Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 7 - 03.01 Izzatunnisa (Duniaku)

Chapter 7 - 03.01 Izzatunnisa (Duniaku)

Di duniaku yang abu-abu, aku kurang tidur, bolak-balik rumah sakit, selalu muram, mata bengkak, rambut kusam, kusut, dan berantakan. Penampilanku tidak lagi terurus, pola makanku berantakan dan lebih sering lupa.

Aku berduka lebih lama saat Ayah meninggal. Meratap terlalu sering, mogok makan, marah pada takdir, dan hanya berdiam saja dalam kamar. Aku tidak bisa berpikir apa yang akan terjadi padaku, Ibu, dan Kakak tanpa Ayah di sisi kami.

Tanpa Ayah, aku tidak tahu bagaimana cara memperbaiki jendela kamarku, memotong ranting pohon yang semakin panjang, membenarkan atap rumah yang bocor, menambah perkakas rumah. Aku tidak tahu apa aku akan baik-baik saja saat merindukannya. Apa yang harus kulakukan jika ingin bertemu.

"Kita pasti kuat, kita akan baik-baik saja!" Ibu berusaha kuat meski matanya dipenuhi duka.

"Apa... apa benar-benar akan baik-baik saja?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku tidak tahu lagi apa definisi baik-baik saja yang Ibu maksud.

"Pasti, Sayang. Pasti! Jangan menyerah!"

Berpikir bahwa aku telah ditinggal pergi untuk selamanya, membuatku sulit bernapas.

Aku tahu setiap manusia akan menghadapi kematian. Cepat atau lambat. Tapi tetap saja rasanya terlalu berat. Rasanya seperti baru kemarin kami tersenyum bahagia sebagai keluarga yang harmonis. Merencanakan liburan. Memilih tempat yang menyenangkan, menginap di hotel dengan pemandangan terbaik, berburu makanan baru. Nyatanya, tidak satu pun dari rencana kami yang terwujud.

Keluargaku hancur berantakan, Ayah pergi untuk selamanya, Ibu dan Kakak sakit parah, aku terpuruk. Semua berakhir di situasi terburuk. Tidak ada yang membaik sama sekali.

Kepergian Ayah untuk selamanya membuatku merasakan bagaimana dukanya kehilangan. Bagaimana rasanya tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan orang yang dicintai. Bagaimana rasanya hidup dengan menanggung kerinduan yang panjang.

Begitu Kakak meninggal, aku hanya menyisikan sehari penuh dari waktuku untuk berduka. Aku harus lebih kuat dan selalu ada untuk Ibu, untuk mendukungnya. Selama berduka untuk

Ayah aku sudah banyak berpikir.

Bumi tidak berhenti berputar meski aku hanya meringkuk saja di atas ranjangku. Tidak sedetik pun. Ibu tetap berjuang dan Kakak tetap merasa kesakitan sampai akhir hayatnya. Dibanding mereka berdua, aku tidak ada apa-apanya. Rasa sakit dan kesedihanku sama sekali tidak berarti.

Ibu dirawat cukup lama sehingga aku lebih sering menginap di rumah sakit. Menjadikan rumah hanya sebagai tempat menumpang mandi dan berganti pakaian. Sejak awal aku telah keluar dari semua ekskul yang sebelumnya kuikuti seperti, PMR, bela diri, dan kursus bahasa asing.

Ketika hari libur tiba, aku akan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Ibu. Mengurus Ibu, menemani, dan menceritakan banyak kisah yang dapat menghibur perasaannya. Aku berusaha keras agar terlihat baik-baik saja.

Sebenarnya aku anak yang cengeng. Saat Ibu memberi nasihat aku hanya bisa menahan air mata agar tidak tumpah. Aku tidak boleh menangis di depan Ibu. Aku hanya bisa menangis diam-diam.

"Nisa anak yang kuat. Anak yang tegar. Ibu yakin situasi apa pun yang akan Nisa hadapi di masa depan, Nisa akan bisa melewatinya. Nisa akan baik-baik saja."

"Iya, Nisa pasti kuat. Nisa akan baik-baik saja!" janjiku.

Ibu lebih sering menguatkanku dibanding aku yang menguatkan ibu. Padahal aku tahu Ibu lebih membutuhkan banyak kekuatan. Padahal aku tahu Ibu tidak boleh mengkhawatirkanku. Padahal aku sudah berusaha tersenyum. Padahal aku sudah mencoba tertawa saat Ibu membuat lelucon. Aku sudah tersenyum dan tertawa tapi rasa takutku tetap tidak mau pergi.

Perasaanku kacau, tidak keruan. Aku tidak tahu harus apa dan bagaimana. Aku tidak ingin kehilangan lagi tapi tidak sanggup menghalau takdir. Aku ingin menjadi lebih kuat tapi selalu tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak ingin menangis tapi air mataku selalu tumpah.

"Jika selingkuh kenapa harus melibatkan kami?! Kenapa sampai membawa pulang penyakit mengerikan ini?!" teriak Ibu pada Ayah di suatu malam.

