Alhasil sekarang Damai berdiri di depan kelas. Sebagai hukuman, dia tidak diijinkan untuk ikut pelajaran Bu Indri, dan menyalin sepuluh kali catatan yang ada di papan tulis hari ini. Damai harus berdiri di depan kelas hingga pelajaran Bu Indri selesai.
"Lagian kenapa gue bisa ketiduran sih," gerutu Damai pada dirinya sendiri.
Semalam, setelah menangis tersedu-sedu. Damai tidak bisa memejamkan matanya hingga pagi tadi saat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Pikirannya kacau. Berputar-putar terus pada kejadian tiga tahun lalu. Kejadian yang tidak ingin dia ingat justru bertahta di dalam pikirannya. Telinganya berdengung. Semua percakapan yang ada di waktu itu terdengar kembali dengan jelas di telinga Damai. Damai masih bisa merekam tiap kalimat yang dia dengar waktu itu. Kalimat yang menimbulkan sebuah luka yang sangat besar di dalam hatinya.
Tidak ada teman untuk bercerita ataupun membantunya mengatasi saat hal seperti itu terjadi padanya. Damai berjuang sendiri, dan memaksa dirinya untuk bersikap seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi. Dia harus tetap terlihat kuat, terutama di depan Mbah Sani. Damai tidak ingin menjadi beban untuknya, karena Mbah Sani bukanlah penyebab dari timbulnya luka di dalam hatinya.
"Damai. Kamu bisa masuk!" Suara Bu Indri membangunkan Damai dari lamunannya tentang apa yang terjadi padanya semalam, dan penyebab dia bisa ketiduran di jam pelajaran pertama pagi ini.
"Tapi ingat, jangan tidur lagi! Jangan lupa juga kumpulkan catatan hukuman kamu sebanyak sepuluh salinan! Kamu mengerti Damai?" titah Bu Indri.
"Baik bu," jawab Damai singkat, sambil menunduk sopan pada gurunya itu.
Pelajaran Bu Indri sudah selesai, setelah mengatakan hal tersebut pada Damai, dan merasa jawaban muridnya itu bisa diterima, Bu Indri membalikkan badan lalu berjalan menjauh dari kelas. Damai kembali masuk ke dalam kelas setelah melihat punggung Bu Indri semakin menjauh dan akhirnya tidak terlihat di belokan menuju tangga turun.
Pelajaran kedua dan ketiga berjalan dengan lancar. Damai berusaha sekuat mungkin agar dia tidak kembali tertidur. Padahal kalau boleh dibilang, sekarang matanya seperti magnet yang saling beradu. Pasti menempel dengan lekat jika dibiarkan begitu saja. Sampai akhirnya, bel tanda waktu istirahat berbunyi. Damai hanya berharap kali ini tidak ada para siswi yang berkerumun di sekitarnya seperti kemarin, dia ingin tidur saja. Tapi harapannya tidak terwujud. Beberapa detik saja setelah bel selesai berbunyi, mereka langsung berkumpul di sekitar Damai. Menanyakan banyak hal seperti biasa. Apa kamu sakit? Kenapa kamu bisa ketiduran? Ayo kita makan biar gak ngantuk! Dan masih banyak lagi. Damai sedang tidak menginginkan itu semua. Damai ingin tidur selama satu jam ke depan.
Sedangkan dari tempatnya, Senja menatap ke bangku belakang. Dalam hatinya bertanya, sampai kapan mereka akan memperlakukan Damai seperti itu? Meskipun dia selebgram, atau aktor, dan punya banyak fans sekalipun apa tidak lelah jika para siswi yang berkumpul itu melakukannya setiap hari? Menurut Senja, mereka sedang mengganggu ketenangan seseorang. Bukankah Damai juga seorang siswa disana, dan berhak untuk sekolah dengan tenang kan?
"Nja! Ngapain lihatin kebelakang terus? Kamu sebenernya pengen gabung sama mereka kan?" Suara Raya mengagetkan Senja. Sahabatnya itu selalu saja membuat spekulasi yang diluar dugaan, dan berbeda jauh dari apa yang Senja sedang pikirkan. Contohnya sekarang.
"Nggak lah!" balas Senja. Seraya berdiri dari tempatnya, lalu berjalan keluar kelas. Hari ini sahabatnya itu mengikutinya. Tidak seperti kemarin dia menempel pada Damai. Raya mengalungkan tangannya di lengan Senja dan berjalan ke kantin bersamanya.
"Terus ngapain lihatin Damai mulu?" tanya Raya. Dia sudah seperti detektif swasta yang sedang mengintrogasi seseorang saja. Cerewet sekali.
"Kasian aja lihat Damai. Apa gak capek dikerubutin banyak cewek kayak gitu terus?" Senja akhirnya buka suara perihal kenapa dia tadi memperhatikan meja Damai sangat lekat. Setidaknya agar rasa penasaran Raya terjawab.
