Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 27 - 13.02 Kelakar

Chapter 27 - 13.02 Kelakar

Melihat gadis yang dicintainya menangis, dunia Ilyas serasa runtuh. Ia merasa buruk. Teramat buruk.

"Maaf, maaf." Ilyas yang merasa bersalah menjadi salah tingkah. Ia menarik kursi yang didudukinya lebih mendekat. "Aku enggak bermaksud ..."

Nisa menggeleng, "Bukan begitu." Nisa mengangkat wajahnya yang berurai airmata. Ada ingus yang masih ia tahan di sudut hidungnya. "Dulu sewaktu sakit, Ibu seringkali memarahiku. 'Makanya, 'kan Ibu sudah bilang jangan minum es banyak-banyak. Jangan beli jajan sembarangan.' Waktu itu aku pikir seperti ini, 'Ibu ini sudah tahu anaknya sakit, tambah dimarahi,' sambil mogok bicara."

Kenangan yang mengalir di kepala Nisa terasa seperti baru terjadi kemarin namun begitu ia rindukan. Merindukan semua kejadian bersama orang-orang yang ia kasihi. Merindukan omelan ibunya, merindukan ketegasan ayahnya, merindukan keusilan kakaknya. Merindukan keluarga yang tidak akan pernah bisa kembali ke sisinya.

Ilyas mengambilkan tisu di meja kecil samping ranjang.

"Sekarang aku begitu merindukan saat-saat seperti itu. Saat-saat sakit dan dicereweti. Saat-saat Ayah memanjakanku. Saat-saat Kakak menjagaku." Nisa tertawa parau, kemudian menangis lagi. Kali ini lebih deras.

Ilyas menarik lagi kursinya. Lebih dekat lagi. Kali ini ia berhenti tepat di sisi ranjang.

Ini pertama kalinya Ilyas melihat Nisa menangis. Begitu rapuh dan lemah. Tidak ada bedanya dengan anak perempuan lain di luar sana. Kejujuran yang selama ini ia tuntut, sisi lemah yang ingin Ilyas lihat, akhirnya ia dapatkan. Tapi rasanya tak lagi sama. Tidak seperti yang selama ini ia bayangkan. Membuatnya tidak tahu harus apa. Harus menghibur bagaimana.

"Sttt." Wajah petugas UKS muncul dari balik tirai. "Biarkan Nisa istirahat sebentar," katanya setelah Ilyas merespons ke arahnya.

Ilyas mengangguk mengerti, kemudian memutuskan untuk menemani Nisa sebentar lagi sebelum meninggalkannya sendiri.

Petugas UKS meninggalkan ruangannya selepas mengingatkan Ilyas. Ada pekerjaan lain yang harus diselesaikannya di ruang TU. Begitu petugas UKS menghilang, dari arah lain Pak Fadh muncul bersamaan dengan Alvian.

"Semoga saya tidak salah mengartikan situasi ini." Alvian menatap gurunya tajam. "Bapak tidak di sini untuk menguping pembicaraan Nisa dan Ilyas, 'kan?"

"Tidak mungkin. Hanya kebetulan." Pak Fadh tersenyum, tanpa merasa terintimidasi dengan tuduhan Alvian.

* * * * *

Pak Fadh kini berada di kelas XI IPA I. Setelah meminta waktu pada guru yang sedang mengajar, Pak Fadh menuliskan beberapa patah kata di papan. 'Yang tidak menyebabkan penularan HIV/AIDS.'

"Tolong perhatiannya sebentar!"

Pak Fadh menepuk-nepukan tangannya untuk menenangkan grasah-grusuh yang terjadi di dalam kelas. Jelas mereka terkejut dan bertanya-tanya mengenai maksud dan tujuan Pak Fadh mengambil alih pelajaran yang berlangsung.

"Kita akan sedikit mengingat kembali pelajaran mengenai HIV/AIDS. Bapak tidak akan memulai dengan penjelasan apa itu HIV atau AIDS karena kalian pasti sudah sangat memahaminya." Grasah-grusuh mulai menghilang seiring suara Pak Fadh terdengar. "Bapak juga yakin kalian sudah mempelajari apa yang akan Bapak bahas. Jadi, Bapak di sini hanya untuk mengingatkan kembali."

Ketika semua anak sudah tenang dan Pak Fadh menjadi satu-satunya fokus, ia memulai dengan menatap seluruh anak didiknya. Kemudian kembali menuliskan beberapa kata di papan tulis. Keringat. Liur. Urine. Feses.

"Jika ada seorang pengidap HIV dan kalian berada di dekatnya, kalian tidak akan tertular. Jika kalian bermain bersama bahkan berpegangan tangan, kalian tetap tidak akan tertular." Pak Fadh menggerak-gerakkan spidol yang ada di tangannya saat menjelaskan.

