"Ayo!"
Aku tidak suka tatapan Alvian saat ini, juga caranya bicara padaku. Aku balik menatap Alvian, menepis tangannya, dan berjalan lebih dulu. Meninggalkan anak itu. Meninggalkan kemarahanku pada dua penggosip itu, juga pada Alvian.
"Bu, pesan nasi kuning sama satu air mineral dingin." Nafsu makanku hilang dan ini benar-benar menyebalkan.
"Kamu enggak makan?"
Alvian yang masih mengekor di belakangku, bertanya dengan wajah sok polos. Pikirannya setelah dia merusak moodku, aku masih bisa makan dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa? Dia benar-benar menyebalkan atau hobi bertingkah menyebalkan, sih!
"Lain kali jangan ikut campur urusanku!" Aku memberi ultimatum, mengabaikan pertanyaannya.
"Pikirmu aku baik-baik saja mendengar mereka bicara seperti itu? Aku juga marah, aku juga ingin ..."
"Bukan urusanku apa yang mau kamu lakukan!!" Suaraku meninggi tanpa kusadari. Alvian berusaha menjelaskan perasaannya, maksudnya, tapi aku tidak peduli. Aku masih marah, terlalu marah.
Kantin yang masih ramai, menghening seketika. Aku dan Alvian menjadi pusat perhatian untuk sesaat.
Siapa peduli!
Aku segera mengambil pesananku dan membayarnya. Ketika aku akan melewati Alvian untuk meninggalkannya, anak itu lagi-lagi menahanku. Tidak, lebih tepatnya menahan piring yang kubawa. Apa maksudnya ini? Aku sangat marah sekarang dan dia ingin berebut piring denganku? Ha, tidak masuk akal!
"Lepas!" kataku.
"Pikirmu akan seperti apa perasaan Nisa jika tahu kamu berkelahi dan diskors karena membelanya?" Alvian berkata datar. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak kalah menyebalkan.
Alvian benar, tapi aku tidak peduli. Maksudku, aku masih terlalu marah padanya jadi aku tidak akan menyetujui kata-katanya meski benar. Aku sudah akan pergi, tapi Alvian masih tidak juga melepaskan pegangannya dari piring yang aku bawa.
"Menghilang dari pandangan Nisa sampai emosimu mereda." Alvian berusaha menarik paksa piring yang ada di tanganku tapi aku tidak melepaskannya.
"Apa?!" Sepertinya aku salah dengar.
Enak saja dia mengusirku. Apa haknya?
"Kamu lupa semenyebalkan apa kamu saat marah? Aku enggak akan membiarkan Nisa terganggu dengan sifatmu yang menyebalkan." Alvian menekan kalimatnya.
Anak ini ...
"Aku baik-baik saja dan tahu harus bagaimana!" sengitku. "Bu, tambah gorengannya. Ini juga, sama ini." Aku beralih pada Ibu Kantin dan menambah dua makanan dalam mika kecil.
Diam-diam aku melirik pada kerumunan anak-anak yang masih memenuhi kursi-kursi kantin. Beberapa dari mereka masih memperhatikan. Satu-dua orang saling berbisik. Sementara yang terdekat bahkan sampai berusaha mencuri dengar pembicaraanku dan Alvian.
Setelah membayar semua tambahan yang kujadikan satu dalam piring gorengan, aku menyodorkannya pada Alvian "Bawa itu!" titahku kali ini lebih sok berkuasa. Berlalu lebih dulu.
Alvian tidak membalas. Dia tidak mengelak saat aku menyodorkan piring yang kubawa ke atas tangannya. Anak itu lebih penurut kali ini. Kurasa karena dia tahu tidak akan pernah bisa mengusirku.
'Aku enggak akan membiarkan Nisa terganggu dengan sifatmu yang menyebalkan,' kalimat Alvian barusan kembali mengiang di telingaku. Sebenarnya sedalam apa perasaan yang dia sebut, 'Bukan perasaan seperti itu.' Aku mulai bertanya-tanya dan semakin tidak nyaman.
Pada titik ini apa yang dilakukan Alvian jelas karena tidak ingin Nisa sedih. Meskipun secara tidak langsung Alvian juga tidak ingin aku diskors.
Aku tiba di kelas dan melihat si Guru Baru berbicara dengan Nisa. Untuk beberapa saat aku hanya memperhatikan keduanya dari pintu kelas, sampai Alvian datang dan melewatiku begitu saja seperti aku ini makhluk tak kasatmata.
"Pak," tegur Alvian sekenanya ketika berpapasan dengan si Guru Baru.
