"Jadi apa yang sebenarnya terjadi." Kini Pak Ed melihat mereka secara bergantian.
Aarun dan Vino yang sedang berdiri tidak menghiraukan Pak Ed yang sedang berbicara dengan mereka, kedua pria itu terus saling menatap dengan tajam seperti orang yang kembali akan berkelahi.
Pak Huta kembali menghela napasnya berat dan melangkah ke tengah untuk melerai mereka. "Hei! Kalian berdua tidak dengar! Apa yang sebenarnya terjadi!" Pak Ed memukul meja dengan keras hingga terdengar suara pukulan meja yang keras.
"Aarun datang memukulku Pak," jawab Vino menunjuk Aarun.
Kini Pak Ed menatap Aarun "Apa itu benar Aarun?"
Aarun berbicara dengan cepat "Ya, itu benar Pak," jujurnya.
"Kenapa kau memukul Vino, Aarun?" tanya pak Ed lagi.
"Karena dia dan keluarganya pantas mati," ucap Aarun yang membuat ketiga pria itu kebingungan.
"Apa ini soal perempuan pengamen miskin itu lagi?" tanya Vino dengan nada bicara seolah meremehkan.
"Jadi pertengkaran ini karena perempuan?" ucap Pak Huta tak habis pikir, Pak Ed hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan Pak," jawab Aarun.
"Lalu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin memukulnya saja," jawab Aarun dengan senyuman liciknya.
"Jika jawabanmu itu, kau mau kami introgasi sampai pulang sekolah Aarun?" Pak Ed yang di kenal tegas itu melihat Aarun dengan tajam, Aarun juga menatap mata gurunya tak kala tajamnya, ia tidak takut sama sekali.
"Jika dilihat selama kau masuk sekolah ini." Pak Ed mengambil catatan kesiswaan seraya mendekat pada Aarun "Kau, beberapa kali bolos sekolah, seragam tidak pernah rapi, dan jangan lupa saat mata pelajaranku kau keluar kelas, dan sekarang kau bertengkar dengan Vino," lanjut Pak Ed menjelaskan.
"Jika kau ingin tetap bersekolah disekolah ini, perbaiki sikapmu, karena sudah banyak pelanggaran yang kau buat," lanjut Pak Ed.
"Ya, aku tahu pak, tapi terserah. Sebenarnya aku juga malas bersekolah, apalagi bersekolah di tempat kotor seperti ini."
"Plaaakkkkk"
Pak Ed yang mendengar ucapan Aarun langsung menampar Aarun, Pak Huta membelalak melihat kejadian itu, dia tidak seharusnya memukul muridnya dengan keras seperti itu tapi apa daya Pak Huta hanya guru baru ia sedikit segan dengan Pak Ed yang memang telah dikenal paling senior disekolah ini dan tentunya paling tegas dan disiplin.
Aarun memengangi pipinya, rasanya cukup sakit tapi hatinya lebih sakit lagi, Aarun dan Vino sama-sama di panggil di ruang BK tapi hanya dia yang di introgasi "Kau benar-benar ingin dikasih keluar dari sekolah hah! Pikirkan orang tuamu."
Aarun tertawa kecil, orang tua katanya, orang tuanya lah yang membuatnya melakukan ini semua, semua karena masalah keluarganya yang membuatnya dendam seperti ini.
"Lihatlah dia seperti psiko, cih aneh sekali," gumam Vino.
"Sudah dua kali kau memukulku, aku akan memanggil ayahku, lihat saja," ucap Vino setelah Aarun menatapnya dengan remeh, Vino mengambil handphone di sakunya berniat menelpon orang tuanya.
"Jangan Vino, kita lebih baik selesaikan ini tanpa melibatkan orang tuamu," cegah Pak Huta.
Vino memutar bola matanya kesal, ia kembali membela diri "Kemarin dia memukulku di luar sekolah sampai bibirku harus dijahit," tunjuk Vino pada bekas jahitan yang masih nampak di ujung bibirnya.
" aku masih sabar dan tidak melaporkannya pada ayahku tapi kali ini, tanpa kesalahan apapun dia memukulku lagi, tidak bisa kumaafkan," lanjutnya.
"Vino, Vino, mungkin kalian bisa membicarakan dengan baik, kan," Kata Pak Huta.
"Biarkan saja, aku tidak takut sama sekali," ujar Aarun.
"Panggil sekarang saja, aku tidak takut," lanjut Aarun, Pak Huta langsung menarik Aarun menjauh dari Pak Ed dan Vino.
"Kau sudah gila Aarun, jika ayah Vino datang dia akan memberimu denda, kau harus tahu itu," ucap Pak Huta sedikit berbisik pada Aarun.
