Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 23 - 12.01 Fadh Ainurahman (Hari H)

Chapter 23 - 12.01 Fadh Ainurahman (Hari H)

"Sebentar lagi hari H-nya, 'kan?"

"Jangan membahas hal seperti itu, perasaanku jadi tidak enak."

"Perasaan?" Dia tertawa.

"Aku hanya mengatakan hal-hal seperti yang orang-orang katakan agar terlihat normal."

Tetap saja dia tidak berhenti tertawa. Aku tahu dia sedang mengejekku karena dia memang sangat suka melakukan hal seperti itu. Padahal dilihat dari usianya, seharusnya anak ini bisa lebih menghormatiku. Atau paling tidak, sedikit bersifat segan. Tapi jangankan segan, kalau sedang berdua denganku seperti hari ini, anak ini terlalu blak-blakan. Jujur, sifatnya itu cukup mempengaruhi wibawaku.

Aku duduk di teras belakang rumah, menanti mentari pertama muncul di ufuk cakrawala. Aku suka suasanya yang sejuk, tenang, sekaligus meneduhkan. Embun masih melekat di sana-sini, kaca jendela, dedaunan, pagar-pagar tralis, dan tempat-tempat lainnya.

Uap kopi yang baru kuseduh menyembul ke udara, menambah lengkap penantianku menyambut pagi. Pagi yang sempurna.

"Fadh, kamu tahu aku melihat mereka lagi. Sama sekali tidak ada yang berubah. Kenapa hal-hal yang sama terus terjadi? Eits, jangan menjawabku karena aku sudah tahu jawabannya. Aku bukannya sedang bertanya, aku hanya ingin bercerita. Berdiam saja membuatku mengantuk. Dan kenapa kamu sangat menyukai hal-hal membosankan seperti ini. Kenapa kita tidak tidur saja atau melakukan sesuatu yang lebih berguna?"

Dan, dia terus saja berbicara.

Tidak ada suasana tenang seperti yang aku pikirkan sebelumnya.

* * * * *

"Bagaimana perkembangan tim atletik kita, Pak Fadh?"

"Baru mencapai 60 persen, Bu. Masih banyak yang harus diperbaiki." Aku mengangkat pandanganku dari daftar nilai yang sedang kuperiksa saat berbicara pada Bu Ani.

Bu Ani, guru perempuan yang mengajar mata pelajaran Fisika. Ciri fisiknya pendek, gemuk, berkerudung, dan mengenakan kacamata di ujung hidungnya. Sifatnya tegas, keras, dan disiplin tinggi.

"Sisa lima hari lagi, ya?" Bu Ani duduk di tempatnya, jarak dua meja dari tempatku duduk. "Semoga cepat selesai dan hasilnya memuaskan. Soalnya kasihan yang anak kelas XII kalau kecapaian dan ketinggalan banyak pelajaran," tambahnya.

Aku mengangguk, menghormati nasihatnya. "Saya usahakan agar waktu latihan tidak sampai mengganggu waktu belajar anak-anak, Bu."

Melihat Bu Ani tidak berbicara lagi dan sibuk memeriksa lembar-lembar kertas ulangan harian, kurasa caraku memberi jawaban membuatnya puas.

"Pak Fadh!" Kali ini seorang Guru Bahasa yang menyapaku. Dia menempati kursi yang kosong di sebelah mejaku. "Saya dengar Bapak tinggal dekat dengan swalayan tempat Izzatunnisa bekerja?"

"Iya, benar."

"Begini, Pak, kadang saya merasa kasihan sama anak itu kalau sampai harus pulang pagi dan lanjut sekolah. Apa kita tidak bisa merekomendasikan bantuan agar Izzatunnisa bisa fokus sekolah saja?" Suaranya benar-benar terdengar bersimpati.

Aku dengar, Guru Bahasa yang kental dengan logat Jawanya ini adalah orang tua tunggal. Istrinya meninggal Tinggal dengan anak perempuannya yang baru masuk SMP. Mengetahui nasib Nisa, mungkin membuatnya selalu membayangkan jika hal yang sama terjadi pada anak semata wayangnya. Hal itu membuatnya tidak sampai hati.

"Bukannya Izzatunnisa sudah mendapat full beasiswa pendidikan dari sekolah?"

"Maksud saya untuk membiayai kehidupan sehari-harinya."

"Pemikiran Bapak sebenarnya baik, tapi menurut saya bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan saja. Saya pikir bagi Nisa saat ini, bekerja sangat baik untuk kesehatan jiwanya," kataku menanggapi.

"Sepertinya kata-kata Bapak ada benarnya juga. Lebih baik memang seperti itu. Tidak melakukan apa-apa bisa membuat pikiran Nisa ke mana-mana."

