Chereads / Juvenile Delinquency / Chapter 3 - Dusta Seorang Ibu

Chapter 3 - Dusta Seorang Ibu

"Aarun dari mana saja kau?" tanya Ardo menghampiri sahabatnya yang entah kenapa benar-benar terlihat kacau itu.

Ini sudah pukul 4 sore itu artinya sekolah sudah bubar dan juga sudah 6 jam setelah pertemuannya dengan sosok Hannah yang membuatnya terus kepikiran hingga sekarang.

Setelah ia keluar dari rumah Hannah, Aarun hanya terduduk di halte selama 6 jam hingga Ardo menemukannya merenung disana.

"Tidak kemana-mana," jawabnya.

"Kau tidak pergi bersama si Ken itukan?" Ucap Ardo dengan tatapan menyelidik, Ardo tahu jika Aarun sebulan ini sering diajak jalan dengan senior gilanya dan Ardo sangat tahu kelakuan mereka itulah mengapa ia sangat melarang Aarun bergaul dengan mereka.

"Aku tidak pernah jalan dengan mereka," dusta Aarun.

Ardo mengangguk "Begitu baguslah jangan ikuti mereka bisa-bisa kita yang akan kena masalah," ujar Ardo memperingati sahabatnya.

Aarun hanya mengangguk pelan, Ardo sangat memperhatikannya ia merasa bersalah karena telah membohongi Ardo.

Bis yang di tunggu Ardo akhirnya tiba, Ardo mengajak Aarun untuk pulang bersama, sama seperti hari-hari lainnya mereka akan pulang bersama karena rumah mereka ada di satu kompleks.

Aarun hanya mengikuti Ardo dibelakang dan duduk di kursi paling belakang, sama seperti hari-hari lainnya, jika kursi dibelakang kosong mereka pasti akan duduk disana.

Bis telah berjalan melewati kota yang begitu indah, di setiap sisi di pinggir jalan, berjajar pohon sakura berwarna merah jambu yang mekar, jika orang lain perhatikan mungkin ia akan menyimpulkan Aarun sedang menikmati pemandangan kota namun sayangnya itu salah besar, memang matanya menuju arah jendela namun ia tidak sedang melihat apapun.

Ia sedang asyik pada dunianya sendiri,ia terus membayangkan seorang perempuan yang tadi pagi ia temui, gadis yang cantik namun malang itulah sebutannya, jika diingat lagi kejadian tadi ia masih ingin memukul dan merobek mulut seniornya tersebut.

Tak di sadarinya, teman yang sedari tadi bersamanya sedang memperhatikannya,tangannya ia kepalkan hingga buku-bukunya terlihat.

"Aarun kau kenapa?" Tanya Ardo bingung,matanya terus berbolak balik melihat tangan dan mata Aarun.

Aarun langsung melemaskan tangannya "Tidak apa-apa," jawabnya singkat.

"Ah...kau hari ini aneh sekali" gumam Ardo.

"Aku hanya sedang lelah Ardo," ucap Aarun mencoba kembali tenang.

****

Hannah baru saja selesai mandi, ia benar-benar membersihkan dirinya setelah kejadian itu, Hannah sudah terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya namun sebenarnya hatinya masih terasa sakit, bayangkan saja jika ada pria asing yang menerobos masuk rumahmu dan memaksa untuk menciummu, itu sungguh menjijikkan.

Hannah melihat Linzy sedang bersih-bersih, masih banyak ayam goreng yang tersisa karena orang-orang asing itu tiba-tiba saja masuk sebelum mereka selesai makan dan tentunya mereka tidak bisa melanjutkan makan lagi.

"Simpan saja ayamnya nanti kita lanjut makan lagi," ucap Hannah yang langsung dituruti Linzy dengan menutupnya rapi menggunakan koran.

Eugene sudah tertidur dengan lelap dikasur lebar yang memang hanya bisa memuat mereka bertiga saja, Eugene kelelahan dan syok berat sangat jelas kelihatan dari wajahnya.

"Kak Hannah anggap saja itu kecelakaan, tidak usah berlarut-larut memikirkannya," ujar Linzy setelah memperhatikan Hannah yang matanya masih sembab seusai menangis.

"Kau benar, semoga saja mereka tidak mengganggu kita, aku tidak mau bertemu mereka lagi," ucap Hannah yang kini mendudukkan dirinya di kasur di sebelah Eugene tidur.

"Aku khawatir dengan Eugene, apalagi ucapan terakhir pria yang mengganggunya itu, apa sih yang mereka inginkan dari kita," ketus Linzy.

Hannah ingat ucapan terakhir lelaki itu bahwa ia akan tetap datang untuk memaksa Eugene menemaninya, apa motif sebenarnya dari lelaki itu.

****

Aarun menghela napasnya setelah menginjakkan kaki dihalaman rumahnya, setelah tahu permasalahan keluarganya karena ada pihak ketiga Aarun sungguh tidak betah dalam rumah.