"Aku memang berniat bertemu dengannya pak, jadi aku bersedia apapun yang akan menjadi sanksiku,"ujar Aarun.
"Kau yakin?" tanya Pak Huta, Pak Huta tidak ingin membawa Aarun pada masalah terbesar, entah kenapa setiap ia melihat anak itu rasanya ia iba, menurutnya Aarun menjadi anak yang nakal karena ada suatu hal yang membuatnya seperti itu.
Pak Huta sudah mengenal Aarun sejak Aarun masih SMP, saat itu ia sedang praktek untuk mengambil gelar sarjananya di sekolah tempat Aarun menimbah ilmu, yang ia tahu, Aarun anak yang ceria meski dia sering menjahili teman-temannya.
Ia heran, mengapa watak Aarun langsung berubah setelah dia mulai dewasa ,Aarun menghela napasnya "Ya aku yakin," balasnya.
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau rencanakan tapi aku akan terus memperhatikanmu, ingat itu!" Kini Pak Huta sudah pasrah tentang apa yang akan dilakukan anak itu, yang harus ia lakukan sebagai guru yang baik adalah terus memperhatikan muridnya.
Pak Ed memberikan Aarun surat untuk kedua orang tuanya agar besok hadir di sekolah mendampingi Aarun.
"Ini surat untuk kedua orang tuamu, Vino sudah menghubungi ayahnya dan besok kita akan melakukan rapat untuk kasusmu itu," ucap Pak Ed.
Aarun menerimanya dan langsung keluar dari ruang BK tanpa berpamitan terlebih dahulu, ia muak berada di ruangan yang membuatnya sesak sedari tadi.
Dari luar ternyata Ardo telah menunggunya, Ardo terpaksa tidak mengikuti mata pelajaran Matematika karena ia khawatir dengan sahabatnya, Ardo memutuskan menunggu Aarun diluar.
"Apa itu Aarun?" Ardo langsung memeriksa surat apa yang dibawa Aarun.
"Jadi besok orang tua mu akan datang? sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau seperti ini?" tanya Ardo frustasi.
"Besok, baru permainannya akan dimulai, jadi ku harap jika kau penasaran, datanglah kesini dan lihatlah," ujar Aarun sampai menunjuk-nunjuk Ardo.
Aarun berjalan mendahului Ardo yang masih bengong, Ardo tidak habis pikir rencana apa yang sedang Aarun persiapkan hingga dia menyuruhnya datang untuk melihatnya sendiri.
"Aarun tunggu!" seru Ardo berlari mengejar Aarun yang mulai menjauh.
****
Flashback
Sudah 9 tahun lamanya ayah dan ibu meninggalkan kita, waktu sangat cepat berlalu, aku masih ingat detik-detik terakhir ketika sebuah mobil besar melaju dengan sangat kencang, menyambar dan menghempaskan ibu dan ayah jauh dari jalan raya. aku, Linzy dan Eugene berlari sekuat tenaga untuk menolong mereka tapi naasnya ibu dan ayah telah tewas ditempat.
Tanpa permisi air mata itu jatuh begitu saja di pipi Hannah, gadis itu mengelus lembut kedua batu nisan ayah dan ibunya yang berdekatan, jika ia ingat lagi, rasa sakitnya masih sama seperti hari itu.
Hari ini adalah hari memperingati kematian ayah dan ibu mereka, tepatnya ayah dan ibu angkat mereka.
Hannah, Linzy dan Eugene sebenarnya tidaklah bersaudara, mereka hanyalah anak dari panti asuhan yang juga berbeda-beda, mereka di pertemukan dan di asuh oleh orang tua angkat yang sulit sekali mempunyai keturunan.
Orang tua angkat mereka sangat baik, meski mereka hidup tidak berkecukupan tapi Hannah dan adiknya sangat bahagia saat itu.
Hingga kecelakaan itu terjadi, hidup Hannah seakan hancur, satu-satunya yang di tinggalkan oleh ayah ibunya hanyalah rumah kecil yang kini di tinggali ketiga gadis itu.
Flashback End
Hannah berjalan sendirian menuju sekolah besar yang kini tengah berada tak jauh dari hadapannya, ia tiba-tiba saja mengingat ayah dan ibunya, ia ingin mengunjungi orang tuanya nanti setelah Linzy sembuh dari demamnya. hari ini ia harus memulai hari yang baru, ia harus semangat bekerja untuk membelikan adiknya obat.
Hannah sedikit takut melangkah jika saja nanti ia bertemu dengan Vino tapi ia tidak ingin terlalu kepikiran. Hari ini meski ia sendirian bekerja ia berharap di beri rezeki yang cukup untuk hari ini.