Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Suamiku Seorang Gay

Bella_Muntari
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.4k
Views
Synopsis
Cinta datang dengan sendirinya seiring berjalan waktu, begitu juga antara Ridho dan Tio. Namun, impian membangun rumah tangga bersama seketika harus hancur saat Bundanya mengetahui hubungan terlarang mereka. Tidak ada hak asasi manusia, tidak ada toleransi untuk cinta terlarang mereka, Ridho dipaksa menikah dengan gadis muslimah bernama Aina. Lantas, sikap seperti apa yang akan diambil Aina begitu tahu Ridho ternyata pecinta sesama jenis?
VIEW MORE

Chapter 1 - Kecurigaan Aisya

Zulaika terus saja geleng-geleng kepala, dia tidak habis pikir bagaimana bisa orang-orang saat ini mendukung suatu kaum yang sangat dibenci oleh Allah dengan dalih hak asasi. Sementara di sisi lain mereka berseteru dengan pernikahan dini, pernikahan beda usia, pernikahan antar sepupu yang sudah jelas sah dimata hukum dan agama.

Namun, dunia sudah berubah. Tak ada lagi norma-norma agama yang dijunjung tinggi karena tergantikan dengan kesenangan dunia semata. Berkali-kali juga Zulaika mengelus dada, merasa miris dengan video dua orang pemilik terong saling mengulum. "Astagfirullah," ucap Zulaika.

Ridho yang baru bangun tidur, bertanya dengan suara khasnya, "Bunda kenapa?"

Zulaika meletakkan ponselnya, dia menatap Ridho yang berdiri sambil memegang segelas air putih di tangannya. Rasa syukur tak pernah berhenti dari mulut dan hatinya, dia menjadi Ibu yang berhasil mendidik putra dan putrinya sehingga menjadi manusia bermoral.

Muhamad Ridho Saputra—putra sulungnya itu sungguh jauh dari tanda-tanda menyimpang. Dia terlihat seperti ayahnya, gagah dan berwibawa. "Nggak, Dho. Bunda tuh cuma miris aja ngeliat video terong ketemu terong kissing, kok ada yang orang-orang kaya mereka," ujar Zulaika.

"Yaudahlah, Bun. Biarin aja mereka kaya gitu, toh nggak merugikan Bunda dan yang lainnya. Lagipula mereka itu punya hak untuk hidup dengan siapa," terang Ridho bijaksana.

Zulaika menarik sudut bibirnya, senyum tipis terukir di wajahnya. Meski usia sudah memasuki setengah abad, tetapi mukanya masih seperti wanita 40 tahun. "Ya emang sih, Dho. Tapi 'kan sayang aja, emangnya cewek udah habis ya? Wong cewek aja banyak di dunia ini," balas Zulaika tak ingin kalah.

"Bunda ini, ndak semua orang nyaman dengan hubungan lawan jenis, Bun. Mereka pasti nyari yang bisa nerima kekurangan mereka, dan misalkan cuma didapat dari sesama ya, why not?" Ridho menarik turunkan alisnya sambil menyengir kuda, tetapi bagi Zulaika pembelaan sang putra sungguhlah aneh.

Namun, segera dia tepis semua pikiran buruk yang sempat hadir. Zulaika tak ingin berandai-andai atau menebak jika Ridho salah satu bagian dari mereka, dia sangat yakin jika putranya pria normal. "Kamu ini belain mulu setiap kali Bunda ngomongin itu!" ujar Zulaika, "lagian nih, Dho. Dosa tau kalau kita ngeliat sesuatu yang salah tapi cuma didiemin," sambungnya.

"Tau ahk! Bunda mah kebiasaan gitu, dibilangin berkali-kali nggak usah ikut campur, Bun. Toh nggak ada sangkut pautnya sama Bunda," cetus Ridho. Tak ingin lagi berdebat dengan Zulaika apalagi di pagi hari, Ridho memutuskan beranjak pergi. Lagian waktu pagi seharusnya dinikmati dengan senyuman. "Ridho mau telepon Tya aja, enak dapet semangat pagi. Kalau ngobrol sama Bunda bikin sakit kepala," ucap Ridho sebelum ia naik ke tangga menuju kamarnya.

"Dho, kamu jangan telponan mulu sama Tya, dong. Ajak dia juga temuin Bunda sama Ayah, kami juga pengen liat pacarmu itu," pinta Zulaika.

Ridho menghentikan langkahnya, dia memutar tubuh melihat sang bunda duduk di sofa ruang tengah. "Tya ada di luar negeri, Bun. Nggak tau kapan pulangnya," balas Ridho.

Tibanya di kamar, Ridho mengambil ponselnya yang ia charger di atas nakas. Lalu menghubungi seseorang, meski hubungan ini sudah terjalin hampir tujuh tahun, tak bisa dipungkiri rasa itu masih sama seperti dulu.

