Sebagai seorang laki-laki, meski belum dalam usia dewasa, Ilyas bisa saja membuat keputusan dan bertanggung jawab pada keputusan yang sudah diambilnya. Tapi jika keputusan yang akan diambilnya tidak bisa diterima oleh semua orang dan membuat ibu sedih karena terus kepikiran, untuk siapa sebenarnya keputusannya ia ambil. Untuk keegoisannya semata ataukah untuk Nisa yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa menerimanya.
Ilyas pernah membuat ibunya masuk rumah sakit karena pilihan dan sikap keras kepalanya yang susah diatur. Saat itu Ilyas benar-benar menyesal, merasa bersalah. Alasan itulah yang kemudian memaksanya berubah.
Anak laki-laki biasanya sedikit cuek pada ibu mereka, jarang memperlihatkan perhatiannya. Apalagi di usia yang memang suka membuat rusuh. Ilyas juga cuek. Jadi yang dilakukannya tidak lain adalah sembunyi-sembunyi patuh. Memasang ekspresi tidak peduli dan diam-diam menjadi anak baik. Berhenti berbuat onar, berhenti berkelahi.
Ilyas lelah berpikir dan membuka matanya. Ia terkejut setengah mati mendapati wajah siapa yang menatap balik ke arahnya. Ilyas melompat dan jatuh dari ranjang.
"Nur!!!"
Ilyas dan adik perempuannya sama-sama menjerit karena sama-sama terkejut. Nur yang mengira kakaknya tidur terkejut karena tiba-tiba matanya terbuka. Ilyas juga terkejut karena seharusnya ia hanya berada di kamar seorang diri. Tidak tahu kapan adiknya diam-diam menyelinap masuk.
"Kamu ngapain di sini? Kenapa bisa masuk?" Ilyas melontarkan pertanyaan berturut-turut. Masih terkejut, tidak terima.
"Orang pintunya enggak dikunci, kok." Nur memberikan jawaban yang tetap tidak bisa Ilyas terima.
Bagi Ilyas, meskipun pintunya tidak dikunci, orang lain tetap tidak berhak keluar-masuk kamarnya sesuka hati. Apalagi saat ia berusaha menyembunyikan diri.
"Sial! Pintunya pasti lupa kukunci sewaktu mengambil balsem di kotak obat tadi " Ilyas memaki dirinya sendiri.
"Loh, mukanya Mas kenapa?" Nur menunjuk wajah Ilyas yang memar. "Jangan-jangan Mas habis ..."
"Cerewet, aku mau keluar!" Ilyas memotong kalimat adiknya dengan cepat. Ia meraih jaket dan kunci motor kemudian kabur. Tujuannya jelas, menemui Nisa di tempatnya bekerja.
Memikirkan semuanya sendiri membuat kepala Ilyas penuh. Ia harus berbicara dengan Nisa dan mendengarkan jawabannya. Memastikannya sendiri apa yang sebenarnya diinginkan gadisnya itu.
Ilyas memacu motornya dengan kecepatan tinggi, melewati tikungan tajam. Jalan sangat padat jadi ia tidak bisa menerobos lampu merah. Tidak juga berencana untuk melakukannya. Ilyas tidak memiliki daftar keinginan untuk mati muda. Seandainya pun ia benar-benar mati hari ini dan karena kecelakaan, ia pasti akan mati penasaran.
Begitu sampai, Ilyas langsung mengirim pesan dan baru mendapatkan balasan 10 menit kemudian.
Nisa keluar dari toko dengan senyum semringah. Senyum yang membuat Ilyas ragu untuk beberapa saat. Jelas, pembicaraan yang akan terjadi pasti akan berakhir dengan perdebatan.
"Tumben," kata Nisa dan hanya ditanggapi dengan senyum oleh Ilyas.
"Sebenarnya ... aku mau tahu alasan Nisa menolak bantuan itu." Tidak ingin goyah dengan tujuan kedatangannya, Ilyas langsung masuk pada inti pembicaraan.
"Apa?"
"Bantuan itu, kenapa Nisa tolak? Bukannya tinggal melengkapi persyaratan administrasi?"
"Ah, itu ..." Nisa masih menjaga agar senyumnya tetap terjaga. "Kupikir untuk sekarang aku masih baik-baik saja. Aku masih muda, bisa bekerja. Lagi pula Pemerintah sudah menanggung biaya sekolahku."
"Sungguh karena itu? Bukan karena menerima bantuan membuat harga diri Nisa terluka?"
Deg! Senyum di bibir Nisa mulai memudar. "Ilyas ..."
"Aku tahu kehidupanmu berat ..."
'Hentikan! Ini justru akan menyakiti Nisa.' Bagian lain dari diri Ilyas mengingatkan.
