Malam ini orang yang menyambut Nisa di jam pulang adalah orang yang berbeda. Senyum yang berbeda, cara bicara yang berbeda, basa-basi yang berbeda. Berbeda, semuanya.
Semua yang ada pada orang itu sangat berbeda. Senyumnya memang bersahabat, cara bicaranya ramah, basa-basinya menyenangkan, tapi tetap saja tatapan Nisa masih mencari-cari. Mencari orang yang sama seperti yang selama ini selalu menjemput dan mengantarnya pulang. Orang yang sore tadi datang menemuinya dan mereka terlibat perdebatan yang belum diselesaikan.
"Jangan cari lagi! Ilyas enggak akan datang." Kalimat Alvian semakin meyakinkan Nisa kalau Ilyas memang tidak akan datang.
Sebenarnya Nisa tahu. Ia hanya ingin membohongi dirinya sendiri. Hanya ingin tetap berharap. Tidak ingin terlihat kecewa, Nisa berusaha menyembunyikan perasaannya dengan baik.
Tidak bisa sepenuhnya tersembunyi di mata Alvian. Alvian tetap mampu membacanya. Gerakan bola mata Nisa yang terus mencari-cari sampai di kejauhan, ekspresi wajah yang tidak berseri seperti malam-malam sebelumnya, Alvian bisa melihatnya dengan jelas. Dan itu membuatnya menyadari kekosongan dalam jiwanya.
"Bisa enggak Nisa berhenti mencari-cari orang itu untuk hari ini?"
"Apa?" Nisa tidak yakin dengan apa yang baru dia dengar.
"Enggak bisa, ya? Ilyas juga pasti sama. Malam ini anak itu juga pasti sedang mencari-cari." Alvian mampu menguasai perasaan dan menyembunyikan debar-debar yang menghinggapi dadanya lebih ahli dari siapa pun di dunia ini. Nisa bahkan sampai mengira bahwa ia salah dengar.
Melewati jalan yang sama, tangga yang sama, setapak yang sama, bahkan di bawah langit yang sama, di waktu yang sama, namun dengan orang yang berbeda rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Nisa berhenti melangkah untuk beberapa saat dan mendongak ke ketinggian di atas sana. Berharap Ilyas saat ini menatap bulan yang ia tatap.
"Apa Nisa pernah merindukanku sebanyak aku merindukannya." Nisa teringat satu kalimat dari banyak kata-kata Ilyas yang ia sampaikan sore tadi.
"Memangnya sebanyak apa kamu pernah merindukanku?" Nisa kembali melangkah ketika melihat langkah Alvian ikut berhenti. "Karena saat ini aku begitu merindukanmu," gumamnya.
"Kenapa?" tanya Alvian yang lagi-lagi menyadari wajah muram Nisa.
Nisa hanya menggeleng. Ia mempercepat langkahnya untuk mengejar Alvian yang sudah berada di depan. Kembali menyejajarkan langkahnya. "Oh iya, tadi aku lihat ada memar di wajah Ilyas. Seperti habis ..."
"Karena jatuh, katanya." Alvian menimpali sebelum kalimat Nisa selesai diucapkan.
"Jatuh?"
"Dia memang bukan ahlinya menyembunyikan sesuatu, jadi seharusnya enggak perlu sampai bohong. Bikin orang lain khawatir saja," ujar Alvian menambahkan.
"Masalah besar bukan, ya?"
"Sepertinya bukan, karena tadi Ilyas masih bisa teriak-teriak seperti biasanya." Jawaban Alvian membuat Nisa merasa lega. Paling tidak satu kekhawatirannya tidak terbukti. Paling tidak Ilyas masih baik-baik saja.
Tidak ada gelak tawa dan suara bercerita penuh semangat. Pembicaraan mereka hanya berulang pada pekerjaan Nisa dan sekolah. Sesekali Nisa kembali bertanya mengenai Ilyas. Alvian sama sekali tidak menceritakan tentang dirinya. Bagi Nisa, Alvian yang begitu tertutup terasa jauh dan misterius. Meskipun mereka telah berteman dekat, Nisa tetap tidak bisa menebak perasaan laki-laki itu.
"Lain kali enggak perlu repot-repot mengantar pulang. Aku bisa pulang sendiri, kok dan baik-baik saja," kata Nisa begitu sampai di rumah.
Alvian menghela napas, memperbaiki letak kacamatanya, dan menanggapi kalimat Nisa dengan anggukan pelan. "Selamat malam," tambahnya pamit.
"Selamat malam," balas Nisa. "Terima kasih."
