Chereads / Mr.Punishment / Chapter 6 - That Boy

Chapter 6 - That Boy

Lisa Pov ;

Aroma kuah mie instan memenuhi dapur dan ruang tamu. Makanan instan yang tidak instan. Masih harus menunggu setidaknya tiga menit untuk mendidihkan air, kemudian mulai memasak, tetapi aku menyukainya.

Menu makan malam telah siap.

Aku mencicipinya, mencecap kuah yang masih panas. Ada yang kurang. Aku membuka kulkas, barangkali masih tersisa disana.

Namun kosong, tidak ada satu sosis pun disana. Baiklah, tanpa sosis pun tetap nikmat bagi pecinta mie sepertiku.

Aku membawa mangkuk mie ke ruang tamu. Hanya keluar dari pintu dapur akan langsung sampai ruang tamu maksudku, apartemenku tidak besar.

Tumpukan buku novel di samping laptop memenuhi meja kecil di depan televisi. Laptop yang masih menyala, memainkan video-video idol K-pop favoritku.

Aku memindahkan buku-buku novel, meletakkannya di atas sofa. Mie instan mulai mengembang, aku harus cepat menghabiskannya.

Satu jam berlalu. I

si mangkukku sudah tandas dalam lima menit sejak selesai dimasak, tapi aku masih duduk manis di tempat semula. Menit terakhir sebelum satu episode drama yang kutonton akan berakhir.

Aku meneguk habis sisa air putih didalam gelas besar, acara makan malam berakhir dengan satu episode drama dengan durasi enam puluh menit.

Pukul delapan malam. Aku mulai merapikan rumah, mengelap bagian-bagian dapur yang berminyak, membuang sampah dan mandi malam. Itu adalah kegiatan rutinku. Makan pukul tujuh, bersih-bersih rumah pukul delapan dan terakhir mandi malam.

Aku mungkin memang bukan wanita karier yang rajin bekerja dan selalu menghargai waktu, aku hanya gadis berusia dua puluh empat tahun, tetapi aku merasa selama ini menjalani hidupku dengan banyak rencana, walaupun hanya rencana-rencana tidak penting. Seperti, bangun pagi pukul tujuh atau berbelanja besok ke supermarket, aku akan merencanakannya dari malam sebelum tidur, dan aku harus melakukannya.

Itu bukan aturan, hanya sedikit kebiasaan.

Aku duduk di sofa, masih mengenakan handuk mandi, sambil mengeringkan rambut. Musik Video yang terus berganti meramaikan ruangan.

TING!

TING!

TING!

TING!

Suara pesan masuk dari ponselku yang entah kutaruh dimana terus berbunyi.

Karena tidak ada hal penting, aku tidak biasa memainkan ponsel. Aku berkata serius, bukan karena aku tidak menyukai zaman modern yang semua hal ada di dalam ponsel, tapi sungguh tidak ada orang penting yang akan memiliki urusan penting denganku di ponsel. untuk urusan pekerjaan aku akan menyambungkannya melalui laptop.

Drrt...

Drrt....

Getar panggilan masuk, dari dalam kamar tidur. Aku melihatnya sekilas, kemudian melemparnya kembali ke atas kasur. Nomor tidak dikenal.

….

Sabtu siang.

Langit terlihat sedikit berawan, kemungkinan hujan di sore hari. Aku melihat kalender kecil di atas meja yang kulingkari dengan spidol merah, tanggal dua februari, acara pernikahan Jessy dan Dalen. Pada pertemuan keluarga satu bulan lalu, mereka memang telah menetapkan tanggal menikah, tanggal dua februari tahun 2022. Aku sebagai satu-satunya keluarga Jessy tentu harus berada disana.

Keluarga Wilson memaksaku dari satu minggu yang lalu untuk pergi bersama mereka, memesan gaun yang senada dengan mereka.

"Aduh lihatlah, kau sangat cantik dengan baju apapun, Lisa!" Jane bersorak kecil, senang gaun pilihannya sangat pas di tubuhku.

Itu adalah gaun putih yang memperlihatkan bahu secara menyeluruh, bagian dada sampai perut menempel membentuk lekuk tubuh. Bagian pinggang sampai paha sedikit mengembang, terlihat anggun. Jane memutar tubuhku di depan cermin, kembali tertawa puas.

"Ambil yang ini saja untuk putriku!" Jane berkata kepada pelayan toko.

Aku sebenarnya tidak biasa memakai gaun seperti ini, bagiku, kaos oversize dan celana pendek adalah pakaian paling nyaman. Tapi melihat wajah Jane membuatku tidak tega menolaknya.

Jane Wilson dan Andrea Wilson adalah orangtua yang ramah, mereka memintaku memanggil mereka dengan sebutan Mom dan Dad, memperlakukanku seperti putri mereka.

TING!

Pesan masuk, dari Jessy.

"Cepatlah kemari! aku sangat gugup."

Aku memang berjanji untuk menemaninya dari dia mulai dirias sampai acara dimulai. Dia bahkan terus mengirim pesan berkata dia gugup sejak semalam.

Didalam buku yang kutulis, aku hanya menulis dalam acara pernikahan, bagaimana gugupnya mempelai pria. Apa aku salah? Di dunia nyata, Jessy lah mempelai wanita, juga tidak kalah gugup.

"Aku sedang bersiap," mengirim balasan kepada Jessy, kemudian bergegas mandi.

Pukul dua siang.

