Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 13 - 05. Perkelahian

Chapter 13 - 05. Perkelahian

Bagi pria sejati, orang-orang yang mereka sayangi adalah harga diri tertingginya. Pun halnya bagi Ilyas Rasyid. Tentu saja dua orang yang telah membicarakan Nisa-nya dengan tidak hormat telah melukai dari banyak harga dirinya. Membiarkan saja kedua orang itu tanpa membalas, Ilyas tidak akan bisa.

Dan, di sinilah Ilyas sepulang sekolah. Menghadang Beni dan Arwan untuk memberi mereka pelajaran.

"Ayo, kita selesaikan masalah kita!" tandas Ilyas sembari melempar tasnya ke semak-semak dekat selokan.

Yang ditantang tentu saja tidak akan tinggal diam. Harga diri mereka dipertaruhkan. Disebut pecundang saja sudah mengesalkan. Entah gosip apa yang akan beredar jika mereka menolak tantangan Ilyas dan kabur. Dua lawan satu. Dilihat sekilas saja mereka jelas menang dalam segi jumlah. Jadi, tidak alasan untuk kabur.

"Kebetulan sekali, aku juga sedang kesal," jawab Arwan sembari tersenyum sinis.

Ilyas sendiri sadar dengan jumlah tidak menguntungkan yang harus dihadapinya, namun ia sama sekali tidak gentar. Yang menjadi masalah, Beni dan Arwan tidak tahu bahwa di SMP Ilyas adalah pembuat onar yang sangat suka berkelahi. Jelas berhadapan dengan lawan yang jumlahnya lebih banyak dari ini, Ilyas sudah lebih berpengalaman.

Perkelahian antar laki-laki itu tidak memakan banyak waktu seperti yang Ilyas perhitungkan. Ya, mungkin karena sejak awal Ilyas memang buruk dalam soal hitung-menghitung.

"Begini saja kemampuan kalian," kata Ilyas menyepelekan.

Pemenangnya bisa ditebak sejak awal. Adalah dia yang paling percaya diri melawan jumlah yang tidak seberapa. Meski seperti itu, bukan berarti wajah Ilyas bersih tanpa memar.

Ilyas memang si pembuat onar sebelumnya, tapi itu bidang yang digelutinya hanya sampai kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Ilyas telah pensiun dan cukup lama hidup damai tanpa mencari gara-gara dengan orang lain atau pamer kekuatan. Ia sudah puas dengan kehidupannya yang tenang.

Mendengar Nisa diceritakan dan dijelek-jelekkan memang bukan pertama kalinya bagi Ilyas. Dan selama ini Ilyas cukup pandai menahan diri. Hanya saja perkataan Beni dan Arwan sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Ilyas mengambil tas yang ia lempar terlalu jauh dan pergi dengan kelegaan yang luar biasa melegakan. Paling tidak amarahnya telah ia salurkan pada tempat yang memang harus menerimanya.

"Menghajar laki-laki yang hanya pandai mengandalkan mulutnya ternyata menyenangkan." Ilyas bersiul riang ketika pergi.

Begitu Ilyas tidak lagi terlihat, Alvian yang sudah lelah berjongkok di persembunyiannya akhirnya menampakkan diri.

Alvian sangat mengenal watak Ilyas. Jika harga diri Ilyas terusik, jangankan kata-kata, bahkan adu jotos sekalipun tidak akan membuat kemarahan dan niat membalas dalam hatinya pudar. Karena tahu persis akan hal itu, Alvian bisa tahu bagaimana temannya itu akan bertindak.

Sejak awal Alvian telah membuntuti Ilyas diam-diam. Ia ingin memeriksa dengan mata kepalanya sendiri sejauh mana perkiraan-perkiraannya benar mengenai watak teman yang tidak banyak berubah sejak Alvian mengenalnya pertama kali.

Kini, giliran Alvian.

Alvian berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Beni dan Arwan memang babak belur, tapi luka-luka keduanya tidak parah. Hanya berupa memar, sudut bibir pecah. Paling parah hidung Beni yang patah.

ketika Alvian mendekat, Arwan sedang terlentang sembari mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Sementara Beni terus-menerus mengaduhi hidung mancungnya yang berdarah. Alvian berdiri dengan angkuh, memamerkan senyum merendahkan. dan menatap tajam ke arah keduanya. Alvian menatap seperti melihat hama yang tidak mau berhenti berkeliaran.

"Apa lagi sekarang." Arwan membatin begitu bertemu mata dengan Alvian. Firasat buruk.

* * * * *

Ilyas sedang berada dalam kamar untuk mengobati memar ketika ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Om Sandy, adik dari ibunya.

"Halo, Om! Bagaimana? Sudah ada kabar baik?" Suara Ilyas yang ceria terdengar penuh harap.

Begitu sampai di rumah, Ilyas mengendap-endap masuk bak seorang maling di rumahnya sendiri. Jika orang tuanya tahu ia berkelahi lagi, entah berapa panjang kali lebar petuah yang harus didengarnya. Ditambah lagi ancaman-ancaman Ayah tentang masa depannya. Belum lagi adik perempuannya yang cerewet, tukang lapor, dan hobi melebih-lebihkan segala hal. Jadilah, Ilyas akan menjadi anggota keluarga yang tersisihkan selama satu minggu ke depan.