Selanjutnya, lima menit sebelum jam masuk pelajaran pertama berbunyi, kami menghabiskan waktu dengan pembicaraan ringan mengenai hal sehari-hari.

Aku memasuki kelas XI IPA I sebagai kelas pertama hari ini. Memberi instruksi dengan beberapa patah kata, kemudian membiarkan mereka berhambur menuju lapangan. Dengan instruksi dari ketua kelas, pemanasan sebelum masuk pelajaran inti dimulai.

"Sedang apa di sini?" tanyaku pada seseorang yang baru saja menghampiriku. Aku mengenalnya. Bukan hanya sekadar kenal tapi sangat kenal. Bahkan aku tahu seharusnya dia tidak datang dan berkeliaran di tempat ini.

"Aku penasaran,' jawabnya singkat. "Yang mana anaknya? Tunggu! Jangan beritahu aku. Biar aku tebak sendiri." Dia menyapu pusat lapangan yang penuh anak-anak dengan tatapannya.

"Bocah itu, ya yang cerita?" tebakku. "Apa pun yang bocah itu dengar pasti tidak satu pun yang bisa disimpan untuk dirinya sendiri," tambahku bersungut.

Sebenarnya bercerita dengan satu dan yang lainnya bukan hal tabu, justru sudah seharusnya. Bahkan tanpa bercerita pun, mereka pasti dengan senang hati akan datang dan ikut campur. Yang aneh adalah aku, ingin menjadikan ceritaku hanya sebagai milikku.

"Pasti anak perempuan di barisan paling belakang itu orangnya?" Pria di sampingku menunjuk dengan dagunya. "Anak yang selalu menunduk seperti pemandangan di bawah kakinya lebih menarik dibanding apa yang diperlihatkan dunia. Dilihat sekali saja sudah bisa ke tebak."

Aku tidak menanggapi. Hanya memandang lurus ke arah anak-anak didikku yang sedang melakukan pemanasan.

"Dan pasienmu ... yang di sebelahnya?"

Aku masih tidak menanggapi. Menganggapnya seolah tidak ada.

"Aku sudah melihat apa yang perlu kulihat. Kalau begitu aku pergi sekarang, ya." Aku terbengong mendengar kalimatnya. Benar-benar kurang kerjaan. "Oh iya, nanti aku tunggu di rumah kopi," tambahnya kemudian berlalu melewati seorang guru yang sedang meneriaki siswa yang tergopoh-gopoh memasuki kelas.

Ketua kelas memberi instruksi bahwa mereka telah selesai melakukan pemanasan. Kini, aku hanya perlu fokus mengajar. Bab yang akan dibahas hari ini mengenai Aktivitas Gerak Lempar, khususnya lempar lembing dan lempar cakram.

Hari ini hanya dua kelas yang harus kuajar. Jam pertama di kelas XI, sementara satu lagi setelah jam istirahat di kelas X. Sementara setelah jam pulang, aku akan mengumpulkan anak-anak yang masuk ke tim atletik selama lima menit dan memberi mereka arahan mengenai pelatihan yang akan kami lakukan sore nanti.

Saat memberi pengarahan, di arah lain aku melihat Nisa di koridor berjalan pulang. Seorang diri. Padahal biasanya selalu ada Ilyas dan Alvian yang mengawal.

Sebelumnya, ketika anak-anak dari tim atletik berkumpul seperti ini, pandangan Nisa akan mengarah ke tempat ini. Mungkin sedang memikirkan ulang keputusannya. Jika saja situasinya berbeda, jika saja memungkinkan, Nisa pasti akan datang padaku dan menerima tawaranku tanpa pertimbangan apa pun.

Dan, ketika hari ini Nisa berhasil lewat tanpa menoleh, aku rasa dia telah menetapkan hatinya.

Bagi Nisa berlari adalah bentuk pelampiasan masalahnya. Setiap kali berlari berharap bebannya akan berkurang. Rutin berlari pagi hingga tanpa sadar, dia menyukainya.

Izzatunnisa. Anak perempuan itu mudah dikenali setelah wajahnya dimuat di berbagai media masa. Kemudian keberadaannya yang mencolok membuatnya menjadi pusat perhatian. Memiliki cerita hidup yang berbeda, dikucilkan, kemudian cara berpakaian yang unik menjadi ciri khasnya sehingga mudah diingat.

Keadaan Nisa menjadi lebih baik ketika ada satu, dan satu orang lagi yang datang padanya dan mau menerima kehadirannya. Orang-orang di sekelilingnya memang masih memasang pagar kewaspadaan untuk Nisa, tapi jelas mereka juga memperhatikan interaksi Nisa dengan orang-orang yang menerimanya. Hal itu membuat mereka memikirkan ulang sifat mereka selama ini.

Izzatunnisa, semakin aku memperhatikannya, semakin aku yakin dengan keputusanku.

[]