Seminggu selepas kejadian yang memalukan untuk keluarga Bambang, kini keadaan di rumah sedikit kondusif. Zulaika pun sudah diizinkan pulang, begitu juga Ridho yang sekarang memilih berdiam diri di rumah, semua pekerjaanya ia bawa ke rumah.
Sebagai seorang eksekutif muda, bukan masalah bagi Ridho mengurus pekerjaan di rumah. Dia bisa meminta sekretarisnya untuk mengirim setiap laporan melalui email dan sesekali saja ke kantor bila ada meeting penting dengan klien.
Bukan hanya itu, menjauhi dari api akan lebih baik daripada membumbui lagi dengan bara. Meski hubungan terlaknat mereka belum usai, baik Tio maupun Ridho sama-sama mengerti untuk memilih diam. Bukankah diam itu emas?
Lain hal dengan Zulaika, lara itu masih ada membekas sempurna di lubuk hati terdalam. Berkeluh kesah pada Sang Ilahi di sepertiga malam seperti ini yang bisa dia lakukan.
"Ya Allah, entah hasil dari dosaku yang mana kelakuan Ridho saat ini, aku sebagai ibunya merasa kecewa. Merasa marah pada diri sendiri karena gagal menjaga amanah yang Engkau titipkan." Buliran bening kristal menyeruak di pelupuk mata Zulaika. Rasa sesak kian memenuhi dada, tetapi sedikit pun enggan ia beranjak. "Ya Allah, jika yang dilakukan Ridho suatu kekhilafan mohon diampuni segala dosanya, tapi jika itu memang datang dari hatinya, bukakanlah mata hatinya agar kembali ke fitrahnya sebagai lelaki normal … amin." Zulaika mengusap wajah dengan kedua tangan, sedikit lega karena melepaskan beban di hati.
Niat untuk ke kamar mandi ia urungkan begitu mendengar isakkan di mushola dekat ruang tengah, Aisya berdiri di ambang pintu melihat punggung Zulaika "Bunda," panggilnya lembut.
"Dek, kamu kok bangun?" Zulaika mengusap sisa-sisa air mata dengan ibu jari. Malu jika Aisya melihatnya seperti wanita lemah. Dia menoleh ke arah Aisya.
Aisya berjalan menghampiri Zulaika. "Bunda sabar ya, semoga aja Bang Ridho balik normal lagi." Aisya memilih berbaring, meletakkan kepala di paha sang bunda.
Zulaika mengangguk, dielusnya surai hitam Aisya dengan perlahan penuh kasih sayang. "Iya, Ais. Bunda hanya kecewa sama diri Bunda sendiri, gagal ngedidik Bang Ridho."
"Bun, sebenarnya Ais punya ide. Tapi nggak tau ini berhasil atau engga," ujar Aisya, dia beringsut bangun lalu menatap Zulaika penuh arti.
"Ide apa, Dek?"
"Begini, Bun. Aku punya kenalan dia itu kakak sepupu temenku, dia itu masih muda, cantik, sholehah. Aku aja suka sama dia malah pengennya dia jadi kakak iparku, tapi Bang Ridho malah." Keceriaan yang tadi hadir di wajah Aisya hilang begitu dia berbicara mengenai Ridho.
"Sudah, Dek. Bunda ngerti kamu kecewa sama Bang Ridho, tapi sekarang harus mikir gimana biar abangmu itu normal," tutur Zulaika.
"Nah, itu yang pengen Ais bilang! Bang Ridho sama Mbak Aina kita jodohin aja, Bun. Siapa tau kalau Bang Ridho nikah sama Mbak Aina sifat gay nya hilang. Masa dikasih yang cantik, bemper depan belakang oke, masih menolak dan memilih triplek bangunan kaya Tio," cerocos Aisya panjang lebar.
Zulaika memilih diam, memikirkan perkataan Aisya. Ada benarnya yang dikatakan sang putri, mungkin ini juga jalan dari Illahi untuk petaka di keluarga mereka. "Kita bicarain sama Ayah, kalau Ayah setuju bunda ikut."
***
Zulaika sudah berkata terus terang pada Bambang mengenai ide Aisya dan alhamdulillah, suaminya juga setuju. Sekarang mereka sedang berada di ruang makan untuk membahas perjodohan tersebut sambil menikmati sarapan bersama.
"Menurut kamu gimana, Dho?" tanya Bambang disela mengunyah.
Ridho diam, jelas dia tak akan setuju dengan perjodohan ini. Apalagi menikah dengan Aina orang yang tak ia cinta. Baginya Tio segala-galanya, hidup tanpa Tio sama saja sayur tanpa garam akan hambar rasanya. "Ridho nggak mau, Yah."
