"Bukannya itu tidak boleh, kenapa tetap kamu lakukan?"
"Aku? Aku hanya melakukan tugasku sebagai guru." Pak Fadh menghela napas. Ia sedang sibuk memeriksa setiap artikel Online yang baru beredar. Diletakan tabnya di atas meja dan sembari bertopang dagu. "Kenapa hari ini aku dua kali ditodong pertanyaan yang sama," katanya dengan nada malas seolah telah menjawab pertanyaan itu sebanyak 100 kali.
Pak Fadh berada di Rumah Kopi yang sama seperti sebelumnya. Bersama orang yang sama dan di waktu yang sama. Berada di tempat umum yang sama terlalu sering sebenarnya tidak baik. Tapi Ben selalu memintanya untuk datang. Ia ingin melihat wanita itu lagi. Ingin membujuk Fadh agar mau mengabulkan keinginannya.
Sayangnya, wanita yang tempo hari mengenakan kacamata yang tidak sesuai dengan penampilannya, sepertinya tidak datang hari ini. Mereka telah menunggu tapi tanda-tanda kehadirannya belum juga terlihat.
"Bukannya itu jelas, karena seharusnya kamu tidak ikut campur."
"Sudah kubilang aku hanya melakukan tugas sebagai guru." Pak Fadh tetap pada jawabannya.
"Orang mungkin akan tertipu, tapi alasan murahan seperti itu tidak akan mempan padaku," cibir Ben.
"Alasan murahan?!"
Terpancing dengan cibiran Ben, Pak Fadh meninggikan suaranya. Orang-orang di sekitarnya spontan menoleh bersamaan. Sadar menjadi pusat perhatian, Pak Fadh berlagak cuek dan kembali sibuk dengan tabnya. Ben cekikikan puas. Tujuannya memancing Fadh tercapai.
"Aku jarang mengunjungi Noni, bagaimana keadaan anak itu?" Ben membuka pembahasan baru setelah puas terkikik. Dilipatnya tangan di atas meja dan dibenamkan sebagian wajahnya.
'Fadh, mereka menjijikkan.'
Pak Fadh teringat perkataan bocah itu. Ia mengangkat pandangannya dan menatap cangkir kopinya sementara pikirannya tidak di sana.
Noni sebenarnya bukan bocah yang tepat untuk dikhawatirkan. Bocah itu selalu bisa mengatasi situasinya sendiri dengan baik. Pagi tadi Noni sudah kembali menjadi bocah yang ceria dan cerewet seperti biasanya. Pak Fadh tidak ingin memikirkannya, tapi tetap saja ekspresi Noni malam itu tidak biasa. Ekspresi yang tidak bisa ia mengerti.
"Sepertinya ada yang membuat anak itu terpengaruh," ujar Pak Fadh.
"Oh."
"Oh?" Pak Fadh mengerutkan keningnya, tidak habis pikir dengan tanggapan yang Ben berikan. Pertanyaannya terdengar peduli, tapi jawabannya benar-benar masa bodoh. Merasa kembali dikerjai, Pak Fadh berdecak kesal.
"Bukan begitu," Ben menimpali cepat. "Noni itu tipe yang sangat idealis. Dia akan baik-baik saja seperti apa pun keadaan yang tengah dia hadapi. Beda denganmu. Dibandingkan Noni, aku jauh lebih mengkhawatirkanmu."
"Aku?" Pak Fadh mengangkat wajahnya. Keningnya kembali berkerut tapi pandangannya tidak tertuju pada Ben. "Sekarang apa lagi?" tambahnya menggerutu.
Ben yang mengerti Pak Fadh tidak sedang berbicara padanya, melihat ke arah pandangan pria itu tertuju. Di sana, di depan pintu masuk, seorang pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah memandang ke segala arah. Sedang mencari-cari.
Ilyas Rasyid.
"Sepertinya aku harus pergi sekarang." Ben menggeser kursinya hingga nyaris tanpa suara. "Selamat bersenang-senang dengan privasimu," celetuknya jahil.
Pak Fadh tidak menyahut.
Ilyas yang telah menemukan keberadaan seseorang yang dicarinya, berjalan mendekat. Langkahnya tegas dan mantap. Pak Fadh bisa menebak apa yang membawa Ilyas padanya. Memikirkan hal itu membuatnya merasa antusias.
"Saya mau bicara!"
Pak Fadh memberi isyarat dengan telapak tangannya agar Ilyas duduk, kemudian melipat tangannya di depan dada. Siap mendengarkan.
"Saya enggak akan bertanya, 'kenapa Bapak lakukan itu' karena berapa kali pun saya bertanya jawabannya pasti akan sama." Ilyas memulai dengan cepat. Kalimat yang dia pikiran mengalir dengan lancar keluar dari mulutnya. "Saya sudah mendengar penjelasan Bapak di kelas secara lengkap dari teman-teman."
"Dan?"