"Hallo, Sayang." Suara di seberang sana terdengar manja, merdu, tetapi sedikit ngebass.

"Good morning, Honey. Nanti aku ke rumah, kamu mau makan apa?" tanya Ridho pada pacarnya itu.

"Apa aja, asal kamu bawain pasti aku makan."

"Oke deh, aku siap-siap dulu. Dadah, Tio Sayang." Ridho mematikan sambungan teleponnya.

Akan tetapi, di luar kamar ada gadis remaja yang tak sengaja menguping obrolan kakaknya di telepon. Dahinya mengeryit begitu nama asing di sebut Ridho. "Tio sayang?" gumam Aisya. "Siapa Tio?" Lagi-lagi gadis berkerudung hitam ini terus bertanya.

Rasa ingin tahu, menuntun Aisya masuk ke kamar kakaknya. Beruntung Ridho sudah lebih dulu berada di kamar mandi, meski ia menjatuhkan barang di sini pun tak akan terdengar karena suara keran air yang mengalir.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Aisya berusaha membuka ponsel Ridho yang terkunci. Dua kali sudah dia memasukan kata sandi yang salah dan tinggal satu kesempatan tersisa. Aisya terus memutar otaknya, mencari angka yang pas hingga sebuah ide datang. "Yes berhasil!" sorak Aisya dengan suara kecil, tanggal jadian sang kakak dengan Tya adalah sandinya.

Selama ini, hanya sekali Ridho menunjukan wajah Tya pada keluarga selepas itu tak pernah lagi, ribuan alasan dilontarkan sang kakak setiap kali Aisya meminta Ridho membawa Tya.

Tak ada yang salah pada wallpaper ponsel Ridho karena hanya foto dia sendiri. Aisya membuka galeri, alisnya bertaut begitu banyak foto sang kakak dengan instruktur gym berduaan saling merangkul. Bukan hanya itu ada banyak gambar lagi yang membuat dada gadis bermata coklat ini sesak. Ridho dan pria itu saling berpangutan mesra seperti kekasih. "Astagfirullahaladzim, apa ini?" Ais menutup mulutnya sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihat.

"Ais, kamu ngapain di kamar Abang?" tegur Ridho dari pintu kamar mandi.

Aisya langsung terkesiap, dengan cepat ia menekan tombol kembali dan melemparkan ponsel Ridho ke kasur. "Ayo mikir Ais," ucapnya dalam hati.

Lirikan mata Ridho mengarah ke ponselnya di kasur, beruntungnya itu masih ada di sana. "Kamu mau ngapain berdiri di dekat kasur Abang, Ais?"

"A-a-aku mau pinjem sendal Abang, sendal Ais putus!"

"Sendal?" Dahi Ridho mengkerut, alasan tak masuk akal dari Aisya membuat dia curiga. "Sendalmu kan banyak, Dek. Lagian ukuran sendal kita beda loh."

"Ah, Bunda manggil Ais, udah ya, Bang." Gegas Ais melangkah keluar dari kamar Ridho, sampainya di depan anak tangga ia menarik napas panjang-panjang. Semoga kakaknya tak curiga.

Aisya mendaratkan bokongnya di samping Zulaika, tenggorokannya terasa kering karena syok mengetahui rahasia Ridho. Tak peduli gelas miliki siapa di meja, Aisya langsung menyambarnya dan menandasnya hingga tak tersisa. "Alhamdulillah, segarnya," ucap Aisya.

"Kamu kenapa, Dek? Kok, kaya dikejar-kejar demit gitu?" tanya Zulaika.

Aisya menggeleng pelan lalu berkata, "ini lebih dari demit, Bun. Lebih serem bentuk perwujudannya."

"Kamu ini ngomongin apa sih?" Zulaika memegang kening Aisya, siapa yang tahu jika anaknya itu kesambet setan mana. "Adem kok."

Aisya mengerucutkan bibirnya, ia juga menurunkan lengan Zulaika. "Bun, kalau Ais cerita pasti—"

"Bunda, Ridho berangkat dulu ya." Suara bariton sang kakak langsung membungkam mulut Aisya, seketika raut wajahnya berubah jijik melihat Ridho.

"Iya, hati-hati ya, Nak. Pulangnya jangan malam-malam, doa Bunda yang terbaik buat kamu, Bang," ujar Zulaika.

Ridho meraih lengan Zulaika, dicium punggung tangan wanita yang sudah melahirkannya ini dengan penuh hormat. "Makasih Bunda doanya."

Kini gantian tangan Ridho yang terulur ke arah Aisya, tetapi adiknya itu menggeleng. "Maaf, Bang. Tangan Ais kotor," tolaknya halus, padahal dia hanya jijik menyentuh Ridho. Dosakah Aisya? Entalah dia tak peduli.