Kerlap-kerlip lampu kendaraan nampak seperti bintang yang bertebaran jauh di bawah sana. Di hamparan yang lebih jauh, bumi seakan bersatu dengan langit dan keduanya sama-sama menebarkan titik-titik cahaya. Semakin malam udara semakin dingin, namun Rachel belum juga beranjak dari balkon apartemennya.
"Rahasia apa yang Kau simpan, Danique?"
Mungkin lelaki itu pergi ke hutan untuk berburu binatang buas. Jika itu terjadi, mungkinkah Cuon bisa tertangkap olehnya? Wujudnya serigala, manusia biasa tidak mungkin tahu bahwa Cuon adalah manusia serigala. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
Ia harus tahu tentang Danique, selama ini dirinya hanyalah rekan kerja yang hanya saling tahu sebatas pekerjaan saja. Dengan cepat, Rachel melompat masuk ke kamarnya dan membuka laptop. Ia tahu bahwa menguntit itu berdosa, tetapi Ia harus melakukan ini demi Cuon.
"Danique tidak hobi memelihara binatang. Bahkan Ia membencinya," gumam Rachel.
'Anjing sialan, aku terlambat. Sama sialannya seperti Papa yang menyuruhku berangkat sekolah sendiri. Anjing semua kalian!' postingan itu disertai foto anjing yang tengah menghadangnya di tengah jalan.
Rachel menggeleng, Danique sudah memiliki bakat mengumpat sejak dini.
'Hmm, yummy,' Danique suka daging. Postingan yang ada di layar komputer di depannya adalah medium rare steak.
Penyelidikan singkat Rachel tentang Danique tidak menghasilkan banyak kecuali justru yang tidak penting.
Keesokan paginya saat Ia pergi ke rumah lelaki itu untuk menjalankan pekerjaannya, sesuatu mengejutkannya. Danique tengah mengelus-elus kucing di kamar, hal yang bertolak belakang dengan apa yang Ia temukan di jejak digital lelaki itu.
"Oh, jadi ternyata bulu kucing," gumam Rachel, Ia pun melihat bahwa warna bulu kucing tersebut sama dengan bulu-bulu yang mengotori ranjang tidur Danique.
"Kau suka kucing sejak kapan?" tanyanya, lelaki itu tidak menoleh sama sekali dan berlagak sibuk bicara dengan kucingnya. Rachel ingin sekali melemparkan vacum cleaner yang masih teronggok di sudut kamar ke wajah Danique, Ia jengkel kucing itu dianggap lebih penting dari pada dirinya.
"Apa jadwalku hari ini?" ucap Danique.
Dengan cepat konsentrasi Rachel pun tertuju pada handphone-nya. Ia membuka kalender online yang sebenarnya sudah terhubung dengan email Danique.
"Pertemuan rutin dengan Michael Van Berend selaku pemegang saham utama, kemudian rapat bersama ...."
"Mengapa aku baru tahu itu?" Danique memotong ucapan Rachel.
"Mana kutahu, seharusnya Kau sudah membaca sendiri jadwalnya, 'kan kalender kita terhubung," Rachel tak mau disalahkan.
"Aku tidak menyukai lintah itu, mengapa aku harus bertemu dengannya," Danique melepas kucingnya dan hewan mungil itupun langsung meloncat keluar kamar.
"Karena Ia pemegang saham utama dan Kau CEO di perusahaan ini. Dasar bodoh," umpat Rachel.
"Agh," Danique menyilakan rambutnya dengan kasar.
"Ayolah jangan malas-malasan. Kau tahu, 'kan, pemegang saham utama itu sangat penting," ucap Rachel.
"Penting apanya, Ia yang untung banyak sedangkan aku yang menjadi kacung di sini," lelaki itu masih juga menggerutu dengan frustasi.
"Kalau aku jadi Kau, ini momen menguntungkan. Kau jadi CEO artinya Kau jadi orang penting yang punya pengaruh lebih tinggi dari pada biasanya. Manfaatkan selagi jabatanmu belum dilengserkan!"
Seolah mengerti perasaan dan pikiran Danique, Rachel mencoba memancing semangat lelaki itu. Danique menoleh dengan wajah seperti baru disadarkan oleh peristiwa yang luar biasa.
"Tumben otakmu cemerlang," gumamnya.
"Kau yang terlalu bodoh," desis Rachel.
Danique belum juga berubah, Ia masih mengedepankan asumsinya sendiri setiap ada masalah. Tapi lelaki itu terlalu menggemaskan sehingga Rachel tidak tega memarahinya.
Kegiatan Rachel pagi ini masih seperti kemarin, Ia menyiapkan semua baju termasuk baju ganti darurat serta menyiapkan berkas-berkas di laptop Danique. Di kantor nanti, Ia pun harus memantau jadwal Danique supaya lelaki itu tidak melakukan kesalahan dengan terlambat datang rapat atau bahkan absen.