"Kenapa Bapak berbicara seolah-olah Nisa adalah seorang pengidap?" Ilyas masuk ke inti pembicaraan. "Bapak memang enggak menyebutkan nama secara langsung, tapi semua orang tahu siapa yang sedang Bapak bicarakan dan sekarang semua orang berpikir kalau Nisa positif seorang AIDS."
"Bukankah yang terpenting adalah hasilnya?" Pak Fadh tidak lagi melipat tangan di depan dada. Ia menanggapi dengan serius. "Tidak ada yang dirugikan dengan kata-kata saya. Karena dengan atau tanpa kata-kata saya, di benak banyak orang Izzatunnisa tetap seorang pengidap."
Rahang Ilyas mengeras, tatapannya berubah tajam. Jika yang duduk di depannya saat ini bukanlah seorang guru, mungkin satu bogeman panas sudah mendarat di wajahnya.
"Kalau Bapak berbicara seperti ini dengan alasan Bapak seorang guru, Bapak sama sekali enggak pantas!" hardik Ilyas. "Apa Bapak tahu seperti apa kehidupan yang Nisa jalani dengan anggapan yang melekat padanya?"
"Saya tahu ..."
"Enggak! Bapak sama sekali enggak tahu!" Ilyas menyela.
Ilyas berbicara dengan suara yang terlalu keras untuk dua orang di jarak itu. Lagi, orang-orang yang merasa terganggu melihat ke arah tempat Pak Fadh duduk.
"Kalau Bapak tahu kehidupan seperti apa yang Nisa jalani, Bapak enggak akan berbicara seperti itu. Saya dan orang-orang yang mempercayainya berusaha sangat keras untuk membuat orang lain percaya kalau Nisa bukan seorang pengidap. Tapi hanya dengan beberapa patah kata manis, Bapak menghancurkan semua usaha kami. Selama beberapa hari ini aku berpikir Bapak peduli pada Nisa, tapi ternyata ..." Ilyas membiarkan kalimatnya menggantung begitu saja.
"Saya peduli dan seperti inilah cara saya peduli," jawab Pak Fadh tegas. "Saya tidak tahu seberapa keras usaha kalian untuk meyakinkan semua orang bahwa Izzatunnisa bukanlah seorang pengidap AIDS. Yang saya tahu anggapan orang-orang tentangnya masih sama. Mungkin suatu saat caramu akan berbuah manis, tapi saya tidak yakin cara yang kamu gunakan akan lebih efektif untuk mengurangi bebannya saat ini."
Kedua tangan Ilyas mengepal semakin erat. Ia benar-benar ingin menonjok guru di depannya saat ini juga.
"Sejak pertama kali melihat Bapak di kelas saya sudah enggak suka. Dan ternyata firasat itu benar. Anda orang yang menyebalkan!" Ilyas berbicara untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
Untuk beberapa saat Pak Fadh tidak mampu bereaksi. Tidak membalas.
Dibenci tanpa alasan. 'Sejak-pertama-kali.' Kalimat terakhir Ilyas seperti telah menonjok Pak Fadh dengan keras.
Selama ini Pak Fadh merasa tidak pernah melakukan hal buruk hingga ia pantas dibenci tanpa alasan. Ia berusaha bersikap profesional sebagai pengajar, berusaha menjadi guru yang menyenangkan, bersikap terbuka. Dengan semua itu, ia tetap saja tidak disukai. Yang lebih parah ternyata ia tidak disukai sejak awal. Sejak awal!
Manusia benar-benar makhluk yang tidak masuk akal.
Mengingat masih ada jadwal latihan sore, Pak Fadh berhenti meratap dan bergegas meninggalkan Rumah Kopi. Tapi, baru berada di pelataran parkir, ia merasa ingin menyegarkan tenggorokan dengan air dingin.
Pak Fadh meninggalkan motornya dan beralih ke swalayan seberang jalan.
Beberapa jarak setelahnya, seorang remaja yang masih mengenakan seragam sekolah ikut menyeberang. Tidak hanya itu, ia juga ikut masuk ke swalayan yang sama dengan tempat yang Pak Fadh masuki.
Remaja kali ini berbeda dengan remaja yang sebelumnya berbicara dengan Pak Fadh. Mengekor diam-diam dan tidak berencana mengajak guru itu bicara. Rambutnya tidak panjang dan berantakan. Tidak juga mengenakan seragam dengan sembarangan meski berada di luar sekolah. Ekspresinya selalu serius dan kacamata yang menjadi ciri khas menghiasi wajahnya.
Alvian Putra.
"Siapa yang tidak syok. Kamu sendiri tahu dia siapa dan tiba-tiba bicara seperti itu."
Alvian mendengar suara Pak Fadh yang berbicara di depan kulkas. Ia yakin Pak Fadh sedang seorang diri tapi dari caranya berbicara seperti ada orang di dekatnya. Seperti ada orang yang diajak mengobrol. Alvian mengintip. Dan yang terlihat, Pak Fadh menggenggam ponsel yang kemudian ia kantongi.
"Berteleponan?"
[]