Sepanjang pelajaran sekolah, Senja beberapa kali melirik ke bangku belakang. Tempat Damai duduk bersama teman cowok sebangkunya. Melihat dari ekspresi Damai, sepertinya dia sudah biasa saja, tapi kenapa Senja yang justru merasa tidak tenang. Entahlah, mungkin karena cerita kakaknya yang menggantung tadi. Antara penasaran dan merasa bersalah tentang apa yang dibicarakan secara tidak sengaja pada Damai kemarin. Sesuatu yang menyangkut ibunya, dan membuat Damai begitu lesu sampai ke rumah.
"Nja!"
Senja masih duduk menunduk ke arah bukunya, padahal tidak ada yang dilakukan. Dia hanya melamun dan sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tidak sadar bahwa bel tanda istirahat sudah berbunyi.
"Hmm?" Senja menoleh ke arah Raya.
"Makan bakso yuk!"
"Aku mau ke perpustakaan saja. Gak laper," jawab Senja malas.
Raya yang tadi mengajaknya dengan raut wajah berbinar, mendadak berubah lesu seketika. "Yaelah. Kamu lagi diet?"
Senja hanya membalas pertanyaan Raya dengan senyuman manis, kemudian berdiri membawa dua buku di tangan dan berlalu pergi keluar kelas. Seperti biasa, tidak akan ada yang tahu jika ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh gadis itu. Sepanjang perjalanan menuju ke perpustakaan, pikirannya masih saja bergemuruh. Menerka-nerka tentang apa yang terjadi pada Damai. Entah mengapa cerita tentang tetangga barunya itu mengganggu pikirannya hingga sekarang. "Jadi, ibunya pergi waktu dia masih kecil?" gumamnya.
Senja membawa pikiran tentang Damai hingga ke dalam perpustakaan. Tujuan sebenarnya dia kesana adalah mengembalikan novel yang beberapa hari lalu dipinjam, kebetulan pikirannya sedang gaduh, jadi lebih baik menyendiri di saat seperti ini. Mencari tempat yang tenang.
Kursi pojok di samping jendela besar, menjadi tempat andalan Senja untuk menenangkan diri. Bersama dengan minuman kaleng yang dibeli di depan perpustakaan tadi, Senja mulai membaca satu buku pelajaran yang dibawanya dari dalam tas tadi. Tangan kanannya memegang stabilo. Menandai beberapa hal penting yang ada di buku itu. Ya, belajar adalah cara paling mudah untuk mengalihkan pikiran Senja dari hal-hal yang tidak begitu penting. Semoga cara itu berhasil.
"Disini lagi Nja?"
Hanya beberapa menit dari Senja memulai kegiatannya, dan masih satu garis stabilo yang digambar pada satu kalimat dalam buku itu, suara kakak kelas yang menjadi idolanya itu terdengar. Duduk di depan Senja dengan santai seperti biasa.
"Iya ka. Kak Shandy gak ke kantin?" tanya Senja. Kali ini Senja tidak seperti biasanya, lebih tenang, dan suara detak jantungnya juga lebih normal daripada biasanya saat melihat Shandy di hadapannya.
"Enggak. Hari ini banyak tugas. Soalnya nanti malem mau main. Jadi, selesain aja siang ini," sahutnya sambil membuka buku tulis, dan beberapa buku cetak lain yang mungkin saja berhubungan dengan tugasnya.
Senja mengangguk-angguk. Jika biasanya matanya mencuri-curi pandang pada Shandy, kali ini dia juga lebih berkonsentrasi pada bukunya. Kembali menandai beberapa hal yang menurutnya penting. Tanpa melirik ke arahnya sekalipun.
"Mau ikut aku nanti malam Nja?"
Senja mendongak, menatap ke arah sumber suara. Shandy baru saja mengucapkan sebuah pertanyaan sambil terus menulis dan menatap buku-bukunya. Sebenarnya dia sedang bicara dengan Senja atau bergumam sendiri? pikir Senja.
"Gimana kak?" tanya Senja memastikan.
"Nanti malam kamu mau ikut aku?" Kali ini Shandy mendongak. Menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi sibuk dan menatap Senja dalam-dalam. "Kalau mau aku jemput."
Senja terdiam. Detak jantung yang tadi tak terdengar, mulai kembali bergejolak. Seperti meminta perlindungan agar tidak melompat jauh dari tempatnya. Shandy seperti sedang menyerangnya secara tiba-tiba, dan Senja tidak memiliki tameng untuk mencegah serangan tersebut. Mungkin pertanyaan itu terlihat begitu enteng terucap dari mulut Shandy, tapi kenapa rasanya membuat Senja begitu kelimpungan untuk menjawab sekarang.
"Kamu sibuk nggak?" tanya Shandy lagi.
