"Aku menang," Mave menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tersenyum remeh ke arah Branden dan Clau yang memberikan beragam ekspresi, "Well, aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin membuktikan, siapa pecundangnya di sini,"
"Mave, aku tahu, selama ini kami salah telah merundungmu," Clau segera bersimpuh, memohon ampun pada lelaki itu.
Mave mendengus keras lantas berdiri seraya menarik lembut lengan Valie agar ikut berdiri di sampingnya, "Aku tidak membutuhkan permintaan maafmu. Aku pergi," ujarnya mutlak.
"Valie,"
"Apa yang kau inginkan dariku?" Valie menoleh, menatap Clau dan Branden bergantian, "Kalian sudah cukup mempersulit hidupku selama ini jadi ku mohon kalian berhenti melakukan itu. Aku sudah cukup lelah dengan semuanya. Dan aku harap kalian mengerti hal itu,"
Valie segera berbalik, menarik lengan Mave keluar dari ruangan, "Ada penyusup di sini," gumamnya.
Mave mengangguk, memberikan pistol milik Valie kepada sang empunya sebelum beralih menatap Daniel, "Siaga. Da Zera ada di sini. Mereka jelas mengincar Valie,"
"Baik bos,"
Valie sendiri hanya mengangguk, Da Zera, organisasi keji itu merupakan bagian dari masa lalunya. Ah masa masa kelam itu benar benar membuatnya begitu trauma, "Bisa kita pulang sekarang Mave? Begitu sesak di sini bersama orang orang menjijikkan itu,"
"Kau mabuk?"
"Tidak,"
"Lima puluh persen," lelaki itu mendengus, mengangkat pistolnya sebelum melepaskan satu peluru hingga mengenai seseorang di ujung lorong. Ia mengenali pakaian itu, bawahan Da Zera. Calisto dan Da Zera memang tidak akan pernah berada dalam jalan yang sama, atau bisa di katakan, Da Zera adalah musuh bebuyutan Calisto, "Kita pulang sekarang,"
"Hmm," Valie mengangguk tanpa memprotes, sesekali gadis itu melepaskan pelurunya, menembaki musuh yang semakin banyak jumlahnya. Bukan masalah, tempat ini masih berada dalam kawasan Mave, Da Zera jelas memilih mati jika ingin menyerang Calisto di sini.
***
Valie membuka matanya, menelisik sekitar memindai di mana ia berada. Ah, mansion Mave. Di kamar miliknya. Perempuan itu lantas melirik jam diatas nakas, masih pukul lima. Dengan gerakan malas Valie segera beranjak, berjalan dengan terhuyung huyung keluar dari kamar. Rambut panjangnya acak acakan, juga wajahnya yang sedikit lebih pucat dari biasanya. Itu memang kebiasaan Valie pada pagi hari.
Gadis itu menerawang, ini adalah kali ketiganya menginap di mansion Mave dan ia selalu menyukainya. Yah mungkin sejak hari ini dan seterusnya ia akan tinggal di sini. Kekasihnya itu jelas tidak akan membiarkan Valie pergi kemanapun tanpanya.
"Mavieeee," seru Valie, bersandar pada tembok di depan kamarnya, memperhatikan jajaran pelayan yang menunduk hormat padanya, "Di mana Mavie?"
"Tuan Mave sedang menyelesaikan beberapa urusan nona. Apakah Nona Valie membutuhkan sesuatu?" Angela, kepala pelayan di sana segera berujar.
Valie menggeleng seraya mengangkat sebelah tangannya, "Tidak perlu, aku tidak membutuhkan apapun. Ah kecuali satu, aku ingin susu hangat, dan biskuit gandum. Lalu tolong siapkan sereal. Coklat. Dengan susu vanilla. Dan dan aku ingin kau buatkan salad. Tolong beri banyak ceri dan kiwi di sana,"
"Baik nona, kami akan mengantarnya ke kamar anda nanti,"
"Bagus," Valie mengangguk, mengerjabkan matanya sebelum kemudian berdiri tegak, kesadarannya sudah sepenuhnya terkumpul karena semua jenis makanan yang ia sebutkan tadi, "Daniel," panggilnya ketika melihat lelaki itu berjalan cepat tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Ya nona. Apakah ada yang bisa saya bantu?"
"Di mana Mavie?"