Satu misteri telah terpecahkan dan ternyata dugaannya sendiri yang salah. Ia mengira Danique adalah pembenci hewan piaraan tetapi faktanya lelaki itu malah mempunyai kucing. Sampai detik ini, tangan Rachel masih dengan telaten mencabuti bulu-bulu hewan itu dari seprai dan selimut.
"Aku harus mencari alat penyedot debu dan bulu besok," gerutunya.
"Kapan Kau pindah ke sini, bukankah sudah kubilang Kau harus tinggal di rumahku?" ujar Danique sembari mengenakan setelan jasnya.
"Kapan aku bilang 'iya'? Kurasa itu tidak termasuk kewajiban asisten pribadi," tanggap Rachel.
Ada banyak hal yang tidak bisa membiarkan dirinya tinggal di mansion ini. Ada banyak benda yang disimpan di apartemennya sebagai kenang-kenangan dari masa ke masa sejak sembilan puluh enam tahun yang lalu. Bahkan Rachel memiliki etalase masing-masing dekade yang telah Ia lewati. Semuanya Ia letakkan di dalam satu ruangan besar sehingga mirip museum.
"Ngomong-ngomong Kau kemarin bilang padaku untuk tidak menyerahkan selimut dan seprai ini ke pelayan sebelum bulunya bersih," gumam Rachel.
"Iya, memang benar. Lalu?"
"Lalu siapa yang membersihkannya sebelum aku menjadi asistenmu?"
"Aku sendiri," jawab Danique singkat dan spontan.
Refleks, Rachel pun menoleh ke arah Danique dengan heran. Lelaki itu membersihkannya sendiri? Kedengarannya cukup lucu, Rachel tidak menyangka Danique melakukan hal itu. Danique seperti orang kurang kerjaan saja. Jika dirinya bukan asisten pribadi lelaki itu, sudah pasti akan menolak kegiatan aneh membersihkan bulu kucing.
"Mengapa bukan pelayanmu saja?" tanya Rachel lagi. "Bukankah itu sama saja?"
"Terserah diriku karena di sini yang jadi bos adalah aku," ketus Danique.
Jawaban klasik itu justru membuat Rachel kembali curiga bahwa Danique menyimpan sesuatu.
Pintu kamar Danique diketuk dan pelayan memberitahu Rachel bahwa sarapan tuan mudanya sudah siap. Rachel tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkonsultasi pada pelayan tentang makanan Danique. Siapa tahu Ia akan memerlukannya jika suatu saat Danique tiba-tiba memintanya membuatkan makanan di kantor.
"Maaf, Nona. Saya akan meminta waktu nona untuk berkonsultasi tentang makanan dan kebutuhan pribadi lainnya Pak Danique."
"Oh, silakan, Miss Juvenil," sang pelayan dengan pakaian khas itupun menanggapinya dengan ramah.
Mereka berdua meninggalkan kamar Danique, sedangkan lelaki itu melangkah menuju ruang makan untuk sarapan.
"Saya ingin tahu apa sarapan utama Pak Danique," ucap Rachel ketika mereka barusaja tiba di dapur yang luas dan elegan.
"Daging mentah, Miss," jawab pelayan itu tanpa ragu.
"APA?!"
"Iya, daging mentah. Segala jenis daging mentah, jika tidak ada daging, ikan pun juga bisa," papar pelayan yang selalu mengenakan pakaian maid hitam putih.
Seketika Rachel tidak bisa berkata-kata, kakinya bahkan terasa seperti jelly. Apa pelayan itu sedang bercanda? Bagaimana jika suatu hari nanti dirinya menyajikan daging mentah untuk Danique, lalu ternyata pelayan itu hanya bercanda? Danique pasti akan mengamuk.
"Oh iya, satu hal yang perlu Anda perhatikan, Miss. Mr. Berend tidak bisa makan sayur ataupun buah," pelayan menginterupsi pikiran Rachel yang sempat kosong selama beberapa detik. Aneh sekali, ini adalah hal yang sangat tidak Ia duga.
"Apakah Pak Danique masih bisa memakan daging yang dimasak, Nona?" tanya Rachel. Ini gawat jika di kantor ada yang memergoki Danique memakan daging mentah.
"Bisa, tapi selera makannya jauh lebih tinggi jika daging tersebut tidak dimasak," jawab pelayan.
Oh, pantas saja Danique masih bisa makan daging panggang saat pesta malam itu. Tetapi tetap saja lelaki itu masih menjadi misteri bagi Rachel.
"Kalau boleh tahu, mengapa Pak Danique suka memakan daging mentah? Sejak kapan, Nona?" Rachel bertanya dengan hati-hati.
Tingg
Pintu dapur terbuka dan lelaki itu berdiri di sana.
"Ayo berangkat," ucapnya. Rachel mengangguk.
"Nona, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Saya pergi dulu," akhirnya Rachel pun tidak mendapat jawaban tentang penyebab Danique memiliki selera aneh seperti itu.
***