Di duniaku, bagi orang-orang yang ada di sekitarku, aku adalah sosok yang abu-abu. Aku tidak mencolok, keberadaanku sering tidak disadari, bahkan mudah dilupakan. Masalahnya bukan pada penampilan atau wajahku tapi ada padaku. Karena aku yang tidak sama dengan mereka.
Sebenarnya itu bukan masalah. Sama sekali tidak masalah. Aku baik-baik saja dengan keberadaanku yang seperti ini.
"Sudah mau pulang, Pak?" Guru Bahasa yang melihatku berkemas menegur.
"Iya, Pak," balasku seadanya.
"Oh iya, Pak Hasan titip pesan katanya sore nanti mau datang ke tempat latihan. Beliau mau lihat secara langsung kemajuan latihan anak-anak."
"Iya, Pak," balasku lagi. "Kalau begitu saya duluan," tambahku pamit.
Pulang dari sekolah aku mampir ke Rumah Kopi untuk memenuhi ajakan yang tadi datang padaku. Juga sembari menggenapkan waktu hingga pukul empat sore.
Meluangkan waktu untuk bersantai dan pergi ke Rumah Kopi adalah caraku menghabiskan waktu dengan tenang. Aku suka aroma kopi yang menenangkan. Aku juga suka suasananya yang tidak terlalu ramai.
Setelah menghabiskan waktu lima menit untuk menunggu, pria itu akhirnya datang. Dia datang bersamaan dengan pramusaji mengantar pesananku.
"Maaf lama," katanya basa-basi. "Biasa, baru selesai patroli," tambahnya yang kuartikan sebagai pamer.
Aku tidak menunjukkan reaksi apa pun. Jenis seperti dia memang bisa seenaknya pergi ke mana pun. Tidak ada yang membuatnya terikat. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dilakukan sesuka hati.
"Silakan!" Pramusaji berkata kepadaku. Secangkir kopi yang masih meniupkan hawa panasnya ke udara diletakkan di depanku bersama beberapa potong roti bakar. Aku membalas dengan ucapan terima kasih dan pramusaji pergi untuk menyambut pelanggan lain yang datang.
"Jadi, apa yang-"
"Dia datang, dia datang!" Suaraku tenggelam oleh seruannya yang antusias.
Aku mengikuti arah pandangannya. Seorang wanita. Berusia kira-kira akhir dua puluhan. Wanita itu memasuki Rumah Kopi tempat kami berada. Wajahnya polos tanpa riasan. Pakaian yang digunakan terlihat biasa. Daster maron panjang dilapisi dengan sweter rajut polos dengan warna senada. Tinggi, berkulit sawo matang. Rambutnya panjang, lurus, diikat rendah ke belakang. Kacamata yang tidak cocok dengan penampilannya jelas ia gunakan untuk menyamarkan sesuatu.
"Itu orangnya?" bisikku sembari memperhatikan dari sudut mataku.
"Iya. Cantik, bukan?" jawabnya sembari terus memperhatikan wanita itu dengan takjub. Kalau itu aku, tidak mungkin bisa memperhatikan orang lain seperti itu. Jelas, orang akan merasa risi dan bisa-bisa aku jadi dicurigai yang tidak-tidak.
"Cantik," pujiku. "Tapi sayang ... " Aku tidak melanjutkan kalimatku. Aku tahu Ben mengerti maksudnya. Tentu saja. Dia lebih mengenal wanita itu.
"Bagiku itu sama sekali bukan masalah."
"Percuma mengatakan itu sekarang," imbuhku. "Toh, kita akan melupakan semuanya nanti."
"Paling tidak, dalam hati aku, aku pernah berikrar menerima dia apa adanya," jawabnya dengan senyum semringah.
Sepertinya aku harus meralat sesuatu. Sebelumnya aku bilang tidak ada yang membuat dia terikat. Nyatanya wanita itu membuat Ben terikat secara tidak langsung.
Dengan suara yang serak di awal, wanita itu memesan Moca Latte dan seporsi pancake coklat keju. Ia membenarkan letak kacamatanya. Selagi menunggu, ia menatap berkeliling. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
"Berapa bulan?" tanyaku setelah memperhatikan perutnya. Memang belum menunjukkan tanda-tanda yang mencolok, tapi aku tahu ada makhluk lain sedang tumbuh di sana.
"Lima minggu."
"Oh."
Lima minggu. Masih ada cukup waktu. Mungkin sampai Ben bisa menyelesaikan tugasnya. Apa yang terjadi setelah itu, siapa tahu.
Selesai? Aku bahkan tidak tahu arti kata 'selesai' yang sebenarnya. Atau apa sebenarnya tugas kami. Aku hanya menjalaninya. Dan mereka bilang, perjalanan ini adalah tugas itu sendiri.