" ... ditinggal seorang diri, harus memenuhi semua kebutuhan sendiri."
'Berhenti!'
"Kalau begitu berat kenapa harus menahannya untuk dirimu sendiri. Kenapa menolak bantuan yang ditawarkan? Apa harga diri Nisa di atas segalanya ..."
'Berhenti!'
" ... Apa menerima bantuan berarti berhenti memperlihatkan pada dunia bahwa Nisa kuat? Apa Nisa hanya sebatas ingin dianggap keren? Dianggap mandiri?"
'Kumohon berhenti!'
" ... Apa yang orang lain pikirkan jauh lebih penting?"
Ilyas menelan ludahnya. Perkataan yang tidak ingin ia ucapkan telah tersampaikan. Semuanya. Kemudian ia menyesal.
"Ilyas tahu, 'kan semua itu enggak benar." Nisa menahan suaranya yang bergetar.
Nisa yakin Ilyas tahu segala yang Ilyas ucapkan bukanlah tentang dirinya. Ia tidak seperti itu. Meski begitu, tetap saja kata-kata Ilyas telah menohoknya begitu dalam. Nisa kecewa, merasa sedih.
Ilyas menatap tepat ke dalam mata Nisa yang terluka oleh tuduhan jahatnya. Ia pun terluka.
"Pernah enggak Nisa berpikir apa arti hubungan kita?" Dibanding mengakhiri pembicaraan dengan kata 'maaf,' Ilyas tetap melanjutkan apa yang telah ia mulai. "Nisa terus saja menolak bantuanku, menolak menceritakan segala dukamu. Kita enggak pernah punya banyak waktu luang meski itu di hari libur. Selalu enggak ada waktu untuk memamerkanmu di depan teman-temanku. Kita enggak pernah berteleponan lebih dari 10 menit. Nisa selalu lambat membalas chat-chatku. Selama ini, apa hanya aku yang merasa antusias dengan hubungan kita? Apa ... selama ini aku masih bertepuk sebelah tangan?"
Nisa hanya menggeleng. Ia tertegun dengan semua kata-kata yang Ilyas katakan. Selama ini Nisa pikir mereka baik-baik saja. Tidak tahu bahwa ia sedang menyemai kerikil tajam dalam hubungan yang mereka jalani.
Apa menjadi mandiri itu salah? Apa ingin menjadi kuat salah?
"Aku sering berpikir, meyakinkan diriku sendiri, enggak apa asal aku berada di sisi Nisa. Enggak apa asal aku bisa membuat Nisa tertawa. Enggak apa-apa, itu sudah cukup. Tapi, ketika aku berpikir lagi, aku ingin kehadiranku lebih dari itu. Sebagai laki-laki aku ingin dibutuhkan lebih dari yang sudah-sudah. Aku ingin bisa diandalkan."
Satu persatu pembeli mulai memasuki toko, perhatian Nisa pun mulai teralihkan.
"Terkadang aku ragu, seperti apa perasaanmu sebenarnya. Meski Nisa selalu tersenyum saat bersamaku, memasang wajah ceria. Apa Nisa pernah merindukanku sebanyak aku merindukannya."
Nisa melirik ke dalam toko, semakin tidak fokus pada masalah mereka.
"Meski bertemu di kelas setiap hari. Meski selalu ada kesempatan untuk berbicara berdua, dan meski," Ilyas menekan kata terakhirnya "Kamu berdiri tepat di depanku saat ini, aku merasa kamu berada di ujung Samudera yang enggak mampu kugapai sebanyak apa pun usahaku."
"Ilyas … maaf," Nisa menyela tepat ketika Ilyas mengambil jeda dalam kalimatnya. "Sepertinya aku sudah harus kembali bekerja."
Nisa merusak momennya.
Ilyas merasa tertohok lebih dari yang telah Nisa rasakan. Semua kalimat yang sudah Ilyas ucapkan, kata per kata yang susah payah dirangkainya, semua terkalahkan oleh satu kalimat Nisa. 'Aku sudah harus kembali bekerja.'
Ilyas menghela napas dan tersenyum kecut. Tiba-tiba saja ia merasa telah mencapai titik terlelahnya. Ia berbalik akan pergi, tapi tatapannya bertemu pandang dengan seseorang yang dikenalnya. Fadh Ainurahman.
Tidak, orang itu tidak menatapnya melainkan menatap orang lain yang berada di balik punggung Ilyas. Nisa. Ilyas berbalik dan menatap Nisa yang hendak kembali bekerja.
"Guru Baru itu, sejak kapan berdiri di sudut dekat ayunan?" Ilyas bertanya pada dirinya sendiri.
[]