Suara sol sepatu yang beradu dengan lantai, cukup membuat bising para penghuni apartemen tersebut. Namun, itu sama sekali tak membuat Aisya peduli, baginya apa yang ada di kamar apartemen 305 harus segera dihentikan.
Awalnya Aisya sama sekali tak peduli dengan kehidupan pribadi sang kakak, tetapi kejadian tadi pagi serta banyaknya bukti Ridho dan Tio berhasil membuatnya geram. Dan berakhir memilih untuk membututi Ridho tanpa sepengetahuan abangnya itu. Bodohnya Aisya, dia tidak mengambil gambar untuk ia simpan dan membuat gadis berkerudung hitam ini kesal.
Terlebih petaka akan datang ke keluarga, cacian dan hinaan dari warga 62+ akan menghancurkan nama besar Saputra. Belum lagi, sang bunda. Ya Tuhan mengapa cobaan datang begitu berat.
Di sisi lain—tepatnya di dalam apartemen Ridho dan Tio sedang asik menikmati sarapan pagi hari dengan canda tawa. Keduanya terlihat sangat manis saat memadu kasih. Bagai dunia milik berdua yang lain ngontrak, mereka tak peduli akan dosa yang dicatat malaikat.
Suapan demi suapan sepetong roti masuk ke mulut Ridho melalui bibir Tio, terkadang hal tersebut menjurus ke adegan dewasa lainnya. Kecupan yang berakhir lumatan panas membangkitkan gelora di dada. "Hari ini kamu ganteng, Sayang. Apalagi pake kaos kuning ini, makin manis," ucap Ridho sambil mengelus pipi Tio.
"Iya dong, kan kamu suka warna kuning jadi aku pake warna kuning. Kamu inget juga 'kan, ini yang beli kamu loh," balas Tio, suaranya terdengar manja menjijikan. Ridho hanya menanggapi dengan anggukan kecil serta ulasan senyum simpul.
Sungguh miris kelakuan dua orang sesama jenis ini, mereka sendiri tak sadar jika yang dilakukan sudah menimbulkan lara di bumi ini. Langit seakan menangis serta murka dengan mendatangkan hujan dan petir saling sahut menyahut. Tak terima dunia indah yang seharusnya diciptakan untuk Adam dan Hawa kini tergantikan oleh Adam dan Asep.
Kini rasa dingin itu menghinggapi keduanya, ditambah bisikan setan yang menggoda untuk melanjutkan sesuatu ke lebih intim. Ridho membopong Tio ala bridal style dan membawanya ke atas peraduan yang mengantarkan mereka ke lembah kemaksiatan.
Lenguhan dari bibir keduanya memenuhi isi ruangan, Tio menjambak rambut Ridho tak tahan dengan rasa geli yang ia dapati saat lelaki di atas tubuhnya memberikan kecupan kecil di puting, mengalirkan sengatan listrik ke seluruh sel-sel tubuhnya.
Akan tetapi, keindahan nirwana masih terlalu tinggi untuk digapai. Suara lantang dari seorang adik yang hatinya terluka begitu memekikan telinga. "Bang Ridho! Astafirullahaladzim, apa yang kalian lakukan, Bang!"
Ridho dan Tio sejenak terpaku, lalu dengan cepat keduanya merapikan kembali pakaian yang berserakan di lantai. Bahkan saking paniknya kaos yang dipakai Ridho terbalik. "A-a-ais, kamu lagi apa di sini?" Ridho berbicara dengan terbata-bata, tubuhnya bergetar hebat saat tatapan staf keamanan di belakang Aisya menatap jijik kearahnya.
"Aku yang tanya, kalian ini lagi apa? Bang, kamu ini lelaki tapi kalian berhubungan sesama jenis? Menjijikan, Bang!" maki Aisya, matanya terasa memanas, miris melihat penyimpangan yang bersliweran di media kini terpampang nyata di hadapannya.
"Kalian semua keluar! Ini bukan tontonan!" usir Ridho ke staf keamananan. "Ais, maafkan Abang. Abang tau ini salah, tapi aku nyaman sama hubungan ini. Tio orang yang mengerti aku, Dek," ucap Ridho memelas, disetujui anggukan kepala oleh Tio.
"Nyaman? Paling mengerti?" Nada Aisya mencibir Ridho, dia tak segan meludah ke arah kakanya. "Otakmu di dengkul, Bang! Ayah sama Bunda nyekolahin kamu tingi-tinggi buat jadi orang pinter, bisa bedain mana yang baik dan buruk! Bukan jadi orang goblok kaya gini!"