Guru Baru itu sudah menyelesaikan urusannya dengan Nisa dan berlalu pergi. Aku hanya menganggukkan kepalaku ketika pandangan kami bertemu. Tidak begitu yakin Guru Baru itu menyadari gerakan kepalaku, karena aku sendiri ragu apa tadi kepalaku benar-benar mengangguk.
"Sedang apa si Guru Baru?" tanyaku ketus. Alvian melempar lirikan mematikannya ke arahku. Aku pura-pura saja tidak tahu.
"Pak Fadh menawariku masuk ke tim atletiknya. Katanya ada pertandingan untuk minggu depan."
"M-"
"Jadi apa jawaban Nisa? Bukannya jadwal Nisa sudah terlalu sibuk dengan sekolah dan kerja paruh waktu?" Alvian si Kutu Busuk menyerobot kalimatku.
"Aku sudah bilang begitu, tapi kata Pak Fadh masih memintaku mempertimbangkan tawarannya," jelas Nisa.
"A-"
"Sebenarnya masuk tim atletik sangat bagus. Selain bisa menaikkan nilai juga berguna untuk pengembangan diri." Alvian menimpali lagi.
Sial! Alvian benar-benar tidak memberiku kesempatan berbicara walau satu patah kata pun. Aku membuka mika bihunku dengan kasar dan mulai makan lebih dulu. Nisa mungkin berpikir aku sedang kelaparan, karena dia melirikku dengan tatapan aneh. Aku berusaha tersenyum selebar mungkin dan dengan isyarat, menyuruhnya mulai makan juga. Takutnya Alvian tetap akan memotong kalimatku meski yang akan kukatakan hanya menyuruh Nisa mulai memakan nasinya.
"Sudah kutolak. Walau latihannya seminggu hanya tiga kali tapi aku benar-benar kesulitan mengatur waktu."
"Sayang sekali," ucap Alvian. Benar, sangat disayangkan Nisa tidak mengambil kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Tapi apa pun keputusannya aku pasti akan memberi dukungan penuh.
Nisa sudah memulai suapan pertamanya. Ketika Alvian akan mengambil gorengan di piring tidak jauh dari jangkauannya, aku mendahuluinya. Melihat dalam genggamannya hanya ada udara, aku tertawa puas hingga tersedak.
"Pelan-pelan." Nisa menyodorkan minuman padaku.
Alvian balik menertawakanku. Sial! Padahal baru saja berhasil membalas dendam.
"Menurutku, ada yang aneh dengan Guru Baru itu." Alvian berbicara dengan suara berbisik. Ia membuka topik pembicaraan baru.
"Benar, benar. Aku setuju!" Aku menanggapi dengan cepat, mengabaikan perselisihan kami untuk sementara. "Dari hari pertama dia masuk ke kelas, aku sudah enggak suka. Aneh, 'kan? Mungkin karena memang Guru Baru itu enggak seperti kelihatannya."
"Enggak seperti kelihatannya? Memangnya kelihatan seperti apa?" Nisa menatapku dan Alvian bergantian. Tampaknya di antara kami bertiga hanya Nisa yang terkecoh dengan penampilan Guru Baru yang terlihat seperti manusia baik-baik itu.
Alvian mengangkat kedua bahunya bersamaan, tanda tidak yakin. "Jangan-jangan … dia 'pembunuh itu'," Alvian lebih merendahkan suaranya. Nyaris tidak terdengar.
Pembunuh itu!
Siapa yang tidak tahu berita mengenai kasus pembunuhan di kota sebelah yang belum terselesaikan. Pembunuhan yang terjadi di bulan lalu itu diulas selama satu minggu penuh di berbagai stasiun televisi Nasional. Di negara ini, hanya orang-orang yang tinggal di pedalaman saja yang tidak mengetahui mengenai pembunuhan mengerikan itu.
Aku tidak menyangka Alvian akan mengarahkan pembicaraan sampai sejauh ini. Tiba-tiba bulu romaku meremang.
Pembunuhan itu memang terjadi di kota sebelah. Tapi justru karena di kota sebelah, kota yang teramat dekat dengan kota ini dibanding kota-kota lainnya, pelaku yang belum tertangkap itu bisa saja melarikan diri ke kota ini dan tengah membaur di antara masyarakat sebagai pendatang baru.
Melarikan diri-Ke kota lain-Pendatang baru. Bukankah poin-poin pentingnya cocok dengan profil Guru Baru itu. Bukannya waktu kepindahannya juga sangat tepat. Sepertinya, mulai hari ini aku harus menyelidiki latar belakang kehidupannya.
"Candaan yang enggak sopan, enggak lucu!" Nisa berujar serius.
Mendadak Alvian tergelak. Suara tawanya membahana, mendominasi suara-suara yang ada di dalam kelas.
Sial, aku ditipu! Nafsuku makanku benar-benar hilang sekarang.
[]