Aku selalu suka saat-saat mengantar Nisa pulang dari tempanya bekerja. Langkah-langkah kecil kami, pembicaraan singkat kami, jalan setapak yang kami lewati, semua menjadi lebih menyenangkan jika bersama orang yang tepat.
"Aku juga suka," kata Nisa malu-malu ketika aku mengatakan isi pikiranku.
Jika Nisa masuk sore, aku akan mengantarnya ke rumah sepulang dari tempat kerja. Jika masuk malam, aku akan menjemputnya dari rumah. Aku memang tidak bisa selalu ada dan mengawal Nisa, justru karena itulah kebersamaan kami yang singkat menjadi semakin istimewa.
Aku selalu datang 10-15 menit lebih cepat dan memarkir motorku depan ayunan tempat Nisa bekerja. Sebenarnya aku bisa saja mengantar dan menjemput Nisa menggunakan motor. Ada jalur berbeda yang bisa dilewati dan jaraknya juga lebih dekat. Tapi bagiku, berjalan kaki jauh lebih romantis. Kami bisa berjalan beriringan, melihat bulan, saling bertukar cerita, saling mendengarkan, dan tertawa.
"Romantis dari Jonggol! Nisa baru pulang kerja, kamu enggak berpikir dia capai, ingin cepat sampai di rumah, dan istirahat?" sengit Alvian ketika aku mengatakan apa yang aku pikirkan.
"Tahu apa kamu! Nisa bilang dia juga suka," kataku menyombong. lebih tepatnya pamer.
Benar. Si Kutu Buku Mata Empat itu mana mengerti romantisme dalam sebuah hubungan.
Hah ... Kenapa tadi aku bisa sekesal itu hanya karena Nisa batal datang ke pertandinganku. Padahal ini bukan yang pertama dan selama ini aku selalu bisa mengerti. Harusnya aku memang bisa lebih mengerti. Nisa sedang berjuang untuk hidupnya jadi aku harus memberi dukungan penuh. Harusnya aku bisa sedikit bijaksana dan lebih dewasa.
"Kita, 'kan memang belum dewasa."
Nada yang ceria, senyumnya yang manis, Nisa membuatku merasa bersalah. Tapi di satu sisi kata-katanya mampu membuat perasaanku lebih baik.
Ternyata menjadi dewasa itu enggak mudah.
Alvian, aku nyaris tidak bisa melupakan sikap anak itu hari ini. Si Mata Empat itu menguping ketika aku dan Nisa berteleponan. Begitu mendengar kalimat yang kuucapkan pada Nisa, ekspresinya berubah dingin padaku.
"Bukannya kamu tahu kondisi Nisa? Bukannya kamu bilang akan menerima dia dengan segala situasinya?!"
"Aku terima. Aku ..."
Alvian pergi begitu saja sebelum aku selesai menjelaskan.
Dia sebenarnya teman siapa, sih. Yang dekat dengannya sejak kecil, aku atau Nisa. Bukannya aku mau bilang berteman dari kecil itu istimewa, tapi jika aku salah, dia bisa menegur dengan baik-baik. Toh, aku bukan anak berkepala batu. Toh, pertengkaranku dan Nisa bukan pertengkaran besar.
Jangan-jangan, selama ini dugaanku benar.
Omong-omong, itu dia si Kutu Buku bermata empat. Sedang apa anak itu di sini?
Aku yang baru sampai ke tempat motorku terparkir setelah mengantar Nisa, melihat Alvian berbicara dengan seseorang di seberang jalan. Di depan warung nasi goreng. Sepertinya aku mengenal orang itu. Ah, orang yang berbicara dengan Alvian adalah si Guru Baru.
Aku menyeberang untuk menghampiri keduanya. Tapi sebelum aku sampai, Guru Baru itu telah pergi.
"Itu Guru Baru kita, 'kan?" tanyaku pada Alvian ketika anak itu telah menyadari keberadaanku.
Alvian hanya mengangguk. "Baru dari mengantar Nisa?" tambahnya balik bertanya.
Aku juga menjawabnya dengan anggukan. "Sedang apa kamu di sini?" tanyaku menyelidik.
"Beli makan." Kalo itu aku bisa lihat. Maksudku, apa kamu harus beli makan di sini. Aku ingin bertanya seperti itu, tapi kembali kutelan kata-kataku karena Alvian kembali menyambung kalimatnya. "Mumpung kamu di sini, aku mau menumpang di rumahmu."
"Lagi? Kamu kabur dari rumah lagi?!"
"Sembarangan! Siapa yang kabur dari rumah?"