Degh
Jantung Ridho seakan berhenti berdetak, perkataan Aisya sungguh menusuk hingga membuat dadanya sesak. Delapan belas tahun ia melihat Aisya tumbuh, tetapi tak sedikitpun remaja ini berkata kasar padanya. Akan tetapi sekarang, pilu rasanya. "Dek, jaga bicaramu. Aku ini Abangmu loh!"
"Kamu nggak pantas aku panggil Abang, apalagi cowok setengah kaya kamu!" balas Aisya sewot.
"Woi, cabe rawit! Lu itu nggak ada tata krama apa, ya! Bicara yang sopan sedikit sama Abang lu!" timpal Tio, tak terima kekasih hatinya dihina.
"Diem lu, cucu Dajjal! Ini urusan keluarga gue," sahut Aisya ketus. Tio tak terima dengan ucapan Aisya, bergerak maju untuk memberikan pelajaran pada gadis remaja, tetapi Ridho segera menahannya.
"Tio, jangan coba-coba kasar sama adik aku, ya!" peringat Ridho. Tio mencebik kesal karena amarahnya tak tersampaikan.
"Kalau bukan karena Abang lu ini, udah gue sumpel mulut lu pake cawet gue yang udah bau terasi," ujar Tio.
"Dih, najis!" Aisya kembali meludah ke arah Tio. "Inget ya, Ridho Saputra! Lu lahir bukan keluar dari pohong pisang, ada Bunda dan Ayah yang ngerawat lu. Sumpah, gue nggak akan pernah maafin lu kalau sampai Bunda atau Ayah denger hal ini dan kenapa-napa sama mereka!" Aisya berbicara penuh penekanan, bahkan ia tak sungkan menunjuk tepat ke wajah Ridho.
Ridho menunduk, wajah dua orang yang sudah berumur menari-nari di benaknya. Bayangan saat Zulaika tertawa kini harus tergantikan oleh deraian air mata, sungguh membuat dadanya terasa sesak terhimpit penyesalan yang terlambat. Apalagi, murka Bambang sangat menakutkan melebih iblis, pastilah dia akan dicincang menjadi serpihan-serpihan kecil lalu dibuang ke ikan hiu. "Ya Allah, aku harus gimana?" ucapnya dalam hati.
Meski hati sudah gelap, tetapi meninggalkan setitik cahaya redup di sana. Teringat akan dosa yang baru saja ia lalui beberapa menit lalu membuat sinar itu kembali terang. Akan tetapi yang namanya setan tak akan pernah menyerah untuk menghasut manusia-manusia kurang iman, agar mengikuti jejaknya ke lembah neraka.
"Bunda sama ayah akan paham kalau aku cerita, Dek? Ini mengenai hak asasi manusia, tentang pilihan hati. Aku bisa hidup dengan siapapun yang aku mau, di luar negeri juga banyak kok kayak kami. Aku dan Tio saling cinta, kita udah ngejalani hubungan ini hampir tujuh tahun." Ridho mengatakan hal ini adalah normal, bahkan dia menatap manik coklat milik Tio penuh cinta. Membuat Aisya seketika mual ingin muntah.
"Iya, Ais. Aku sama Ridho saling cinta. Kami nggak salah. Bukankah Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan," ujar Tio.
Sontak Aisya dan Ridho langsung terbatuk mendengar ucapan Tio yang menurut lelaki itu benar. Mereka berdua kompak mendelik ke arah pria lembek kaya kerupuk seblak di samping Ridho.
Ridho jelas tau perkataan Tio sangatlah salah, meski Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, itu ditujukan untuk wanita dan lelaki. Bukan kaum belok seperti mereka, biar bagaimana pun didikan agama sudah Ridho kantongi sejak kecil. Sementara Aisya, langsung berkacak pinggang sambil mencak-mencak.
"Woi, cucu dajjal! Lu ngaji cuma nitip sendal doang di TPA, terus habis itu lu sibuk ngejar layangan? Nggak ada istilah cowok sama cowok, Bego!" ketus Aisya, dia bahkan harus mengelus dada berkali-kali karena saking emosinya. "Apalagi dua pasangan gay kaya kalian."
Aisya berkali-kali beristigfar karena sudah terpancing amarah. "Dan satu lagi …." Aisya tak melanjutkan ucapannya, begitu sadar raut wajah Ridho berubah menjadi pias serta buliran keringat sebesar biji jagung mengalir di kening sang kakak.
"Ternyata selama ini kamu gay, Nak?" ucap Zulaika. Aisya langsung menoleh ke belakang, dilihatnya sang ibu mulai terhuyung lalu terjatuh tak sadarkan diri di lantai.
"Bunda!"