Padahal dia sedang berkata jujur, dan apa adanya. Itu memang yang dipikirkannya, tapi Raya justru tertawa terbahak setelah Senja menyelesaikan kalimatnya.
"Senja, dia kan seleb. Udah biasa kali dikerubuti kayak gitu. Itu aja nggak seberapa. Gimana kalau dia lagi jumpa pers? Pernah tau, pas meet and greet para pemain dari filmnya dia, si Damai dikerubutin cewek-cewek satu hall yang lagi nunggu dia keluar. Karena dia emang seganteng itu. Seandainya aku juga bisa hadir waktu itu," seru Raya.
"Lah terus kamu tahu dari mana?" tanya Senja polos.
"Instagramnya dia lah Nja," jawab Raya.
Senja hanya mengangguk-angguk. Dia memang tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi Damai yang terkenal, seorang pendiam dan lebih suka menyendiri sepertinya akan sangat terbebani jika setiap hari harus berurusan dengan banyak orang seperti Damai. Baiklah, mungkin Senja saja yang merasa tidak nyaman. Jika memang menurut Raya Damai sudah terbiasa, berarti Senja hanya menggunakan pikirannya untuk hal yang tidak perlu kan? Untuk apa juga dia prihatin padanya?
"Cie mulai perhatian sama tetangga barunya," celetuk Raya tiba-tiba.
Senja melotot. "Plis deh Ya, siapa yang perhatian? Prihatin sama perhatian itu beda arti tahu!" timpal Senja setengah kesal.
"Udah lupa sama Kak Shandy?" Raya tak mau mengalah.
Senja menutup mulut sahabatnya itu. Mereka sudah sampai di kantin, dan menyebut nama Shandy di tengah banyaknya murid yang sedang beristirahat di kantin cukup menarik perhatian beberapa murid yang mendengarnya. "Diam Ya! Jangan sebut nama Kak Shandy disini!" bisik Senja geram pada sahabatnya yang berisik itu.
Di tengah perdebatan mereka. Seluruh perhatian murid di kantin semakin tertuju pada mereka berdua. Begitu seseorang yang sangat dihindari Senja di keramaian datang, dan memanggil namanya.
"Nja. Syukur deh lo siang ini gak ke perpustakaan." Damai datang dengan senyumnya yang lebar, sekarang berdiri di hadapan Senja dan Raya. Dia memutuskan untuk keluar dari dalam kelas dan membatalkan niatnya untuk tidur. Karena para siswi yang mengerumuninya tadi sepertinya tidak akan pergi dari sana jika Damai tidak beranjak terlebih dahulu.
Seketika Senja melepaskan tangannya yang menyumpal mulut Raya agar diam tadi. Lalu matanya membulat sempurna. Lebih besar daripada saat dia melotot kepada Raya tadi. Sudah jelas perhatian murid satu kantin sekarang pasti tertuju pada mereka. Pasti diantara para siswi yang berada disana, sekarang timbul pertanyaan apakah mereka berdua saling kenal? Atau kenapa murid baru ganteng itu hanya menyebut memanggil nama Senja diantara banyaknya cewek yang sudah berkenalan dengannya?
Senja menelan salivanya. Menghindari perhatian dari para siswa yang sedang beristirahat karena Raya menyebut nama Shandy tadi sudah selesai, sekarang justru lebih banyak perhatian yang dia dapat karena keberadaan Damai di depannya.
"Gue boleh pinjem catatan lo gak? Gue harus salin sepuluh kali mata pelajaran Bu Indri," ucap Damai. Menjelaskan tujuannya berada di depan Senja sekarang.
Senja memaksakan senyumnya. Tidak bisakah hal sepele seperti catatan itu dia meminjamnya dari teman lain? Kenapa harus Senja? Dan kenapa juga harus di mengatakannya di kantin begini? "Anu, Damai… aku makan dulu ya," timpal Senja. Gadis berambut panjang itu segera berbalik arah dari hadapan Damai. Seperti biasa, dia harus segera pergi dari situasi seperti ini. Diperhatikan banyak mata, sungguh membuatnya tidak nyaman.
Namun niat itu terhenti seketika. Badan Senja sudah berbalik sempurna, tapi Senja merasakan tangannya dicekal oleh seseorang. Awalnya dia pikir itu Raya, ternyata dia salah. Raya sekarang berada di sampingnya, dan mengangkat kedua bahunya ketika Senja menatapnya lekat-lekat. Dagu Raya mendongak ke belakang. Memberikan kode bahwa yang memegang tangannya sekarang bukan dia, melainkan seseorang di belakang Senja. Damai.
"Tunggu Nja!"
Senja menghela nafasnya. Sejenak memejamkan mata, dan berdecak pelan sebelum berbalik badan kembali ke arah tetangga barunya itu. "Damai aku…."
"Kok lo menghindar terus dari gue? Bukannya lo bilang gue boleh tanya apa aja ke elo?" sela Damai. Membuat kalimat Senja terhenti.