"Terima kasih, Om. Maaf merepotkan." Panggilan diputus.

Tubuh Ilyas merosot dari kursi yang didudukinya. Nada suaranya saat mengakhiri panggilan berubah berat dibanding ketika menerimanya. Ilyas pikir akan ada berita baik yang diterima, tidak tahunya semua berubah 360 derajat.

Tidak ada lagi niat untuk mengobati memarnya. Salep yang telah diambil dari lemari obat bahkan Ilyas tinggalkan begitu saja di meja belajar. Ia beranjak dan menjatuhkan diri di atas ranjang. Pandangannya lurus pada plafon kamarnya yang putih, bersih. Tangannya terlipat ke belakang sebagai bantalan untuk kepala. Ilyas sedang merenung. Perenungan yang sama, yang telah ia lakukan berkali-kali.

Lagi, perenungan Ilyas membawanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah sering ia tanyakan pada dirinya sendiri. Ilyas tahu pasti jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Ia sudah mengkhatamkannya berkali-kali. Tapi, semakin ia menyelami pikirannya sendiri, semakin ia merasa ragu dengan dirinya.

"Apa ini cukup?"

"Apa benar begini saja cukup?"

Benak Ilyas bertanya-tanya. Jika sudah cukup puas dengan keberadaannya untuk Nisa, seharusnya Ilyas tidak lagi bertanya-tanya, tidak perlu meragukan dirinya. Tapi ia tidak bisa. Tidak bisa hanya menerima keputusan Nisa dan mendukungnya 100 persen.

"Aku enggak apa-apa. Benar-benar enggak apa-apa. Ini bukan masalah." Kalimat khas Nisa berbisik lembut di telinga Ilyas. Kalimat yang kali ini terdengar diucapkan untuk memberi kekuatan pada diri sendiri dan bukan untuk menenangkan orang lain.

Ilyas memejamkan matanya, kembali berpikir.

Om Sandy adalah salah satu pegawai pemerintahan yang bekerja di Lembaga Kemasyarakatan. Meski telah menikah selama 5 tahun, Om Sandy lambat mendapat momongan. Sering dibawa ibunya berkunjung ke rumah sanak keluarga, om dan keponakan itu pun menjadi dekat.

Faktor kedekatan itu yang Ilyas manfaatkan untuk meminta tolong dan merahasiakan permintaan tolongnya dari Ayah dan Ibu. Ilyas meminta tolong untuk menguruskan dana bantuan yang mungkin bisa Nisa dapatkan sebagai yatim piatu.

Om Sandy memenuhi permintaan tolong Ilyas.

Nisa memang berhak mendapat bantuan terkait status dan kondisinya. Ketua RT pun setuju untuk memberi rekomendasi. Semua berjalan dengan lancar dan hanya perlu menunggu Nisa melengkapi beberapa berkas administrasi dan dana bantuan akan cair setiap bulan.

"Maaf, Pak saya enggak pernah mengajukan diri sebagai permintaan Dana Bantuan ini," kata Nisa ketika seorang petugas datang ke rumahnya untuk melakukan survei.

"Ini rekomendasi dari RT. Kalau ada yang kurang jelas atau mau ditanyakan silakan ditanyakan."

Nisa diam sesaat. Berpikir. "Takutnya mungkin salah sasaran. Untuk saat ini saya masih baik-baik saja. Terima kasih."

Hanya tinggal melengkapi beberapa berkas, tapi Nisa membatalkan bantuan yang diajukan untuknya.

Sejak awal Nisa memang tidak tahu. Ilyas melakukannya diam-diam dan seandainya pun tahu Nisa pasti akan menolaknya. Karena memang seperti itulah Nisa.

Sebelum ini pun Ilyas pernah mencoba membantu Nisa untuk masalah finansial.

Ilyas pernah mencoba bekerja seperti apa yang Nisa lakukan. Saat itu Nisa tidak setuju dan meminta Ilyas untuk segera mengundurkan diri. Nilai-nilai pelajaran Ilyas saat sedang tidak bekerja saja mengkhawatirkan, bagaimana jadinya kalau waktunya banyak teralihkan pada pekerjaan. Bisa-bisa Ilyas tidak naik kelas.

Yang paling ekstrem, keinginan untuk berhenti sekolah bahkan pernah Ilyas pikirkan. Tapi, melihat Nisa yang menggenggam erat-erat gunting yang ada di meja, buru-buru Ilyas mengurungkan pemikiran konyolnya. Jangankan Nisa, keluarganya pun akan mengamuk dan melakukan tindakan paling frontal seperti mencoret nama Ilyas Rasyid dari daftar dalam kartu keluarga.

Untuk masalah pendidikan, keluarga Rasyid memang tidak pernah main-main. Pendidikan adalah prioritas paling penting yang tidak boleh ditawar.

[]