"Tuan Mave masih berada di ruang kerjanya nona,"
"Oh. Si gila kerja itu benar benar. Aku harus memberikan pelajaran kecil untuknya. Tunggu di mana aku meletakkan pistolku,"
"N—nona.." Daniel menatap ragu pada sosok Valie yang sibuk meneliti seluruh tubuhnya mencari benda kesayangannya itu.
Gadis itu mendengus keras, "Baik. Aku tidak akan menggunakan pistol kali ini," ujarnya sebelum melangkah menuju ujung lorong lantai dua mansion Mave di mana sang empunya kini berada.
"Mave," seru Valie ketika dirinya tepat berada di depan ruangan Mave, mengetuknya beberapa kali sebelum membuka daun pintu dan melangkah masuk.
Mave berada di sana. Duduk di meja kerjanya yang berada di tengah ruangan. Masih dengan tuxedo yang ia kenakan semalam dan wajah yang benar benar berantakan.
Valie berkacak pinggang, menatap sengit lelaki yang kini balas menatapnya datar itu, "Jadi Tuan Davidson. Pukul berapa kau tidur,"
"Tidak ada,"
"Well kau benar benar ingin ku gantung?" gadis itu mendengus, melangkah santai lalu dengan wajah tanpa ekspresi mendudukkan diri di meja kerja Mave, tidak peduli sebanyak apa berkas yang akan terlipat karena ulahnya. Gadis itu membingkai wajah Mave, membawa lelaki itu untuk menatapnya, "Lihat bagaimana wajah tampan kekasihku berubah menjadi monster hanya dalam semalam,"
"Pekerjaanku banyak sekali Valie," Mave memejamkan matanya, menikmati usapan Valie pada rambutnya, "Bisa kau temani aku seharian ini?"
"Kita harus pergi menjenguk Yuki, Mave," jawab gadis itu, sibuk memandangi wajah lelah Mave. Kantung mata hitam tercetak jelas, juga dengan sejumlah kerutan pada wajah lelaki itu, "Kau bisa istirahat hari ini,"
"Aku harus pergi ke kantor hari ini babe,"
"Kantor? Bukan markas? Kantor Davidson Company itu?"
"Hmm. Setidaknya pemerintah tidak akan pusing menutupi diriku jika aku mempunyai perusahaan itu,"
"Pemerintah jelas tidak akan berjalan dengan lancar jika kau tidak berada di belakang mereka Mavie," Valie berguman, mencium kening kekasihnya sebelum beranjak, "Aku akan menjenguk Yuki lalu menyusul dirimu. Kantor Davidson Company. Ah aku belum pernah datang ke sana,"
"Datanglah dan tunjukkan jika kau adalah ratu di sana," Mave bergumam. Berjalan dengan kepala bersandar pada bahu sempit Valie, "Jadi akan sarapan dengan apa kita hari ini ratuku?"
"Berhenti memanggilku seperti itu," Valie bergidik, mengusap pelan wajah Mave seraya terkekeh kecil, "Angela," panggilnya.
Kepala pelayan di rumah Mave itu segera berjalan mendekat seraya menunduk sembilan puluh derajat kearah pasangan itu, "Apakah ada yang perlu saya bantu Nona?"
"Tolong siapkan satu untuk Mave yang sama sepertiku,"
"Baik nona,"
"Apa yang kau inginkan?"
"Hanya susu, salad, dan sereal. Kau butuh susu Mave,"
"Hmm ya, ku rasa kau benar," Mave mengangguk anggukkan kepalanya setuju.
Valie membawa kedua jemari Mave untuk ia genggam, melangkah pelan menuju kamar Mave, "Kau butuh istirahat,"
"Tidak tidak aku tidak membutuhkannya,"
"Aku akan membangunkanmu satu jam ke depan Mave. Jangan khawatir. Kau hanya perlu tidur. Kita harus pergi ke Las Vegas besok babee," suara Valie terdengar mendayu dayu, gadis itu membuka kamar Mave dengan sebelah tangan sebelum memasuki ruangan itu dengan santai. Beberapa pelayan yang berjajar di sana tampak menatap takjub ke arah Valie. Tidak ada yang diijinkan memasuki kamar Mave atau pun ruang kerja lelaki itu. Bahkan jika itu Daniel. Tapi Valie jelas berbeda.