Chereads / NASKAH DIHAPUS / Chapter 14 - Menuju Malang Selatan

Chapter 14 - Menuju Malang Selatan

Setelah Senja selesai menyiapkan dirinya. Raya dengan semangat mengalungkan tangan di lengan sahabatnya itu, lalu menariknya segera turun ke bawah. Senyum Raya sumringah sampai di ruang tamu.

"Tante, aku aja Senja main dulu ya," pamit Raya pada Ibu Wulan.

"Iya Ya. Biar dia gak tidur terus," sahut Ibu Wahyu. Raya menahan tawanya. Memang sahabatnya ini adalah tukang tidur. Dan selama libur sekolah Senja jarang sekali keluar dengan temannya yang lain. Sesekali bersama Raya, dan dia adalah satu-satunya. Mungkin karena itu Ibu Wahyu sama sekali tidak melarangnya.

Acara pamit pada Ibu Wulan sudah selesai. Senja mengikuti Raya keluar rumah tanpa curiga, dan tidak menanyakan apapun. Hingga mereka sampai di depan pintu masuk rumah Senja, gadis manis itu mengedarkan pandangan di pelataran rumahnya. "Mana motor kamu Ya?" tanya Senja heran. Raya bilang mau mengajaknya main, apa mereka main kali ini jalan kaki?

"Udah jangan banyak tanya!" Raya terus membawa Senja hingga keluar pagar rumahnya. Betapa kagetnya Senja melihat empat orang cowok di depan pagar rumah Damai.

"Kita udah siap!" ujar Raya.

Senja membelalakan matanya, kemudian mencubit lengan sahabatnya itu perlahan. "Ya, ini maksudnya gimana?" bisik Senja pada Raya.

Raya meringis ke arah sahabatnya. "Kalau aku jelasin tadi, kamu pasti gak bakal mau turun. Jadi, intinya adalah kita jalan bareng-bareng kali ini," ucap Raya sumringah. Setengah tidak peduli dengan ekspresi Senja.

"Kalau gitu aku gak ikut!" Senja memutar badannya dan bersiap melangkah kembali ke rumahnya. Namun Raya mencekal erat tangan sahabatnya itu. "Eh, mau kemana. Tanggung tau udah sampai sini."

Raya memutar kembali badan Senja. Bergelayut manja di lengan sahabatnya itu. "Ayolah Nja, kita jalan bareng-bareng sekali-kali!" pintanya.

"Kamu kan gak pernah main sama kita." Suara Raya membuat Senja sedikit menahan malu didepan empat orang cowok yang ada disana. Bisa-bisanya Raya melakukan hal itu.

"Ikut aja Nja!" Damai menyahuti.

Senja menatap wajah tetangganya itu, kemudian beralih pada Aska dan juga dua teman lainnya yang sepertinya sedang menanti jawaban Senja. Aduh! Kenapa dia jadi terpojok begini, pikir Senja.

"Nanti kamu, berdua naik motor Damai. Gimana?"

Senja menghela nafasnya, menatap kesal pada Raya. Memang benar, jika sejak tadi Raya menjelaskan apa yang terjadi, Senja pasti tidak akan mengikutinya dan bersiap sampai kemari. Seharusnya Senja bertanya lebih banyak tadi.

"Tapi Ya…"

"Kamu takut diserang sama fansnya Damai?" celetuk Raya.

Senja menggeleng. Dan menggerakkan tangannya secepat mungkin. Meskipun itu adalah salah satu alasannya tapi seharusnya Raya tidak mengatakannya dengan keras seperti itu bukan? Sumpah itu bikin malu!

"Atau lo gak nyaman sama gue?" sahut sang pemilik nama.

"Bukan. Bukan begitu." Setelah Senja mengucapkan kalimat itu semuanya terdiam. Memperhatikan wajah Senja lamat-lamat. Dan menantikan kalimat berikutnya yang akan diucapkan gadis berkulit kuning langsat nan bersih itu. Senja merunduk semakin malu. Menjadi pusat perhatian adalah hal yang paling tidak disukainya. Dan sekarang karena Raya dia harus mengalami hal itu, mungkin tidak banyak. Hanya tiga orang disana selain Raya, dan Damai. Namun itu sudah cukup membuat Senja malu.

"Oke gini aja!"

Kali ini semua mata kembali mengarah pada Raya yang baru saja mengucapkan hal itu. Sepertinya dia memiliki ide baru lagi. Raya berjalan meninggalkan Senja dan berhenti di depan Damai. Lalu menunduk dan merogoh tasnya untuk mencari sesuatu.

"Gini aja. Kalau Damai pakai ini pasti gak ada yang kenal dia. Kamu aman dari fans-fansnya Damai Nja. Gimana?"

Dengan entengnya tangan Raya memakaikan sebuah masker hitam yang baru saja dikeluarkan dari dalam plastik ke telinga Damai. Masker yang berhasil menutup setengah wajah Damai itu sekarang menjadi pusat perhatian tiga orang lainnya selain Senja. Aska dan kedua temannya menahan tawa melihat kelakuan Raya. Terutama Aska, dia berpikir keras dari mana pacarnya memiliki ide seperti itu. Sungguh sebenarnya ide itu tidak cukup bagus untuknya. Apalagi melihat Damai yang berdiam pasrah membiarkan Raya.

"Sampai gitu banget sayang buat yakinin Senja ikut?" tanya Aska pada Raya.

