"Pelajaran hari ini bikin ngantuk parah!"
"Setiap pelajaran hitung-hitungan kerjaanmu, 'kan memang hanya tidur-tiduran." Alvian menimpali tanpa kuminta. Si Mata Empat itu sedang merapikan bukunya dan bersiap-siap pergi ke perpustakaan.
"Siapa suruh kasih penjelasan dengan cara yang enggak aku mengerti sama sekali," keluhku.
"Justru karena enggak mengerti, kamu enggak pantas tidur-tiduran ..."
"Stop!" kataku dengan cepat, memotong ocehan Alvian yang belum selesai. "Aku lapar dan enggak punya waktu berdebat. Nisa, ayo kita kantin!" Aku beralih pada Nisa.
Aku yakin Alvian juga sudah siap meninggalkan kelas menuju tempat persembunyian abadinya, perpustakaan. Dia bahkan sudah mendekap dua buku di dadanya. Padahal tinggal berdiri, balik kanan, dan keluar dari kelas. Tapi bukannya pergi lebih dulu, Alvian justru sempat-sempatnya mendebat setiap ucapanku.
Tunggu! Kalau tidak salah ingat, tingkah seperti ini memang sudah menjadi kebiasaan Alvian. Dia selalu meninggalkan kelas ketika aku dan Nisa sudah pergi.
Deg! Apa ini? Kenapa sekarang aku merasa keberadaannya di dekat kami seperti sedang mengawasi.
"Nisa bukan milikku atau milik siapa pun. Nisa bukan barang!" Aku kembali teringat pada perdebatan kami semalam.
"Aku tahu. Dan aku tahu bagaimana kamu berpikir tentangku sekarang."
"Maksudmu?"
"Kamu menganggapku ancaman karena aku tidak pernah ada di pihakmu saat kalian bertengkar, karena aku pernah bilang kalau hubungan kalian tidak akan berhasil." Alvian berbicara dengan intonasi yang baik. "Ketika seseorang telah memutuskan sesuatu, otak akan berpihak penuh padanya."
Aku tidak langsung menjawab. Mencermati setiap kalimat yang telah Alvian ucapkan dengan teliti. Berpikir lagi. Sekali lagi.
"Sama halnya ketika kamu telah memutuskan bahwa aku adalah ancaman dalam hubungan kalian. Kamu akan berpikir lagi tentang persahabatan kita. Tentang pendapatku ketika kalian memulai hubungan. Mempertanyakan sikapku. Artinya, yang terpikirkan hanya hal-hal yang mengarahkan sosokku sebagai ancaman. Seperti kebetulan-kebetulan kecil yang terjadi, kamu melihatnya seolah itu telah direncanakan. Betul, 'kan, kamu menganggapku seperti itu?"
Membalik pertanyaan dengan pertanyaan. Membalik tuduhan dengan tuduhan. Benar-benar seorang Alvian Putra.
"Kamu tahu, 'kan aku tidak sepandai kamu. Berpikir beberapa kali pun aku tidak akan bisa mengerti semua kata-katamu." Aku menatap Alvian sebagai laki-laki. "Kalau begitu kutanya langsung. Apa kamu jatuh cinta pada Nisa?"
Hening. Waktu seperti berhenti. Syarafku menegang, menantikan jawaban apa yang akan keluar dari mulut Alvian. Jawaban apa pun itu, jelas akan memengaruhi persahabatan kami untuk ke depannya.
Hari ini, sisi lain dari Alvian baru pertama kali aku melihatnya. Alvian yang selalu tahu segalanya, yang selalu memiliki keyakinan penuh, yang selalu menjawab segala pertanyaan dengan cepat, berubah menjadi orang yang ragu-ragu. Dia bahkan membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaanku lebih lama dari menjawab soal fisika dan matematika tersulit.
Ada apa dengannya, dengan teori-teori penuh keyakinan yang baru saja dia ucapkan. Aku, tiba-tiba menjadi takut.
"Bukan perasaan seperti itu."
Satu jawaban yang melahirkan lebih banyak lagi pertanyaan. Bukan jawaban seperti itu yang aku ingin dengar. Aku akan kembali bertanya, tapi tatapannya seolah memintaku untuk berhenti. Jika memaksa, mungkin aku yang akan terluka. Pembahasan seperti ini, seharusnya tidak kuajukan sejak awal.
"Ilyas, kamu mikir apa?" Suara Nisa membuyarkan pikiran-pikiranku.
"Mikir ... mau makan apa kita hari ini," dustaku. Aku melirik ke arah Alvian. Anak itu juga menatap ke arahku.