Sebagai seorang anak tentu ia merasa kecewa ketika sang ibu yang di anggapnya sebagai malaikat rumah malah berubah menjadi iblis, ya ibunya yang menyebabkan kekacauan ini.

Ibunya ketahuan selingkuh dengan teman sekolahnya yang juga mempunyai istri, ibu yang dikenalnya hangat dulu kini berubah 180 derajat, ia tidak pernah menyangka jika semua itu akan terjadi padanya.

Aarun melangkah masuk kedalam rumah dengan berat hati karena ia tahu rumah itu bukanlah tempat untuk istirahatnya lagi melainkan level baru dari kesengsaraan hidupnya.

Baru beberapa langkah dari pintu masuk ia sudah disambut dengan tangisan ibunya yang seolah menjadi korban dalam rumah tangga ini, Aarun mencoba tidak peduli, ia masuk kekamarnya lalu menutup pintu rapat-rapat.

Ia menggantung tasnya lalu mengganti seragamnya dengan baju kaos berwarna hitam kemudian ia langsung menjatuhkan dirinya di kasurnya.

"Kau yang membuatku menderita!"

"Aku muak hidup denganmu!"

"Aku ingin keluar dari rumah ini!"

"Buka pintunya brengsek!"

Teriakkan ibunya benar-benar membuatnya sakit kepala begitu pun ayahnya yang sedang berada diluar mencoba tidak mendengar ketukan pintu serta teriakan itu, ayahnya ingin menenangkan dirinya sejenak setelah seharian bertengkar dengan istrinya.

Gedoran pintu makin keras saja membuat rumah itu makin terasa seperti neraka, Aarun menutup telinganya dengan bantal cukup keras agar ia tidak mendengarnya namun lama kelamaan suara itu melemah berganti dengan suara telepon rumah yang berdering.

Aarun kembali bangun dan mengangkat telepon yang berada diruang tamu tersebut.

"Hallo..." sapanya datar.

"Aarun!" suara gadis terdengar memanggil namanya dengan riang di telepon itu.

"Kak Arin kau dimana? Keadaan rumah sedang kacau dan kau malah pergi, pulanglah!" Kesal Aarun setelah mengetahui itu adalah telepon dari kakaknya yang berada diluar kota.

"Hei kau kenapa, apa ada masalah?" Tanya kakaknya tidak paham.

Ah benar, karena masalah yang mendadak ia tidak sempat memberi tahu kakaknya,Aarun kini merendahkan suaranya "Kakak pulanglah besok dan kau bisa lihat sendiri"

"Tapi kakak masih belum bertemu dosen pembimbing disini, mungkin hari minggu ini kakak baru bisa pulang"

Tak disadarinya Aarun menggenggam telepon itu dengan keras "Kan bisa mengatur jadwal untuk bertemu kenapa kakak harus bersusah payah untuk mengejarnya!"

"Tidak seperti itu Run, banyak yang kakak harus lakukan, kakak harus mengambil data penelitian dan sebagainya, kau harus paham itu," bela Arin diseberang sana.

"Tapi kau harus lihat kelakuan ibu sekarang kak!" Bentak Aarun yang kembali emosian.

"Aarun tutup teleponnya ibu bilang!" Kini suara ibunya yang masih terkurung dalam kamar itu terdengar lagi.

"Aarun tutup teleponnya! Aarun!" Teriak ibunya.

Perasaan Aarun bercampur aduk ia ingin menangis, ia ingin teriak, ia ingin marah melampiaskan semuanya namun itu tidak bisa karena ia sadar jika dirinya adalah alasan mengapa ayahnya kuat.

Tiba-tiba saja telepon itu diambil dan langsung di tutup sama ayahnya.

"Turuti saja ibumu," ucap ayahnya.

"Arin tidak boleh tahu soal masalah ini ingat itu Aarun, ibu tidak mau merusak kepercayaan kakakmu pada ibu, cukup kau saja yang tahu semua ini," jelas ibunya yang membuat Aarun geram.

Aarun yang muak mulai mendekati pintu kamar orang tuanya tersebut "bagus, dengan ini ibu mengaku bahwa semua yang ibu lakukan dahulu pada kami hanyalah sebuah kebohongan hahaha... aku benar-benar tertipu."

"Terserah apa yang kau bilang," ucap ibunya.

Ayahnya mendekati Aarun yang terlihat hampir tidak bisa mengendalikan dirinya "sudah cukup Run...kau makan malam terus masuk kekamarmu sekarang, kau harus istirahat." perintah ayahnya.

Aarun lupa selama bolos ia tidak pernah menyentuh makanan sedikitpun hingga malam ini.

"Tapi ayah, apa ayah sudah bertemu selingkuhan ibu?" Tanya Aarun yang mencoba tidak menghiraukan perintah ayahnya tadi.

"Belum, orang itu tak bisa dihubungi," jawab ayahnya.

Aarun tersenyum pahit "dasar pengecut," gumamnya pelan.

"Kau jangan khawatir nanti ayah yang urus, pergilah makan," suruh ayahnya lagi. Aarun menghela napasnya lalu menuruti perkataan ayahnya.