Chereads / Suamiku Seorang Gay / Chapter 3 - Petaka Keluarga

Chapter 3 - Petaka Keluarga

"Bunda," lirihnya.

Dosakah Ridho karena berhasil menyakiti hati wanita yang suci? Bahkan sekarang bundanya terlihat tak berdaya dengan selang di sekujur tubuh.

Bahkan sekedar mendekat dan menyentuh telapak tangan yang sudah menggendongnya sejak kecil, kini terasa sulit karena kaca lebar dan Aisya yang menjadi penghalang.

Setidaknya, sedikit rasa lega masih bisa Ridho rasakan begitu dokter mengatakan ibunya baik-baik saja.

"Puas lu, Bang? Lihat Bunda sekarang sampai kena serangan jantung kaya gitu?" cecar Aisya. Remaja ini sama seperti Ridho, tersirat di matanya kesedihan mendalam penuh sesal, luka dan amarah yang ditujukan untuknya.

Namun, amarah Ridho bukan untuk Aisya yang terus memakinya. Melainkan untuk dirinya sendiri karena gagal menjadi anak yang dibanggakan. "Maaf, Dek. Andai tahu begini Abang nggak akan ngelakuin ini," cicit Ridho. Dia sendiri tak sanggup memandang adik kecilnya itu, rasanya banyak kotoron yang menempel di tubuh sehingga hina sekali.

"Ck, maaf! Maaf lu nggak akan berguna kalau sampai Bunda meninggal, dan tunggu aja sampa Ayah datang, habis lu di maki sama dia."

Baru saja Aisya mengecap, Bambang datang tergopoh-gopoh. Dadanya naik turun mengatur pernapasan yang terasa sesak. Petaka keluarga hampir saja membuat ia kehilangan nyawa saat perjalanan ke rumah sakit karena kehilangan kontrol kemudi, beruntung Allah masih melindunginya. "Bunda gimana keadaannya, Dek?" tanya Bambang, terlihat guratan kecemasan di wajah tuanya.

"Alhamdulillah, Yah. Bunda baik-baik aja, tadi dokter bilang bunda anfal, untungnya aku sama Bang Ridho cepet-cepet bawa ke sini," terang Aisya menatap sinis ke arah Ridho.

Yang ditatap hanya diam menunduk, menarik napas panjang melakukan persiapan sebelum ….

Ridho terjungkal ke belakang membentur kursi panjang yang biasa digunakan untuk duduk menunggu keluarga pasien. Benar dugaan Ridho, Bambang akan menghajarnya habis-habisan. "Ma-ma-maaf, Yah."

"Dasar anak sialan! Kurang apa Ayah selama ini didik kamu, Dho! Gini balasan kamu sama Ayah? Kamu tega ngelempar kotoran ke wajah Ayah!" maki Bambang, dia langsung berhambur ke arah Ridho. Didorongnya sang putra hingga terlungkup ke lantai, lalu dengan sekali tarikan di pundak Ridho. Keduanya sudah bersitatap, tanpa menunggu lama lagi Bambang langsung memukuli wajah Ridho hingga memar.

Aisya memalingkan muka, dia tak tega melihat Ridho dipukul oleh Bambang. Jelas rasanya sebagai seorang adik pasti sakit melihat kakaknya sengsara, tetapi di sisi lain dia merasa itu pantas Ridho dapatkan.

"Mati aja kamu, Dho! Anak nggak tahu diri, bisanya bikin malu keluarga. Lebih baik otakmu hancur aja!"

Bambang sudah memegang kepala Ridho, bersiap membenturkan kepala sang putra ke lantai. Beruntung kegaduhan tersebut berhasil dilerai oleh pihak keamanan rumah sakit. "Maaf, Pak. Jangan buat keributan di sini, kalau mau berkelahi silakan keluar!" ucap Chief Security bertubuh gempal kulit sawo mateng.

Bukannya meredam, emosi Bambang kian memuncak, tak terima dengan perlakuan security tersebut. "Nggak usah ikut campur urusan orang lain, Pak! Saya lagi ngedidik anak yang nggak tau diri ini!"

Aisya menghampiri Bambang, ditariknya sang ayah hingga menjauh dari Ridho. "Yah, nanti kita urus Bang Ridho di rumah, sekarang kita fokus dulu ke Bunda," ujar Aisya lembut, sesekali mengusap buliran bening yang jatuh di pipi.

Bambang menghela napas panjang, sedikit demi sedikit emosinya mereda tak kala ingat kondisi sang istri yang lemah. Dia saja sampai kalap ingin membunuh Ridho karena amarah dan kecewa, apalagi Zulaika yang telah melahirkan.

"Astagfirullah. Ya Allah, maafkan hamba yang melampaui batas," ucap Bambang sembari mengurut dadanya yang terasa sesak. "Ridho, kamu pulang aja! Tunggu Ayah di rumah," titah Bambang. Ridho mengangguk kecil, dengan sempoyongan ia berjalan menjauh dari depan kamar rawat Zulaika.

