursi-kursi tamu undangan sudah terisi setengahnya. Sebenarnya itu bukan acara besar, tamu yang diundang hanya keluarga dan rekan kerja Andrea dan Dalen. Aku dan Jane duduk di kursi paling depan, kursi anggota keluarga. Jane terlihat bersemangat.
"Apa kau tidak ingin menikah Lisa? Aku bisa memperkenalkan seseorang kepadamu." Jane berbisik ditelingaku, kecil, tapi mengalahkan suara musik.
Aku terdiam. Faktanya, telingaku sepertinya sangat sensitif akhir-akhir ini. Tepatnya Dave-lah yang sangat senang berbicara dengan berbisik di telingaku, dia tahu akan diam dengan cara itu.
"Kau kenapa Lisa?" Jane memegang tanganku khawatir, aku sedikit melamun tadi. Sial. Otakku sepertinya mencapai level berbahaya. Dave benar-benar sumber masalah untuk tubuhku.
"Aku tidak apa-apa Jane, hanya sedikit memikirkan sesuatu." Aku tersenyum, meyakinkan.
"Jadi kau ingin aku kenalkan seseorang sayang?" Jane kembali bertanya.
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
Sepuluh menit berlalu. Acara segera dimulai.
Acara pernikahan berlangsung dua jam lebih, setelah acara berfoto, selanjutnya acara dansa. Jessy dan Dalen sudah berganti pakaian untuk berdansa. Lampu-lampu berputar, musik dansa dimainkan, pesta dansa dimulai.
Aku tidak tahu cara berdansa dan juga tidak tertarik. Jane dan Andrea juga ikut di tengah pasangan-pasangan lain yang ikut berdansa di tengah aula.
Aku melangkah menuju sudut aula, ada meja cemilan dan minuman disana. Jika diminta memilih antara pria dan makanan, maka aku dengan tegas akan memilih makanan.
Aku termasuk gadis beruntung, walaupun banyak makan-terutama makanan manis, berat badanku tidak akan bertambah. Mie dan makanan manis, sepertinya adalah alasanku untuk bekerja. Mendapatkan mereka dari gajiku sendiri adalah rasa bahagia yang tidak bisa diberikan pria kepadaku.
"Mau berdansa?" Seorang pria dengan rambut coklat gelap mengulurkan tangannya kepadaku. Dia menatapku, menunggu jawaban. Senyumnya ramah, tidak terlihat seperti sedang mencoba menggoda.
Aku menatapnya sekilas, kemudian menaruh satu gelas anggur di tangannya yang masih terulur.
"Maaf, aku tidak tertarik untuk hal seperti itu!" meneguk kembali gelas anggurku.
Dia tertawa kecil, kemudian berdiri disampingku, meminum sedikit gelas anggur yang kuberikan.
"Aku tahu, orang yang melihatmu pertama kali saja pasti akan langsung tahu." Aku menatapnya bingung. Dia melihat kearah sepatu sneakers putihku.
"Sok tahu!" aku menjawabnya ketus. Apakah sepatu sneakers menandakan kamu tidak ingin berdansa?
"Haha, kau pernah melihat wanita berdansa dengan sepatu seperti yang kau pakai?" Dia kembali tertawa kecil, memainkan anggur di dalam gelasnya.
"Tidak! Aku tidak tertarik menonton orang berdansa." Pria itu kembali tertawa kecil.
Apa yang lucu? Aku berkata serius. Aku banyak menonton drama, tapi adegan berdansa juga jarang. Sementara idola Kpop favorit ku juga menarikan dance, bukan dansa-oh mengingat wajah-wajah tampan mereka saja membuat hatiku senang. Aku tersenyum kecil.
"Aku, Ron!" pria itu kembali mengulurkan tangannya, kali ini mengajakku berkenalan. Baiklah karena suasana hatiku sedang bagus, dan dia juga terlihat seperti pria yang ramah, aku akan menerimanya.
"Lisa Redriguez!" Ron tersenyum kecil, senang kali ini tangannya tidak diabaikan lagi.
"Oh, apakah Jessy adalah kakak perempuanmu?" Ron bertanya acak, melahap kue kecil disampingnya. Mulutnya penuh, membuat pipinya menggembung. Aku tertawa kecil, tangannya masih sibuk memilih makanan yang akan dia masukkan lagi kedalam mulutnya yang penuh.
"Ya," aku benar-benar tertawa kali ini,
Aku tidak tahu itu hanya perasaanku atau bukan. Aku sedang tertawa, namun seperti ada sesuatu yang mengerikan, menatapku tajam.