Pagi yang cerah, langit terlihat bersih, tanpa awan. Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai, sedikit menyilaukan mata. Dave membuka matanya, bangun dari tidur.
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit.
TOK!
TOK!
TOK!
"Tuan Dave, Nyonya memanggil untuk sarapan." Suara pelayan di belakang pintu menghentikan gerakan peregangan paginya.
"Baiklah!" Dave menjawab singkat. Bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri.
Dia mulai terbiasa dengan ritme bangun paginya disini. Ketika di Prancis, dia bahkan tidak tidur di malam hari, atau menikmati sarapan paginya. Tidak ada Claire yang memaksanya untuk makan tiga kali sehari, atau Daniel yang mengingatkannya tentang masalah perusahaan.
Dua puluh menit bersiap, Dave turun ke ruang makan, Claire dan Daniel telah menunggunya disana.
"Bagaimana bisa kau membiarkan orangtuamu menunggu lama di meja makan, hah?" Daniel berkomentar begitu Dave menarik kursi.
Dave tersenyum kecil, tidak ada yang meminta mereka untuk menunggunya. Claire memberikannya piring berisi roti bakar coklat favoritnya.
"Alan John adalah orang yang paling berpengaruh di bidang industri properti. Mereka mengadakan acara ulang tahun perusahaan besok malam, dapatkan kesan baik darinya!"
Dave mendengarkan sambil menikmati sarapannya. Dia mengeluh dalam hati, dia tahu tentang itu. Gerry telah mengingatkannya sejak satu minggu sebelumnya. Itu hanya masalah yang mudah, dia adalah Dave yang bisa mendapatkan semua keinginannya.
"Kau mendengarku?" Daniel berbicara tegas, menatap Dave.
"Aku tahu, sarapanlah dengan tenang Dad, kau bisa tersedak, Mom akan panik." Dave menjawab, masih menikmati sarapannya yang tinggal seperempat.
Claire tertawa.
Daniel menggeleng pelan. Dia bukannya meragukan putranya itu, dia tahu Dave sangat mampu. Kemampuannya tidak bisa diragukan, para pebisnis juga mengenalnya sebagai lawan yang menakutkan.
Dave tidak akan membiarkan satu kesalahan kecil pun terjadi dalam rencananya. Semua hal yang ditanganinya pasti akan berhasil. Daniel mendapat laporan bagaimana kejamnya Dave di perusahaan. Dingin dan tidak berperasaan. Namun, terlepas dari segala sifatnya, hanya agar perusahaan berjalan bagaimana seharusnya.
Isi piring Dave hampir habis, sampai Claire kembali membuat keributan di meja makan.
"Oh iya Dave, kapan kau akan membawa putriku pulang?" Claire bertanya riang. Dave terdiam, dia lupa satu hal itu.
"Kau hanya pernah melahirkan seorang putra, bagaimana bisa memiliki seorang putri lagi?" Daniel menanggapi asal.
"Menantuku. Aku pernah bertemunya satu bulan yang lalu dengannya sayang." Daniel melepas sendok makannya, menatap Claire, mencari kebenaran disana.
Dave pura-pura terbatuk, berusaha menghindari percakapan. Mengingat kembali kebohongannya dan Lisa kepada Claire waktu itu.
"Kami sudah putus!" Dave meneguk jusnya, sarapannya telah habis.
"Dasar bodoh!" Claire memukul bahunya cukup keras, menunjukkan rasa kesalnya.
"Aduh Mom, berhenti memukulku, kami juga tidak berniat untuk menikah, itu hanya hubungan biasa yang bisa berakhir kapan saja." Dave mengelus bahunya, bergaya seperti orang yang tertindas.
"Gadis manis sepertinya juga tidak bisa kau bawa pulang, dasar bodoh!" Claire masih kesal, terus memukul bahu Dave.
"Sudahlah, masih pagi kalian sudah ribut. Kau tidak pergi bekerja?" Daniel melerai, bertanya dengan raut serius kepada Dave.