Sial! Pemikiran gila macam apa ini. Apa benar aku sepicik ini. Kenapa aku terus saja melihat keberadaan teman baikku, teman masa kecilku, sekaligus teman yang sering aku beri tumpangan menginap di kamarku, sebagai ancaman.
Tidak mungkin, tidak mungkin!
Alvian adalah orang yang paling sewot saat hubunganku dan Nisa sedang panas-dingin. Itu artinya, dia tidak ingin hubungan kami rusak. Dengan kata lain, niatnya sebenarnya baik.
Tidak sepenuhnya seperti itu ...
Bisa jadi karena Alvian tidak ingin Nisa sedih. Dan, jika selalu membuat Nisa sedih, bukan tidak mungkin dia akan merebut Nisa dariku. Bukannya Alvian pernah bilang jika sifatku terus seperti ini, hubunganku dengan Nisa tidak akan berlangsung lama. Jelas itu sebuah peringatan.
Bukan perasaan seperti itu, kalimat Alvian kembali bergema di telingaku.
Sial, sial! Meskipun Alvian bilang seperti itu, aku tetap tidak bisa berhenti meragukannya. Dan kenapa bagian lain dari diriku terus-menerus memperovokasi, tidak mau berhenti meragu.
"Nisa, ayo kita ke kantin! Kita tinggalkan saja si Kutu Busuk ini ..." -plak, tiba-tiba saja kepalaku sudah dipukul buku.
"Siapa yang kamu bilang kutu busuk?!" sergah Alvian tidak terima.
Sejak kapan Kutu Busuk ini ada di belakangku? Kenapa aku tidak sadar? Jangan-jangan dia bisa berteleportasi. Jangan-jangan aku hidup dalam novel roman - SCI-FI.
"Aku belum lapar. Aku di kelas aja, ya." Nisa berkata dengan suara rendah, membuatku yang berkeinginan membalas Alvian mengurungkan niat seketika.
"Loh, bukannya tadi Nisa belum sarapan?"
Ada yang tidak beres. Aku yakin ada yang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa.
-Plak. Lagi. Tiba-tiba kepalaku di pukul buku. Buku yang sama, pelaku yang sama. Alvian. Dasar! Kenapa sih, anak ini belum pergi-pergi juga.
"Dasar enggak peka!" Alvian menghardikku.
"Enggak peka? Siapa? Aku?" Aku tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti.
Aku menatap bergantian antara Nisa yang berpura-pura mengalihkan pandangannya dan Alvian yang mengangkat wajahnya terlalu tinggi seolah menantangku. Memang ada yang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa, tidak tahu kenapa.
Sebelumnya Nisa tidak pernah mencari-cari alasan seperti ini. Biasanya, meski tidak lapar Nisa tetap akan menyambut ajakanku ke kantin dan menemaniku. Kemudian makan walau hanya sedikit.
"Sebenarnya mata dan otakmu kamu pakai untuk apa, sih?! Aku yang jarang ke kantin dengan kalian saja bisa langsung tahu. Sementara kamu ..."
"Iya, jadi apa?!" Aku meninggikan suaraku, menuntut jawaban darinya.
Alvian menghela napas. Mungkin dia putus asa dengan kedangkalan otakku yang tiada tara ini. Dan, kepalaku dipukulnya lagi.
Sialan! Anak ini benar-benar tidak peduli kalau aku sedang frustrasi memikirkan keanehan dari sikap Nisa? Kenapa dia tidak langsung memberi jawaban saja, sih! Apa dia sebenarnya diam-diam suka menyiksaku.
"Sakit! Kenapa kamu selalu memukul kepalaku?!" Aku memekik begitu histeris sampai-sampai Nisa melompat dari tempatnya duduk karena terkejut. Untung tidak ada anak-anak lain di kelas.
"Biar kamu bisa sedikit lebih pintar!" Alvian balas membentakku.
"Bocah ingusan juga tahu kalau itu enggak mungkin!!"
"Hus!" Nisa meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Aku benar-benar enggak apa-apa. Hanya belum lapar."
Alvian menghela napas lagi, menarik lenganku agar lebih merapat ke arahnya. "Setiap kita makan di kantin Nisa selalu menggunakan piring dan gelas yang sama. Apa kamu masih belum mengerti itu artinya apa?" Aku tidak menyahut. Tidak ingin menduga-duga, tidak ingin berpikir, hanya ingin langsung tahu inti jawabannya. "Gelas dan piring Nisa dipisah."
[]