Rumah bercat hijau yang setia menunggu kedatangan tuan rumahnya, menyambut dengan keheningan yang sama seperti semua hari selama ini. Nisa meletakkan tasnya dalam kamar, mengisi daya untuk ponselnya yang sudah mati sejak beberapa jam lalu, dan memasak seadanya untuk makan malam. Tidak perlu makan malam yang beragam dan nikmat. Cukup yang bisa menghilangkan rasa lapar. Semua dikerjakannya perlahan, tahap demi tahap.
Seperti kebiasaannya, Nisa makan dengan lahap. Seperti tidak mengambil jeda untuk menyesapi rasa demi rasa kenikmatan dari masakannya. Hanya mengunyah, kemudian menelan. Begitu seterusnya sampai nasi dan lauk tidak tersisa lagi di atas piring.
Begitu selesai, piring dan peralatan masaknya ia cuci. Nisa tidak pernah menumpuk pekerjaan untuk dikerjakan di hari lain. Kehilangan seperti membuatnya tidak begitu yakin apakah hari lain itu benar-benar ada.
Dalam kamar, Nisa memeriksa ponselnya. Ada satu pesan dari Ilyas.
'Ayo kita putus.'
Nisa menahan napas. Waktu seperti berhenti berputar untuk beberapa saat. Ponsel dalam genggamannya yang longgar merosot dan jatuh.
"Apa yang barusan?" Nisa mengerjapkan matanya, tidak begitu yakin dengan apa yang baru ia baca. Ia mengambil ponselnya yang terjatuh dan membaca sekali lagi.
'Ayo kita putus.' Hanya ada tiga kata, seharusnya tidak perlu waktu terlalu lama untuk mengartikan maknanya. Tapi mendadak Nisa begitu lambat menerima respons yang diantarkan syaraf dari otaknya.
"Apa ini? Kenapa jadi begini?" tanyanya pada diri sendiri.
Meski merasa sedih, air mata Nisa tetap tidak mau keluar. Jadi yang dilakukannya adalah mengeluarkan suara tangis, dan menjejal-jejalkan kakinya. Berguling ke sana-kemari di atas ranjang seperti anak kecil.
Sekali lagi, Nisa memeriksa pesan yang diterimanya. Barangkali ada yang salah. Barangkali ia berhalusinasi. Tidak ada yang berubah. Bahkan tidak satu huruf pun. Waktu pengiriman tiga jam yang lalu.
"Bagaimana ini? Aku enggak pernah berpikir sama sekali untuk putus. Jangan-jangan Ilyas marah karena aku menolak bantuan itu. Harusnya aku memikirkan posisinya, memikirkan perasaannya. Kalau aku jadi Ilyas, aku juga pasti ingin keberadaanku lebih dibutuhkan. Atau jangan-jangan Ilyas marah karena aku menyela kalimatnya karena harus kembali bekerja." Nisa sibuk berbicara sendiri. Menduga-duga. "Oh iya, aku harus cepat membalas pesannya."
Nisa mulai mengetik. 'Aku enggak mau putus ...' Terlalu kekanakan. Dihapus.
'Jangan putus!' Terlalu otoriter. Dihapus.
'Jangan seperti ini ...' Terasa murahan. Dihapus.
'Maaf aku baru membaca pesan Ilyas, aku enggak menyangka kalau ...' Terlalu basa-basi. Dihapus.
Jari Nisa berhenti mengetik, otaknya berpikir keras, berusaha menemukan kalimat terbaik yang bisa mewakili apa yang ia rasakan. Satu menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Dan tetap belum ada hasil yang didapat. Kenapa otak yang biasanya lancar mengerjakan tugas sekolah, menjadi tidak berguna saat krisis seperti ini.
"Aku enggak tahu lagi ..."
Nisa putus asa, melempar ponselnya, dan membenamkan wajahnya di balik bantal. Ponsel yang Nisa lempar tanpa ia sadari terpental dari ranjang ke tembok dan jatuh ke lantai. Terpisah dari baterainya.
Suara ponsel yang jatuh ke lantai membuat Nisa bangun seketika. Memeriksa.
Ponsel Nisa sudah cukup tua dan sudah terlalu sering jatuh. Terakhir kali ponselnya meluncur bebas dan masuk kloset. Beruntung ponsel yang dalam iklannya mengutamakan kekuatan material pendukung itu masih berumur panjang. Tapi kali ini ...
"A-aduh, kenapa ini? Kenapa enggak mau hidup?" Nisa menekan mode On berkali-kali namun layar ponselnya tetap gelap. Sekali lagi, dan sekali lagi Tetap tidak ada tanda-tanda perubahan sedikit pun. "Selesai sudah. Selesai," desisnya sembari menahan tangis.
[]