Malam itu pertama kalinya aku melihat Ibu bisa semarah itu pada orang yang dicintainya. Oh, mungkin, justru karena cinta hingga bisa jadi semarah itu. Perasaan dikhianati dan dipermainkan. Karena semakin banyak kamu mencintai seseorang, maka dalam kadar yang sama kamu pun bisa terluka.

Hati Ibu terluka, sementara tubuhnya perlahan digerogoti penyakit terkutuk. Anak laki-laki tertuanya ikut terkena dampak. Dan aku akan ditinggal seorang diri sembari menumpuk kerinduan seumur hidupku. Mereka akan meninggalkanku seorang diri.

Hari ini aku lari pagi seperti biasa, pergi ke sekolah seperti biasa. Bedanya jadwal kerjaku libur jadi aku bisa datang ke pertandingan futsal Ilyas.

Selama ini aku tidak pernah sempat melihat pertandingan Ilyas ataupun mendatangi sesi latihannya. Beruntung jadwal liburku kaki ini bertepatan dengan jadwal pertandingan Ilyas. Aku ingin melihat secara langsung betapa berbakatnya Ilyas pada hobi yang dia gilai itu. Yang sering dibangga-banggakannya di depanku.

Pertandingan dimulai pukul lima sore. Karena aku ingin mendapat kursi penonton paling depan, aku harus bersiap-siap lebih awal.

Ponselku berdering singkat tanda sebuah pesan masuk. Pasti itu Ilyas. Seharian ini dia terus mengingatkanku untuk tidak melewatkan pertandingannya. Ilyas sudah mewanti-wanti sejak seminggu yang lalu. Sepertinya bukan hanya aku yang merasa antusias, Ilyas pun sama. Perasaan seperti ini membuatku ingin melesat ke tempat pertandingan detik ini juga. Aku ingin melihatnya. Aku ingin memberitahukan bahwa aku datang untuknya. Untuknya menyaksikan pertandingannya.

"Ternyata bukan dari pesan dari Ilyas," kataku setelah memperhatikan layar pada ponselku. Setelah membaca isi pesan, aku menahan napas. "Aduh, jangan hari ini," keluhku. Benar-benar tidak tepat waktu.

Ini tidak akan berakhir hanya dengan mengirim satu atau dua pesan balasan. Karena itu aku segera menekan tombol panggil.

"Halo, Mbak Ayu kenapa?"

"Nisa, bisa minta tukaran jadwal libur? Mamakku sakit. Enggak ada yang bisa jaga di rumah." Mbak Ayu langsung mengutarakan maksudnya.

Aku menghela napas panjang. Berpikir. Sebenarnya tidak perlu membuang waktu berlama-lama untuk berpikir toh, pada akhirnya aku jugs akan setuju. Tapi, tiba-tiba saja aku ingin bersikap jahat. Menjadi egois untuk hari ini saja. Hari ini. Aku tidak ingin membuat Ilyas Rasyid kecewa. Aku tidak ingin membuatnya sedih.

"Ada kasir pengganti, tapi masih baru. Hari ini malam minggu, jadi toko pasti ramai. Aku sudah bilang sama Pak Budiman, katanya, terserah kamu." Mbak Ayu berbicara lagi karena aku tidak kunjung memberi jawaban.

Terserah aku, katanya.

Aku menghela napas semakin panjang. Terserah adalah kosakata terlemahku. Kata 'terserah' berarti segala keputusan ada di tanganku. Justru karena segala keputusan dibebankan padaku aku merasa serba salah. Aku tidak ingin, tapi orang di seberang sana berharap sebaliknya. Aku harus membuat keputusan sesuai keinginanku dan memenuhi harapan orang lain di saat yang bersamaan.

Apanya yang 'terserah aku' kalau begini.

Mengingat Mbak Ayu sering mengabaikanku, membuatku ingin balik mengabaikannya. Tapi ... aku pernah berada di posisinya. Ingin selalu bisa menjaga dan merawat Ibu tapi terhalang banyak rutinitas. Sampai sekarang pun aku masih merasakan seperti apa menyesalnya. Aku memahami kekhawatiran Mbak Ayu dan mengerti bagaimana perasaannya.

Ilyas, maaf ...

"Iya, biar kugantikan." Aku akhirnya membuat keputusan meski masih dengan berat hati.

"Terima kasih, ya Nisa. Terima kasih banyak."

Kenapa harus datang padaku saat butuh? Jika ingin mengabaikan, seharusnya abaikan aku sepenuhnya. Kenapa harus datang hari ini?

Aku masih saja mengeluh meski sudah setuju. Aku ini kenapa, jika tidak mau harusnya bilang 'tidak'. Jika mau, bilang 'iya' dan kerjakan dengan sepenuh hati. Kenapa aku selalu seperti ini. Memperumit diriku sendiri dan menggerutu. Bodoh. Benar-benar bodoh.

Aku menghela nafas untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan rumah.

[]