Langit semakin gelap, bersiap menumpahkan hujan. Aku mematut diri di depan cermin. Gaun putih pilihan Jane, sepatu kets putih pendek, dan tas kecil merah muda. Jessy memaksaku agar dirias bersama di hotel tempat acara.

Aku memakai sedikit bedak tipis dan lip balm merah muda di bibirku agar tidak terlihat pucat. Selesai.

Hujan turun lima menit setelah aku keluar rumah, menunggu taksi yang dipesan, di pinggir jalan.

Aku tidak membawa payung, lupa mengambilnya setelah menyiapkannya di samping sepatu tadi. Sebuah pohon besar dengan daunnya yang lebat menjadi tempatku berteduh. Jika berlari ke gedung terdekat sekarang, aku akan basah, tidak bagus untuk gaunnya. Sial.

Hujan semakin lebat. Air mulai menetes menembus daun-daun hijau, membasahi tubuhku.

Sebuah mobil hitam berhenti tiga meter didepanku. Kaca mobil berwarna gelap dari luar, tidak terlihat pengemudi di dalamnya, Sepertinya mobil taksi yang kupesan juga tidak sebagus ini bukan?

Seseorang membuka pintu belakang mobil, keluar dari sana dengan payung hitamnya. Seorang pria dengan jas hitam dan dasi berwarna abu-abu, tingginya sekitar 185 cm, aku mungkin akan mendongak melihatnya. Wajahnya tertutup payung, aku tidak bisa melihatnya.

Dia berjalan pelan, ke arahku. Sepatu hitam mengkilatnya menyentuh ujung sepatu putihku, berhenti disana.

Aku mendongak, bola mata hitam jernih yang kukenali. Seseorang yang berbahaya, bagi jantung, juga pikiranku. Dave william.

Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku, hampir menempel. Payung hitam yang dipegangnya menghalangi air yang menetes ke tubuhku sejak tadi. Aku mematung, dia juga hanya berdiri diam. Percikan air mulai membasahi ujung sepatu kami.

"Lisa Redriguez!" Dave memanggilku pelan, tapi suaranya masih mampu mengalahkan suara air yang menetes di atas payung. Aku mendongak, mendapati salah satu ujung bibirnya yang terangkat disana.

"Aku pernah mengatakannya padamu, di pertemuan kita yang selanjutnya, aku akan mengikatmu di rumahku!"

Aku terbatuk, kaget mendengarnya. Apakah pria ini serius?

Dia menarik paksa pinggangku, menempel dengan tubuh tingginya. Aku mendongak, memberinya tatapan memberontak.

Tinggi badanku hanya 167 cm, persis setinggi dagunya. Dia menunduk, menatapku, dengan senyuman nakal.

Aku tidak bisa bergerak, dia mengunci tubuhku dengan kuat.

"Dave William, lepas-" Cup! Aku terperanjat kaget.

"Kau-" Cup! Setiap aku mencoba berbicara, dia akan menciumku, membungkam dengan caranya.

Tang lebih mengesalkan lagi, di detik berikutnya, dia menggendongku paksa ke dalam mobilnya. Aku mencoba memberontak, tapi kemudian dia akan mengunciku lagi.

Ini bahkan bukan ruangan yang luas untuk kami untuk berada dalam posisi ini. Gaun putih yang kujaga agar tidak kusut, sekarang sedang ditindih oleh tubuh Dave yang berada di atasku.

"Dave, gaunku, kau akan merusaknya!"

Aku mencoba mendorongnya, tapi dia akan tetap membungkamku dengan ciumannya. Astaga, dia mulai membuatku kesal.

"Aku sudah membawakan gaun lain untukmu, gaun ini terlalu terbuka, aku tidak ingin pria lain melihat bahumu." Cup! Dia mengelus pelan bahuku, tangannya sedikit dingin.

"Mengapa kau peduli, astaga!"

Sekarang aku sangat kesal. Dia terus mencium bahuku sejak tadi, aku mulai takut dia akan meninggalkan bekas disana. Pertemuan kami sebelumnya dia tidak seperti ini, apa dia sedang mabuk? Tidak sadar?

"Apa kau mabuk?"

Aku memegang wajahnya, mencari aroma sisa alkohol di sekitar kerah pakaiannya.

Pakainnya masih rapi, tidak ada tanda disana.

"Apa kau sungguh ingin tahu?" Dave memegang wajahku, memaksaku berhenti memeriksanya. Aku mengangguk.

Detik berikutnya dia menciumku lagi, aku ingin mendorongnya, tapi dia terlalu kuat. Aroma strawberry dari lip balm yang dipakainya terasa di mulutku, tidak ada bau alkohol disana. Sial.

"Cerry. Rasa itu cocok untukmu!" Dave tersenyum nakal, puas atas perbuatannya mengungkap kebenaran.

Aku menatapnya, dari jarak sedekat ini aku bisa merasakan kulitnya yang lembut saat kusentuh. Rambut hitamnya yang disisir rapi, satu dua anak rambutnya terjatuh ke atas dahinya.

Sangat Tampan.

Caranya menatapku yang dalam, membuatku ingin tenggelam disana. Bukan dia yang mabuk karena alkohol, tapi aku yang mulai tenggelam di dalamnya, seperti mabuk.

"Hari ini acara pernikahan kakakmu, Jessy Redriguez, aku akan pergi bersamamu, sebagai tunanganmu. Gaun dan sepatumu telah aku siapkan. Jangan banyak bertanya dan membantah, patuhlah, oke!"

Cup!