"Diem!" Raya menimpali Aska secepat kilat. Kalau tidak dia akan membuat rencana Raya gagal mengajak sahabatnya itu. Bagaimanapun Senja harus ikut hari ini. Lagipula melihat Damai yang pasrah Raya bisa menilai dia ingin Senja ikut bersama mereka.

"Gimana Nja?"

Semua mata kembali tertuju pada Senja. Tatapannya semakin bergetar. Dia tidak enak hati menolak ajakan ini, tapi sebenarnya ini juga bukan hal yang disukainya.

"Gue pake ini sampai pulang nanti, kalau lo ikut!" Tanpa disangka Damai mengucapkan kalimat itu. Membuat Senja semakin tidak mengerti lagi bagaimana caranya untuk menolak.

Senja menghembuskan nafasnya perlahan. Sebenarnya dia enggan, tapi dia tidak sanggup menolak lagi. Dia akan dinilai sebagai teman yang tidak berperasaan jika terus saja menolaknya.

"Ikut ya Nja?" tanya Raya lagi.

Akhirnya Senja mengangguk lemah. Dan Raya sudah bisa mengartikan itu adalah jawaban setuju dari Senja. Dia berlari kembali ke arah sahabatnya itu. Memeluknya lalu berjingkrak-jingkrak senang. Akhirnya dia bisa meyakinkan sahabatnya yang satu ini. Si pendiam yang susah sekali untuk diajak pergi.

Di dalam masker hitam yang menyelimuti wajahnya, tanpa sadar Damai juga tersenyum melihat anggukan Senja. Entahlah, kenapa dia juga ikut sesenang itu.

"Oke, sekarang kita mau kemana?" Raya menyelesaikan jingkrak nya, dan merangkul sahabatnya itu dengan antusias. Lalu melontarkan pertanyaan pada Aska dan kedua temannya. Tentang tujuan mereka hari ini, Raya belum sempat mendengar kemana tujuan mereka karena bertugas membangunkan Senja tadi.

"Kita ke Malang Selatan." Aska menimpali.

Raya tersenyum lebar. "Ide yang bagus. Damai harus tahu apa aja yang ada di Malang Selatan. Jadi tepatnya kita kemana?"

"Pantai Balekambang sayang," ucap Aska lagi.

Rupanya mereka sudah merencanakan hal itu sejak Raya berada di rumah Senja tadi. Raya sangat setuju dengan keputusan mereka. Bermain di pantai di hari minggu juga merupakan sebuah hal yang asyik menurutnya. Sedangkan Senja, dia hanya pasrah mengikuti keputusan yang lainnya. Sama sekali tidak pernah membayangkan hari minggunya berada di Pantai.

Tak selang beberapa lama. Seperti yang direncanakan. Tiga motor matic berjalan beriringan menuju ke Malang Selatan. Damai, dan Senja berada di urutan paling belakang mengikuti dua motor lainnya.

Damai bisa merasakan tubuh Senja yang kaku saat ini. Berada di belakang Damai dengan tubuh seperti itu hanya akan membuat perjalannya semakin tidak nyaman. Apalagi dari Malang kota masih harus menempuh waktu kurang lebih dua jam menuju Malang Selatan, tepatnya ke Pantai Balekambang. Memang jauh, tapi menurut Aska perjalanan kesana sangatlah asyik, dan tidak terasa lama jika dinikmati sambil menikmati pemandangan Kabupaten Malang di sepanjang jalan menuju kesana.

"Santai aja Nja," kata Damai. Setengah berteriak di balik helmnya.

Senja yang tidak mendengar hal itu memajukan wajahnya ke telinga Damai. "Gimana?" tanyanya. Tubuhnya sangat kaku, dan itu membuat laju motor Damai sedikit aneh. Harusnya tubuh Senja santai mengikuti jalan-jalan yang berkelok berkali-kali. Agar Damai juga lebih santai mengendarai motornya.

"Santai aja Nja! Lo bisa pegangan gue," katanya. Sedikit berteriak lagi agar Senja mendengarnya.

Senja mendengarnya. Dia memang sedikit takut karena jalan berkelok-kelok yang dilaluinya. Sekarang dia mencengkram sebelah kanan dan kiri jaket Damai. Tapi tubuhnya masih saja kaku.

Rasanya Damai ingin sekali mengerjai gadis manis dibelakangnya ini. Dan kesempatan itu ternyata diberikan oleh Aska juga teman-temannya. Mereka melajukan motornya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Damai otomatis mengikuti mereka, karena tidak mungkin dia menghilang dari iringan mereka. Bisa-bisa dia tersesat apalagi bersama Senja yang sudah pasti tidak tahu dimana mereka sekarang. Si pendiam yang pasrah di belakangnya.

"Gue ngebut Nja, pegangan!" teriak Damai lebih keras.

Senja bergidik ngeri. Tanpa disadari dia melingkarkan kedua tangannya pada perut Damai, sambil menutup erat matanya. Tapi anehnya, disaat seperti ini tubuhnya tidak lagi kaku. Mungkin karena dia pasrah, atau terlalu takut. Atau bisa jadi tubuhnya bergetar, tapi Damai tidak bisa merasakannya karena laju motor yang cukup kencang?

Damai tersenyum singkat setelah menunduk sesaat, menatap tangan Senja yang sudah melingkar erat di perutnya.