Chereads / Isekai Dungeon / Chapter 32 - Tentang Janji

Chapter 32 - Tentang Janji

Setelah kejadian itu, aku mulai merawat gadis itu. Meskipun ia mengalami banyak tekanan di jiwanya, aku mencoba yang terbaik untuk kesembuhannya.

Berselang dua hari, aku membawanya ke taman dan membuatnya bersantai, selama beberapa hari ini ia hanya terdiam terkadang ingin keluar dari tempat ini, seperti ada rasa takut yang cukup mengganggunya.

"Siapa namamu?"

Beberapa hari lalu aku hanya menenangkannya, jadi sekarang aku mulai melangkah untuk membuatnya mendapatkan obrolan normal.

"Kenapa ... kau ... bertanya ..."

Nada bicaranya begitu lamban dan pelan, seseorang mungkin takkan mendengarnya begitu jelas.

"Supaya aku bisa memanggilmu dengan mudah," jawabku.

"Kembalikan ..."

Nadanya lemah, wajahnya sedari tadi menatap ke bawah, itu menandakan ia masih begitu sakit, "Kembalikan saja ..."

"Jangan khawatir kau disini akan baik-baik saja."

Luka-luka fisiknya mungkin telah sembuh, penampilannya tidak lagi lusuh, namun tatapannya masih terlihat kosong. Aku tahu atas penyiksaan yang begitu lama yang ia alami takkan sembuh dengan mudah.

"Apa tujuanmu?"

"Tentu saja, menyelamatkanmu, jangan khawatir kami akan melindungimu, kau tak perlu merasakan hal-hal yang menyakitkan itu lagi."

Ia memeluk tubuhnya sendiri, ia tiba-tiba menangis, aku hanya bisa merasakan rasa iba yang begitu mendalam.

"Kalian sangat terlambat! Kenapa hanya aku yang selamat! Kenapa tidak kalian bunuh saja aku!" Teriaknya.

"Untuk sekarang, hanya itu yang bisa kami lakukan, kami pasti akan berusaha menyelamatkan yang lain."

"Omong kosong!" bentaknya.

Emosinya semakin tak terkendali, "Kalian hanya mencoba menenangkanku, mencoba memberi harapan palsu!"

Aku bisa melihat keputusasaannya yang amat kuat, segala sesuatu yang kuucapkan berakhir dengan lontaran kata pesimisnya.

Benar kata Tirta, menyelamatkan seseorang butuh tenaga dan waktu yang ekstra. Meski kita berhasil menyelamatkan seseorang dari ancaman, namun trauma hidupnya akan terus berakar dan menghantui alam pikirnya.

"Mungkin itu omong kosong untuk sekarang, tapi bukan berarti itu akan jadi omong kosong selamanya."

Ia diam setelah mendengar perkataanku, aku tahu ini takkan bisa dilakukan secara instan, "Kau juga berhak memiliki kehidupan yang lebih baik, jangan terlalu menyalahkan dirimu."

Setelahnya aku pergi, memberinya ruang untuk mencerna pikirannya. Mungkin ini sedikit sulit, tapi karena aku sudah mengambil pilihan aku akan membawanya kepada kehidupan yang lebih baik baginya, sehingga ia tak menyesal.

***

"Mikka?" panggil Tirta yang keluar dari pintu ruangan saat aku sedang berjalan membersihkan beberapa tempat.

"Ada apa?"

Ia melambaikan tangannya menyuruhku untuk masuk ke ruangan perpustakaan. Kami kembali berhadapan sembari duduk, ini sudah seperti ruang pribadi kami untuk mengobrol.

"Mikka, aku ingin kau berjaga disini."

"Kau ingin pergi dari sini lagi?"

"Ya, aku sudah janji pada mereka."

Aku baru ingat, ia membuat kesepakatan dengan Lina dan yang lainnya untuk mengembalikan ke dunianya lagi.

"Jadi, hanya sampai disini kita bekerjasama."

"Itu benar, kau terlihat bersedih?"

Bagaimana tidak, tempat ini akan terlihat sepi kembali, tapi cukup egois bila memaksa mereka di dunia yang kacau seperti ini.

"Aku pikir mereka akan membantu kita lebih lama."

"Mereka punya kehidupannya sendiri."

"Aku mengerti."

Beberapa saat ia kemudian memegang tanganku dengan hangat.

"Apa? ..."

Bibirnya melengkung ke atas, tatapannya seperti mengisyaratkan banyak makna. Ini membuatku gugup, ia lalu mulai berkata, "Tolong jaga dia dan tempat ini selama kami pergi."

"Tentu saja, aku pikir kau akan mengatakan apa?"

Itu cukup membuat detak jantungku sedikit tak beraturan. Tingkahnya memang suka tak terduga, itu sisi menariknya namun juga terkadang menjadi sisi menyebalkan.