"Astaga kau juga memintaku bekerja dihari minggu, Dad?" Dave menjawab kesal, meneguk habis jusnya yang tersisa.
"Oh benarkah? Sepertinya aku semakin tua sampai tidak mengingat hari lagi, apa alam menghukumku di usia yang sudah tua ini, putraku satu-satunya bahkan belum menikah, ckckckck." Daniel pura-pura memeriksa ponselnya, melihat hari dan tanggal disana, kemudian meninggalkan meja makan dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat.
"Oh sayangku, betapa malangnya nasib kita." Claire menyusul Dave, dengan raut wajah yang dibuat-buat lebih menyedihkan.
Dave menggeleng pelan, ya ampun!
….
Dave keluar dari mobil. Kilat-kilat kamera dari segala arah menyembutnya saat dia berjalan memasuki gedung acara.
"Wah Tampan sekali !"
"Tampan sekali !"
"Apakah dia malaikat?"
"Auranya, Waahh."
Komentar-komentar kecil terus terdengar dari dalam kerumunan. Dave menahan senyumnya, senang mendapat pujian.
Ruangan itu didominasi warna putih. Meja penuh makanan berada di setiap sudut ruangan. Alunan musik klasik mengiringinya. Sebuah panggung kecil menjadi bagian depan, kue tiga tingkat berwarna biru muda berdiri di sampingnya. Dekorasi-dekorasi ruangan terlihat mewah.
Diluar ruangan, taman luas yang penuh dengan meja-meja makanan yang telah dihias sekian rupa dengan kolam renang kecil yang melengkapinya. Terlihat mewah dan santai. Tamu-tamu undangan terlihat menikmati
gelas-gelas minuman yang telah disiapkan. Dave melihat wajah-wajah mereka, para pebisnis kota berkumpul disini malam ini. Sementara acara akan dimulai lima belas menit lagi, tuan rumah belum nampak menyapa tamu.
Dave berjalan keluar menuju taman, mengambil gelas minuman, berdiri di pinggir kolam renang. Udara tidak terasa dingin, malah sedikit sejuk.
"Hai, bolehkah aku bergabung denganmu?" Seorang gadis berambut pirang tersenyum disampingnya. Dengan gaun merah ketat yang memperlihatkan dengan jelas lekuk tubuhnya, dan high heels hitam membuatnya terlihat tinggi. Wajahnya cantik, nada bicaranya terdengar elegan.
"Apakah gaun selalu satu paket dengan high heels?" Dave balik bertanya.
"Tentu saja, sebuah gaun akan terlihat semakin cantik jika dipasangkan dengan sepatu yang berkilau." Gadis berambut pirang itu tertawa kecil, senang pria tampan di depannya meresponnya.
"Itu memang cantik." Dave tertawa kecil, mengingat seseorang yang mengenakan gaun dengan sepatu kets yang menciumnya satu bulan lalu.
"Apa kau baru saja memujiku cantik, tuan Dave?" Gadis di depannya tertawa kecil, menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Dave tertegun, menyadari ingatannya tentang Lisa membuat gadis di depannya salah mengira dirinya dipuji.
"Emily." Emily mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Dave menatapnya, Emily memang terlihat cantik, tapi Dave masih mengingat satu gadis yang lebih cantik darinya, dan lebih menarik. Dave menyambut tangan Emily.
Lima menit sebelum acara dimulai, tuan rumah datang, menyapa para tamu undangan. Dave menghampiri Alan, berjalan ke tengah ruangan, di samping meja-meja minuman.
"Hallo, tuan Alan!" Dave menyapa.
Pria paruh baya berambut hitam dengan setelan jas hitamnya itu berbalik menghadapnya. Usianya sekitar lima puluh tahun, dengan kacamata transparan bertengger di matanya. tersenyum ramah menyambutnya. Ini adalah pertemuan pertama mereka, Dave tersenyum ramah.