"Dek, beliin Ayah minum! Capek habis marah-marah tadi." Bambang menyodorkan uang lima puluh ribu dari sakunya ke Aisya.

"Iya, Yah."

***

Sementara itu, gadis cantik berkerudung lebar navy tengah menunggu di ruang tunggu bersama orang-orang lainnya. Dia sesekali tersenyum membalas pesan singkat dari kawan sejawatnya. "Ada-ada aja sih Anggi," gumamnya.

"Ibu Aina!" panggil petugas apoteker dengan mikrofon.

Aina yang merasa disebut namanya gegas menghampiri apoteker yang berdiri di belakang etalase. "Saya, Mbak," ucap Aina ramah.

"Oh iya, ini obatnya, Mbak. Diminum setelah makan tiga kali sehari ya." Mbak berhijab putih tersenyum manis ke arah Aina sambil menyerahkan sekantong kresek biru kecil.

"Iya, Mbak. Makasih ya." Aina menerima kantong obat, lalu memberikan lima lembaran merah ke petugas.

Selepas mengambil obat, Aina langsung keluar ke rumah sakit. Dia berjalan dengan sangat cepat sampai tak menyadari ada seseorang di depannya yang berjalan gontai.

Tubuh mungil Aina tak sengaja ditabrak bahu wanita tersebut sampai jatuh. "Aduh, Mbaknya kalau jalan lihat-lihat bisa enggak?" Omelan Aina yang singkat sama sekali tak dijawab. Kecuali uluran tangan mungil membantunya memasukan obat kembali ke kantong kresek.

"Maaf, nggak sengaja."

Aina mendongak, dipindai wajah gadis remaja di depannya. "Loh, Aisya," ucap Aina. Aisya tersenyum.

"Iya, Mbak. Maafin Ais, aku nggak sengaja," ujar Aisya. Aina mengangguk.

Mereka memilih mengobrol di warung tenda depan rumah sakit, Aina juga mentraktir Aisya segelas es jeruk. Padahal dia ingin mengajak teman adik sepupunya untuk menyantap pecel ayam, tapi Aisya malah menolak dengan alasan masih kenyang.

"Kamu udah lama nggak main ke rumah, Dek. Dion suka banget nanyain kamu ke Dita." Aina memulai obrolan kecil. Dion dan Dita adalah dua sepupu kembar anak dari Bibinya.

"Lagi sibuk, Mbak. Jadi nggak sempet main," ujar Aisya.

Alis Aina bertaut, perasaannya mengatakan kalau remaja ini sedang terlibat masalah. Namun, enggan menyelimuti pikirannya sekedar bertanya ada apa.

"Bunda sakit, Mbak. Ais di sini nemenin bunda gantian sama ayah." Aisya akhirnya buka suara.

"Inalillahi, sakit apa?"

"Tadi pagi bunda anfal, Mbak. Ini juga karena Bang Ridho, coba aja kalau Bang Ridho engga …." Seakan sadar akan sesuatu, Aisya langsung membungkam mulutnya dengan menenggak habis es jeruk yang sedari tadi dianggurin. "Maaf, Ais haus, Mbak."

Aina hanya mengangguk kecil, dia juga menyedot es jeruknya. "Terus Bunda gimana?"

"Bunda baik-baik aja sekarang."

"Alhamdulillah."

Aina memang sedikit tahu tentang keluarga Aisya, orang tua mereka memiliki ikatan kerja sama. Terus Ridho juga denganya dulu satu sekolah di SMA dan perguruan tinggi, hanya saja Aina tidak terlalu dekat dengan lelaki itu.

"Mbak kok sendiri? Pacar nggak ikut nganter?" tanya Aisya, dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru mencari seseorang yang tidak ada.

"Mbak nggak punya pacar, Ais. Lagian nggak akan boleh sama abah," jawab Aina santai. Abahnya Tino terkenal dengan sifatnya yang perfeksionis segala hal tentang Aina haruslah sempurna.

"Oh, sayang banget padahal Mbak Aina cantik. Ais juga mau kalau kakak iparnya Mbak Aina," puji Aisya tulus tanpa modus.

"Nggak panteslah, Dek. Bang Ridho juga udah punya pacar pastinya," balas Aina malu-malu.

"Iya, pacar laknat," ucap Aisya dalam hati. Entah wangsit darimana, ucapan Aina seakan memberi petunjuk untuk sesuatu yang gila di benak Aisya dan semoga saja berujung berkah. "Kalau misalkan Bang Ridho ngelamar, Mbak, mau terima nggak?"

Tiada badai, tiada ada hujan pertanyaan Aisya membuat Aina terkena serangan jantung kecil. Oh God, anak remaja ini berhasil membuat Aina terbatuk kecil karena syok. "Ngaco kamu, Dek. Udahlah, Mbak pamit dulu pulang, keburu magrib ntar," ujar Aina. Gegas ia meninggalkan warung tenda setelah membayar.

Sementara Aisya senyum penuh makna, dibenaknya sudah banyak rencana briliant untuk memisahkan duo terong-terongan tersebut.