Memang benar, sih. Anak yang kabur biasanya akan pergi dari rumah diam-diam dan orang tua tidak akan tahu keberadaannya. Berbeda dengan Alvian. Alvian akan izin jika tidak pulang dan ibunya akan langsung tahu anaknya berada di mana karena satu-satunya teman dekat Alvian adalah aku. Tapi, bagi seseorang kutu buku bermata empat, anak rumahan yang hobi bersembunyi di dalam kamar, apa lagi nama kelakuan ini kalau bukan kabur.
Tunggu, tunggu! Bukannya tadi Alvian marah padaku karena memulai pertengkaran dengan Nisa. Bukannya tadi Alvian memandang sinis nan rendah ke arahku. Dan sekarang dengan mudahnya, tanpa rasa bersalah, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dia bilang mau menumpang di rumahku. Tanpa berpikir untuk meminta maaf atau merasa canggung setelah memperlakukanku sebagai penjahat.
Hebat! Anak ini sebenarnya tidak tahu malu atau berkepribadian ganda, sih!
"Enggak, enggak. Cari tempat lain saja! Rumahku bukan tempat penampungan."
Aku bertekad tidak akan membiarkannya berlaku seenaknya. Tidak akan. Aku bersumpah!
"Yakin?" Alvian menatapku dengan pandangan licik.
Tapi ... aku tahu tidak baik berbuat terlalu keras pada teman masa kecil. Aku tahu tidak baik mengusirnya pergi ketika dia tidak memiliki tempat lain untuk dituju. Aku tahu aku tidak begitu jahat untuk bisa menelantarkan Alvian Putra dan membiarkannya berkeliaran di jalan sepanjang malam.
"Kenapa kamu selalu membiarkan kamarmu penuh sampah seperti ini!"
"Sembarangan! Ini bukan sampah tapi bajuku." Aku menimpali kesal.
Ujung-ujungnya aku menampungnya.
Kalimat pertama yang Alvian katakan setelah aku sedikit melunakkan hatiku untuk menerimanya benar-benar keterlaluan. Seharusnya aku tidak menerimanya sejak awal. Walaupun PR matematikaku belum selesai dan aku sangat membutuhkan bantuan otak Geniusnya.
Alvian sedang memperhatikan setiap bagian dari kamarku sementara aku mengambil buku Matematika.
Alvian selalu seperti itu. Bertingkah seperti orang yang baru pertama kali masuk ke kamarku. Atau mungkin saja dia hanya menghitung jumlah perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan saat terakhir dia menumpang tidur.
Tatapan Alvian berhenti pada pigura foto Nisa di atas meja belajarku. Hal yang sama, yang juga selalu dilakukannya ketika masuk ke kamarku. Ini membuatku kesal. Membayangkan teman baikku diam-diam menginginkan Nisa.
"Alvian," aku menyebut namanya sembari memunggunginya. Aku duduk di lantai dan menghambur buku-bukuku selagi Avian masih hanya berdiri melihat-lihat. Belum puas mengamati setiap sudut kamarku. "Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu padaku jika menyangkut Nisa?"
Hening. Tidak terdengar jawaban apa pun.
Aku masih membelakangi Alvian. Aku yakin saat ini tatapannya pasti sedang terarah padaku.
Aku menoleh pada Alvian. Ah, sial! Dugaanku salah. Di banding menatapku dia justru lebih tertarik memperhatikan rak buku yang kutata sembarangan.
"Bersikap seperti itu?" Alvian balik bertanya. Berpura-pura tidak mengerti.
"Seperti tadi."
"Seperti apa?" tanya Alvian lagi semakin membuatku kesal.
Aku menghela nafas, tidak ingin melanjutkan pembahasan itu. Tapi hal ini harus diperjelas jadi aku mengalihkan pada pertanyaan lain.
"Kenapa tadi kamu membeli makanan di depan tempat Nisa bekerja? Bukannya tempatnya cukup jauh dari rumahmu. Apa karena kami bertengkar dan kamu ingin memastikan sendiri akan berakhir seperti apa pertengkaran kami?" Aku berbicara dengan nada serius. Karena aku serius, kuharap Alvian juga menanggapinya dengan serius.
"Apa ... kamu pernah menganggapku sebagai ancaman? Apa kamu sedang berpikir kalau aku akan merebut milikmu?" Alvian membalas tuduhanku dengan balik menuduhku.
"Nisa bukan milikku atau milik siapa pun. Nisa bukan barang!" tandasku tidak setuju dengan cara Alvian berbicara tentang Nisa. Aku menatapnya tajam.
[]