Kata 'keringat' dicoret dengan tanda X besar.

"Jika ada seorang pengidap makan di piring yang sama dengan kalian, kalian tidak akan tertular. Jika kalian memakan makanannya pun tetap tidak akan tertular. Terkena muntahannya pun sama. Bahkan jika kalian berciuman sekalipun, kalian tidak akan tertular."

Kelas kembali riuh. Kali ini oleh siul-siul genit.

Pak Fadh yang tetap fokus pada pembahasannya mencoret kata 'liur.' Kemudian mencoret kata 'urine' dan 'feses' secara bersamaan dan melanjutkan penjelasannya.

"Kalian tidak akan tertular jika kalian menggunakan toilet yang sama. Bahkan jika kalian terkena cipratan urine atau kotoran pengidap, tetap tidak akan tertular."

Kelas semakin riuh. Beberapa anak perempuan yang mendengarkan dengan serius sembari membayangkan, bergidik jijik.

Spidol yang dipegang Pak Fadh diketuk-ketukkan di papan sebanyak tiga kali untuk kembali meminta perhatian anak didiknya. Mengembalikan fokus mereka pada pembahasan.

"Jadi apa yang menyebabkan penularan virus HIV?" Pak Fadh kembali menuliskan beberapa kata lain. 'Darah. Seks. ASI.'

"Jika kalian tidak menerima donor darah dari penderita dan menghindari dua yang lainnya, kalian akan aman." Pak Fadh mengambil jeda. "Artinya, jika kalian berada di ruangan yang sama, berteman baik, bersosialisasi dengan baik seperti sebelum-sebelumnya, kalian tidak akan tertular."

Setelah Pak Fadh menyelesaikan kalimatnya, kelas kembali hening. Apa yang ingin Pak Fadh sampaikan, hampir semuanya selesai ia katakan. Sebelum melanjutkan ke bagian penutup, ia menghapus setiap tulisan tangan di papan dan kembali menatap anak-anak didiknya dengan pandangan meneduhkan.

"Bapak yakin kalian pasti sudah berkali-kali mendengar teori yang Bapak jelaskan. Beberapa dari kalian bahkan mungkin sudah menghafalnya untuk berjaga-jaga jika keluar dalam soal ujian. Jadi pertanyaannya, kenapa kalian masih tetap bersifat defensif?"

Pak Fadh menunggu, namun tidak ada satu anak pun yang berbicara untuk memberi jawaban. Ilyas dan Alvian yang baru kembali dari UKS memasuki kelas. Sejenak perhatian semua orang teralihkan pada mereka berdua.

"Bapak tahu kalian hanya bersifat waspada. Berjaga-jaga. Waspada adalah bentuk perlindungan diri manusia secara naluriah. Tidak akan ada yang menyalahkan kalian jika bersifat waspada." Pak Fadh menarik napas. "Tapi coba bayangkan, seandainya tadi teman kalian bukan batuk dan sakit perut biasa. Nyawanya berada dalam bahaya dan kalian tidak melakukan apa pun. Kalian pasti akan merasa bersalah dan menyesal."

Kelas XI IPA I benar-benar tenang. Satu-satunya sumber suara berasal dari Pak Fadh. Semua orang dalam kelas fokus mendengarkan dan merenungkan kata demi kata yang Pak Fadh ucapkan.

"Waspada adalah bentuk perlindungan diri paling dasar, tapi jangan karena kewaspadaan itu kalian terhalang untuk melakukan kebaikan." Tatapan Pak Fadh tertuju pada Alvian. Cukup lama, seolah sedang menyampaikan sebuah isyarat. "Oke, terima kasih atas waktunya. Silakan dilanjut pelajarannya."

Pak Fadh mohon diri pada guru yang bertugas dan meninggalkan kelas. Di koridor, Ilyas mengejar dengan setengah berlari.

"Kenapa Bapak lakukan ini?" tanyanya seketika.

"Lakukan apa? Memberi mereka penjelasan?" Pak Fadh balik bertanya. "Saya hanya melakukan tugas sebagai guru. Ada yang salah?"

"Hanya itu?" tanya Ilyas lagi.

Kening Pak Fadh berkerut. "Apa lagi?"

Ilyas terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi kalimatnya tertahan di ujung lidahnya. Bibirnya terbuka tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

"Kalau tidak ada lagi, saya pergi," ucap Pak Fadh.

Ilyas tetap tidak mengatakan apa pun dan hanya menatap kepergian Pak Fadh. Meski telah mendapat jawaban dari apa yang ingin Ilyas ketahui, ia tetap tidak merasa lega. Firasatnya mengatakan masih ada sesuatu tapi ia tidak tahu apa dan bagaimana cara menyampaikannya.

[]