"Apakah ini tuan Dave yang hebat itu?" Alan tertawa kecil. Matanya menyapu Dave dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Anda terlalu menyanjung, tuan Alan tentu jauh lebih hebat, saya masih harus banyak belajar." Dave tertawa sopan. Alan, didepannya terlihat seperti pria ramah, terlihat mirip dengan Daniel.
"Anak muda yang tampan dan pandai, kau terlihat mirip seperti Daniel si tua itu." Alan terkekeh pelan, membenarkan kacamatanya yang ikut bergerak.
"Dad banyak bercerita tentangmu." Dave tidak berbohong, Daniel memang pernah mengatakan bahwa Alan adalah teman dekatnya saat dibangku universitas dahulu. Mereka cukup dekat, walau setelah lulus mereka tidak sering bertukar kabar lagi.
"Hahaha. Usiamu mungkin sekitar dua puluh Sembilan bukan? Dimana pasanganmu Dave? Kau tidak mungkin tidak memiliki kekasih bukan?" Alan melihat kesana kemari, ke setiap sudut ruangan, mencoba mencari wanita pendamping Dave.
"Hallo, Alan ! suasana hati anda terlihat sedang baik." seorang pria menyapa Alan, memotong percakapan mereka. Alan melihat pria itu dengan heran, mencoba mengingat.
"Aku Stave Baker, kita baru saja bertemu dua minggu yang lalu tuan." Pria yang terlihat lebih muda dari Dave itu tertawa kecil.
Alan kemudian ikut tertawa beberapa detik kemudian, ingatannya kembali.
"Itu kau, bagaimana ayahmu?" Alan kali ini menanggapinya riang, terlihat akrab.
Stave melihat ke arah Dave, melihatnya sedikit familiar.
"Ini adalah Dave William, perkenalkan!" Alan menjawab raut bingung diwajah Stave. Stave mengingatnya, dia pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tapi, Dave William?.
"Aku tahu, kami pernah bertemu sebelumnya!" Stave menjabat tangan Dave.
Stave mengingatnya, Dave adalah pria yang dicium Lisa di restoran malam itu.
Dave melihat Stave dengan bingung, dia merasa asing dengan wajah Stave.
"Malam itu, aku melihatmu dan Lisa berpelukan." Stave menjelaskan.
Dave mungkin tidak melihat wajahnya kala itu saat dia berada didalam Lift bersama Lisa dan Kenny.
Dave berpikir sebentar, jika dia tidak salah, Stave ini adalah mantan kekasih Lisa yang berada satu lift dengannya waktu itu?
"Benarkah itu Dave? Itu bagus sekali. Produk terbaru perusahaan kami bertema "Happy Family", itu akan sangat cocok bekerjasama dengan pasangan pengantin baru!" Alan terlihat antusias menatap Dave, berharap perkiraannya benar.
Alan tahu Dave adalah pemimpin yang hebat, Daniel mewarisi kejeniusannya kepada putranya. Produknya kali ini memang akan sangat bagus jika bisa bekerjasama dengan Dave. Tema "Happy Family" juga akan cocok dengan pasangan baru.
Dave sedikit kaget dengan respon Alan tentang hubungannya dengan Lisa.
"Hahaha, kami memang berencana untuk menikah dalam waktu dekat tuan Alan." Dave berbohong lagi.
Bekerjasama dengan Alan akan membawa banyak keuntungan untuk perusahaan, Dave tidak akan melewati kesempatan ini. Bahkan jika menikahi Lisa, yang sangat mungkin menolaknya menjadi syaratnya, dia akan melakukannya.
Dia bisa memaksa Lisa dengan banyak cara, asalkan kerjasama bisa dia dapatkan terlebih dahulu. Untuk urusan perasaan, mungkin akan tumbuh juga mungkin tidak akan bisa diurus belakangan.
Dave tersenyum kecil. Ini mungkin hanya terdengar sebagai alasan, namun dia tidak menyadari, hati kecilnya berkata lain.
Di Atas panggung sana, Alan tengah memberi ucapan terima kasih kepada para tamu undangan, memulai serangkaian acara ulang tahun.