Senja menggigit bibir bawahnya, memikirkan jawaban apa yang tepat untuk kakak kelasnya yang membuat ajakan dadakan seperti itu. Sebenarnya ini adalah kesempatan bagus, untuk Senja mungkin bisa lebih dekat dengan Shandy, dan bukannya tidak ingin keluar bersama Shandy, hanya saja sedikit canggung untuk Senja jika segera mengiyakan ajakan tersebut bukan? "Aku nanti ma—"
"Ternyata bener lo disini." Belum sempat Senja meneruskan kalimat tersebut, pandangannya mengarah pada suara seseorang dari belakang Shandy. Sontak mereka berdua menoleh pada sosok yang baru saja datang, kemudian duduk di sebelah Senja.
"Ini catatan lo. Udah gue catat," katanya. Sambil mengarahkan sebuah buku bersampul coklat muda nan rapi ke arah Senja.
Senja membisu sejenak. Melihat Damai tersenyum di depannya, memberikan sebuah buku. Dan Shandy yang juga memperhatikan tetangganya itu. Entahlah, apa kedatangan Damai sekarang bisa dikatakan tidak tepat? Atau justru tepat, karena membantu Senja menghindari ajakan dari Shandy tadi.
"Makasih," ucap Damai lagi.
Karena Senja tak kunjung mengambil buku yang diberikan padanya, tangan Damai meraih tangan cewek di depannya itu dan menggenggamkan pada buku. Senja mematung, beggong seperti orang linglung di dalam penglihatan Damai sekarang. Membuatnya bertanya. Apa yang sebenarnya terjadi disana sebelum dia datang tadi?
Shandy berdehem sejenak, kemudian melanjutkan lagi kegiatannya mengerjakan tugas. Sedangkan Senja menatapnya dengan perasaan bersalah dan tidak enak karena pembicaraan mereka secara tidak sengaja terhenti. "Maaf kak," katanya pelan.
Suasana macam apa ini? Damai memegang dagunya, Mengamati Senja, dan Shandy bergantian. Dan suasana yang cukup canggung. Apa karena ini berada di perpustakaan, jadi lebih tenang dan tidak ada suara seperti ini? "Gue ganggu ya?" tanya Damai. Menoleh ke arah Senja yang menunduk.
"Enggak kok," jawab Senja. Segera menggeleng cepat.
"Kayaknya jarang ada anak istirahat kesini. Jadi, tempat ini juga cocok buat kita ngobrol di sekolah Nja," ucap Damai lagi.
"Perpustakaan itu buat belajar, bukan buat ngobrol!" sahut Shandy sewot. Saat Senja masih terbelalak mendengar perkataan Damai barusan.
Damai mengangkat sebelah alisnya, menatap murid laki-laki di meja depan yang baru saja berceletuk dengan nada yang tidak biasa. Sepertinya memang benar, keberadaan Damai sekarang mengganggu baginya. Tatapan murid laki-laki yang belum diketahui namanya oleh Damai itu juga sedikit aneh. Atau dia tidak menyukai Damai sejak pertama kali bertemu? "Oke. Kalau gak boleh ngobrol disini, gue bisa ngobrol sama Senja di rumah kok," balas Damai santai.
Shandy kembali mendongak. Dia tahu siapa yang sedang bicara dengannya sekarang. Seorang selebgram ternama yang baru saja pindah ke sekolah mereka, dan menjadi bahan pembicaraan banyak sekali siswi. Termasuk siswi di kelas Shandy. Dia adalah idola yang dipuja dan dipuji, karena sikapnya yang ramah dan juga parasnya yang rupawan. Namun dalam pandangan Shandy sekarang, dia biasa saja. Gantengnya juga standart. Ramah? Sepertinya juga tidak begitu.
"Di rumah?" Shandy mengeluarkan pertanyaan dengan kening berkerut,
Damai mengangguk. "Kita tetanggaan. Rumah gue persis di sebelah rumah Senja. Jadi gampang sih kalau mau nemuin Senja. Kita juga bisa ngobrol di balkon," timpal Damai. Nada bicaranya hampir menyamai nada bicara Shandy tadi, tidak bisa dikatakan bersahabat, tapi juga tidak biasa untuk seseorang yang baru bertemu.
Shandy mengalihkan pandangan pada Senja. "Bener Nja?" tanyanya.
Senja mengerjap kebingungan, menatap dua cowok itu bergantian. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa juga Damai membahas soal tetangga disini, terlebih lagi di depan Shandy. Senja tak tahu harus menjawab apa pada Shandy, sejujurnya dia tidak ingin ada yang tahu bahwa Damai adalah tetangganya di sekolah ini. Tapi apa dia harus berbohong pada Shandy sekarang? Senja menatap Shandy. Meringis memperlihatkan giginya. Tertawanya juga dipaksakan.
"Kamu tetanggaan sama dia?" tanya Shandy lagi.