"Memangnya, aku mengatakan apa dalam pikiranmu?"

"Kau sudah pasti mengerti soal ini."

Aku memalingkan wajah, aku tak berani melihat raut kepolosan yang ia tampakkan di pandanganku. Seharusnya ia cukup bilang aku mengerti, itu saja.

"Kau pikir aku mengetahui segalanya? katakan saja agar tak terjadi salah paham."

Ia mendekatkan wajahnya ke arahku, itu terlalu dekat sehingga membuatku menjauhkan wajahku. Sepertinya ia akan mulai lagi dengan kejahilannya, tapi entah kenapa aku tak sanggup pergi jika dia sudah seperti ini.

"Hei, katakan ... Menyembunyikan sesuatu itu tidak baik," tuturnya.

Dia benar-benar memaksaku, matanya berbinar begitu penasaran dengan apa yang aku pikirkan.

"Ya, aku pikir kau akan memujiku dan ... begitu."

"Hmm ..."

"Jangan bilang hmmm saja?!"

Tak sengaja aku berteriak karena itu cukup memalukan, dia memasang raut menggodanya kembali, namun wajahnya berubah serius dalam beberapa saat.

"Aku mengerti, memang benar, kau selangkah lebih dekat."

"Jadi?"

"Ya, sesuai yang kukatakan sebelumnya, tetaplah berjuang, kau mungkin butuh sejuta langkah, tapi satu langkah semacam ini akan menjadi pijakan langkah selanjutnya bagimu," jelasnya.

"Sejuta?"

Ia mengangguk dengan ekspresi bangga. Itu benar-benar persyaratan yang sulit bahkan aku belum sampai sepersepuluhnya.

"Kenapa kau tidak menolakku saja waktu itu?"

"Jadi ... Hanya sebatas itu rasa cintamu?" tanyanya.

Sepertinya aku benar-benar mencintai gadis yang mengerikan, tapi mengingat umurnya yang ribuan tahun, dia bukan gadis lagi, tapi nenek-nenek. Membayangkan kenyataan di duniaku, orang lain mungkin bakal menganggapku gila.

"Rasanya aku terlalu sombong waktu itu."

"Ayolah, apa kau tak ingin memiliki istri yang cantik, cerdas, kuat, dan keturunan bangsawan sepertiku?"

Ia mendekat kemudian duduk di sampingku, entah apa yang sebenarnya ia incar.

"Apa yang kau lakukan?"

Ia mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik, "Aku juga masih perawan."

Aku kaget dibuatnya, kenapa ia mengatakan hal semacam itu. Sungguh, status bangsawannya seperti runtuh seketika, aku merasa ia sudah kehilangan martabatnya.

"Kau tak perlu terang-terangan seperti itu kan?"

Dia hanya tertawa setelahnya karena reaksiku, ini memalukan tapi itu sudah kebiasaannya kurasa. Aku kemudian beralih ke tempat duduknya, dan kami berhadapan lagi.

"Hei, jangan tertawa terus, kau bisa ..."

"Kenapa? Haha ... Hei, kau menduduki bekas tempat dudukku, apa itu terasa nyaman bagimu?"

Itu membuatku terdiam, sifatnya seperti ini terkadang membuatku sedikit terintimidasi. Aku berniat menjauhinya, tapi sepertinya ia sudah merencanakan ini untuk menggodaku.

"Maaf ... Maaf ... Aku akan berhenti," ucapnya begitu aku mulai merasa tidak enak.

"Itu lebih baik."

Aku berpaling tak melihat wajahnya, tingkahnya tadi yang sedikit berlebihan membuatku sedikit kesal.

**

"Tapi, sejujurnya aku senang kau ada disini."

"Kenapa?"

"Setelah bertahun-tahun berjuang sendirian, akhirnya ada juga seseorang yang menemaniku, terlebih karena berkat dirimu, semakin banyak orang yang berada disini."

"Tapi bukankah itu membebanimu?"

"Tidak juga, kau tahu waktu aku sekarat waktu itu, aku merasa kesepian dan putus asa, sehingga aku melawan empat raja iblis sekaligus."

Jadi, waktu itu, saat aku menyelamatkannya, pantas saja ia terluka sangat parah. Ia sudah berencana untuk perang habis-habisan dengan mereka. Namun pada akhirnya ia hampir mati jika aku tak berada disana.

"Aku bersyukur ada dirimu, rasa kesepian itu sungguh mengerikan."

Tangannya sedikit mendekap ke tubuhnya, raut wajahnya terlihat sendu, baru pertama kali aku melihatnya seperti itu. Aku lupa, meski ia gadis yang sangat kuat dan seorang bangsawan, ia tetaplah makhluk yang memiliki perasaan seperti kemarahan, kesedihan, dan juga ketakutan akan rasa kesepian.

*****