Bambang menggebrak meja, penolakan Ridho langsung membuatnya naik pitam. "Terus kamu maunya sama siapa? Sama belatung sampah kaya Tio! Gila kamu, Dho!" ucap Bambang lantang.
"Iya, Yah. Ridho udah cinta sama Tio. Nggak ada wanita, cuma lelaki macam Tio yang aku mau!" pungkas Ridho tak kalah lantang.
Zulaika kembali merasakan sesak di dada, berkali-kali harus menarik napas panjang untuk memasok oksigen ke paru-paru. Sementara Aisya, remaja itu mencebik kesal. Antara geli ingin ketawa bercampur marah, seharusnya Ridho mengatakan kalau ia mencintai wanita bernama siapa pun pacarnya. Akan tetapi kakaknya itu malah berkata lelaki, sudahlah dunia mau kiamat mungkin.
"Sampai lebaran monyet datang, sampai Ayah mati atau kiamat datang hari ini. Ayah nggak akan setuju kamu sama Tio!"
"Sama kaya Ridho, Yah. Aku juga nggak akan mau nikah sama wanita yang namanya Aina!" Ridho langsung beranjak bangun, begitu juga Bambang. Tak peduli hari masih pagi dan dia baru saja meminta maaf karena nyaris membunuh sang putra di rumah sakit kepada Gusti Allah. Kembali dia melayangkan tinjunya pada Ridho, dilanjut dengan tendangan telak di bagian pinggang.
Ridho sedikit membungkuk sambil memeluk dirinya sendiri. sakit jangan ditanya. Ayahnya ini pandai karate dan sudah sabuk hitam, pastilah tendangannya begitu terasa, nyaris menerbangkan nyawa Ridho ke alam lain.
"Ayah!" pekik Aisya dan Zulaika bersama, keduanya saling merangkul. Aisya berusaha menguatkan sang bunda atas kekasaran sikap Bambang pada Ridho.
"Terus aja pukulin Ridho, Yah. Sampai Ridho mati, lagian aku ini anak pembawa sial, cuma bikin aib doang di keluarga!" raung Ridho, dia benar-benar tak ingin menambah dosa dengan membalas perbuatan Bambang.
Sontak Bambang langsung berhenti, sadar akan kekhilafannya kembali. "Astagfirullah, maafkan aku, Ya Allah," lirihnya sambil menarik napas. "Keputusan Ayah sudah bulat, kamu akan nikah sama Aina! Nggak ada penolakan lagi atau Ayah lempar kamu dari gedung kantor Ayah!" ancam Bambang dan pergi begitu saja.
"Sini, Bang. Biar Bunda obatin luka kamu," tawar Zulaika. Ridho mengangguk, dia mengikuti langkah bundanya duduk di sofa, sedangkan Aisya mengambil kotak P3K di dapur.
"Maafkan Abang, Bun. Udah buat Bunda kecewa, mending aku pergi aja dari rumah ini." Mata Ridho berkaca-kaca, perih yang dia dapat dari pukulan Bambang tak sebanding dengan luka hati Zulaika.
"Nggak, Bang." Zulaika menggeleng, "kamu anak Bunda, nggak akan pernah Bunda izinin kamu selangkah aja pergi dari rumah ini, baik buruknya moral Abang itu karena kesalahan Bunda yang nggak pinter ngedidik Abang, mungkin ini juga bentuk teguran dari Allah agar Bunda lebih memfokuskan diri mengurus anak-anak Bunda, bukan sibuk sama sesuatu yang nggak berguna," ujar Zulaika panjang lebar.
"Bukan Bunda yang salah, tapi Ridho yang salah. Orang kaya aku ini nggak akan pernah sembuh, Bun. Aku ini penyakit, Ayah juga ngomong benar, hukuman yang pantas buat aku dilempar dari gedung tertinggi," balas Ridho, ilmu agama yang dia kantongi tak membuatnya bisa terlepas dari jerat bisik setan. Namanya manusia terkadang dosa tak pernah dihindari sedangkan iman hanya seujung kuku.
"Kun fayakun, nggak ada yang nggak mungkin atas kuasa Allah di dunia ini. Abang harus percaya kalau Abang bisa sembuh—"
"Tapi Abang cinta sama Tio, Bun!" potong Ridho cepat, dia tau kemana arah tujuan Bundanya bicara dan itu sering didengar saat ustadz ceramah.
"Lupain Tio, Bang! Itu salah, dosa kalau kamu terus-terus kaya gini!" Sifat keras kepala Ridho tak jauh beda dari Bambang, tetapi suaminya itu baik dalam segi apa pun, sedangkan Ridho hanya bisa membuat Zulaika beristighfar sebanyak-banyaknya.