"Fadh, aku punya permintaan."
"Aku tolak." Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat meski Ben belum menyebutkan apa pun tentang permintaannya.
Firasat buruk. Aku benar-benar merasa dia akan mengatakan sesuatu yang merepotkan. Aku mengalihkan perhatianku dengan memakan sekaligus roti bakar yang ada di tanganku. Rencana selanjutnya adalah pergi secepatnya dari tempat ini.
"Tolong ajak dia bicara!" pintanya saat aku beranjak.
"Sudah kubilang, aku tolak!!" Padahal sudah kutolak. Padahal Ben tahu persis aku tipe yang tidak suka ikut campur, tidak suka dibebankan dengan apa pun yang bukan urusanku.
Orang-orang melihat ke arahku. Sepertinya aku berseru terlalu keras. Karena tidak ingin menarik perhatian lebih jauh lagi, aku berpura-pura berbicara dengan ponselku.
"Tidak mau! Kenapa harus aku?" Aku kembali duduk. Masih berbicara dengan suara berbisik di ponselku.
"Melihat dia berbicara denganmu, memiliki sensasi tersendiri. Seperti dia berbicara denganku." Ben berkata dengan mata berbinar-binar.
"Kurang kerjaan!"
"Ayolah, Fadh. Tidak ada ruginya kamu melakukannya untukku," katanya membujuk.
"Tidak rugi?" ulangku. "Siapa bilang tidak rugi. Jelas aku harus membuang-buang waktuku yang berharga hanya untuk mengurusi urusanmu. Bagaimana kalau dia berpikir aneh tentangku?"
"Jadi itu yang kamu takutkan? Tenang saja. Berusaha saja senatural mungkin. Lagi pula kamu tahu sendiri kita, 'kan ..." Ben melanjutkan kalimatnya dengan mengangkat kedua bahunya. Aku tahu. Aku mengerti maksudnya. "Jadi tidak akan ada masalah."
"Bukan takut, aku tidak mau membuang waktu." Aku mengantongi ponselku, menghabiskan kopi, dan mengemasi barang-barangku. "Kamu bisa bicara sendiri tanpa harus melibatkan aku." Aku pergi meninggalkan Ben sendiri setelah membayar pesananku.
Ben adalah tipe yang paling bebas di tengah ketidakbebasannya. Dia sangat ekspresif, antusias. Dia suka ikut campur urusan yang lain dan suka menyuruh yang lain ikut campur urusannya.
Beberapa kali dia pernah datang menggangguku. Meminta melakukan ini dan itu. Memata-matai, berbicara dengan orang aneh, menghibur seseorang yang tidak kulenal. Memangnya dia pikir aku seorang perantara.
Awalnya aku menolak. Tapi sebanyak apa pun aku menolak, dia akan datang lebih sering. Bagai nyamuk yang mendenging di telinga dia begitu mengganggu. Berisik. Mengacaukan hari-hari tenang yang aku cintai. Begitu aku setuju, secepat itu juga aku menyesal.
Beruntung keberadaanku mudah dilupakan, kalau tidak, mungkin aku sudah viral. Mungkin aku akan mendapat cap sebagai pribadi yang abnormal. Selain akan mencemarkan nama baikku juga akan merusak identitasku. Bagaimana aku bisa tetap menjadi pengajar kalau sudah begitu.
Jadi kutegaskan pada diriku sendiri untuk tidak lagi terlibat urusan Ben. Biarkan dia dengan urusannya dan tinggalkan aku sendiri dengan duniaku.
Sebenarnya aku merasa penasaran apa dia pernah membawa perasaan saat menjalani hari-harinya. Pertunjukan yang dia lihat jelas lebih banyak dari yang muncul di depan mataku. Jadi, apa pernah sesekali ia terpengaruh. Atau, hanya bagian luar dari dirinya yang riang, sementara yang terdalam lebih beku dari kutub selatan.
Tapi aku tidak akan menanyakan hal itu padanya. Aku tidak akan meniru sikapnya yang suka ikut campur. Lagi pula tahu terlalu banyak bukan hal yang baik. Selain hanya memenuhi rasa ingin tahuku, tidak ada keuntungan lain yang kudapat.
"Fadh, kamu benar-benar tidak mau membantu temanmu." Suara Ben tiba-tiba muncul dari belakang.
"Teman?" Aku tersenyum mengejek. "Memangnya kita memiliki hubungan seperti itu?"
"Kalau begitu sebagai yang terdekat di antara yang paling dekat."
Aku nyaris saja menyemburkan tawaku. Dari mana asal kepercayaan dirinya itu. Tidak ingin berurusan dengan pria itu lebih lama lagi, aku mempercepat langkahku.
[]