Setelah menyisir rambutnya, Avery kemudian bersiap dan segera turun menuju lantai bawah untuk sarapan bersama Dom. Ia sedikit heran dengan keadaan mansion yang terlihat sepi saat dirinya sampai di ruang makan.
"Tak ada si kembar tiga?" tanyanya spontan.
Dom yang telah duduk di kursinya segera bangkit dan menarik kursi untuk Avery, mengisyaratkan agar Avery duduk di tempat yang telah ia persiapkan. "Mengapa kau tanyakan mereka? Apa kau merindukan para balon air?" goda Dom.
Avery menatap Dom dengan raut terkejut. "Bagaimana kau? Ah ... ya, benar," balas Avery. Ia baru teringat jika Dom dapat membaca pikirannya. "Apa kau senang mengetahui semua yang sudah kukatakan di dalam hati dan pikiranku sebelumnya, ha?! Kau menikmatinya, bukan? Mempermainkanku dengan seolah kau tak mengetahui apapun? Ck, serius, Teuan, apakah kau anggap itu lucu?" ucap Avery seolah kesal.
"Ya, sangat lucu!" gelak Dom. Ia kemudian kembali lagi ke kursinya. "Semua yang adandi pikiranmu sangat menarik! Kecuali bagian dimana kau sering mengataiku dan memakiku. Dan, hmm ... apa julukanmu padaku? Tuan Perayu yang Pemarah dan Moody?" tanya Dom sengaja menggoda Avery.
"Kau memang pantas mendapat julukan itu," balas Avery dengan tersenyum.
"Benarkah? Lalu bagaimana saat kau menyadari ketampananku dan berliur di dalam pikiranmu?" balas Dom lagi.
"Berliur?? Oh, please ... aku tak pernah seperti itu!" protes Avery merona.
"Oke, mungkin bagian yang 'berliur' adalah aku. Tapi jujurlah, apakah kau memang tergila-gila dengan perut berotot yang keras? Jika kau menginginkannya, kau tahu aku pun memilikinya, bukan?" ucap Dom bangga.
"Apa maksudmu? Mengapa aku harus tergila-gila pada perut berotot?" balas Avery.
"Karena sebelumnya kau pernah terkesan ketika memeluk otot perut seorang pria muda yang manis yang telah menolongmu berangkat ke kantor tempo lalu."
"Maksudmu Lex?!" Avery mengerti betul siapa yang Dom bicarakan.
"Siapa lagi? Kau bahkan ingin menjadikannya model designmu. Kau gadis yang nakal rupanya." Dom mengulum senyumnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Avery. "Katakanlah, apa kau ingin memintanya telanjang atau bagaimana? Karena kau tahu betul siapa yang bersedia melakukan itu untukmu jika kau memang menginginkannya," goda Dom lagi.
"Oh, hentikan, Dom!" ucap Avery seketika merona.
Dom tertawa penuh kepuasan setelah melihat perubahan wajah Avery. "Sudahlah, ayo kita makan," ucap Dom kemudian.
John dan Isabel kemudian muncul dengan hidangan yang telah mereka bawa masing-masing. Dan dengan sopan, mereka kemudian meletakkan sajian yang mereka bawa tersebut di hadapan Dom dan Avery.
"Silakan, makanlah selagi hangat, Sayang," ucap Isabel saat ia meletakkan hidangan milik Avery.
"Terima kasih, Isabel," jawab Avery.
"Bagaimana keadaanmu, Nona?" tanya John yang kemudian menuangkan minuman hangat untuk Avery.
"Aku baik-baik saja, terima kasih John," jawab Avery.
"Kalian memperlakukannya seolah ia adalah putri kalian sendiri. Apa kalian bahkan tak mempertimbangkanku dan memperhatikanku lagi?" ucap Dom seolah protes.
Isabel tertawa dan kemudian menghampiri Dom sambil membawa hidangan miliknya. "Jangan kesal, Tuan. Nona Avery baru saja pulih dari cideranya dan membutuhkan banyak perhatian. Anda kemarin juga baru saja bertemu dengan Nyonya besar, pasti beliau sangat senang dengan kedatangan putra tercintanya, bukan?"
"Ck! Wanita cerewet itu hanya bisa mengomeliku saja," gerutu Dom seolah kesal. Isabel hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Maksudmu, ibumu?" tanya Avery.
"Ya, dan besok ia pasti akan menjadi ibumu juga setelah aku membawamu menemuinya," goda Dom sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Tuan, tapi sebelum itu alangkah baiknya jika Nona telah siap," timpal John.
Dom bukannya kesal, ia malah tersenyum. "Aku tahu, John, aku mengerti. Aku akan memastikan ia aman dan siap saat ia menginjakkan kakinya di sana nanti," balasnya.
"Apa maksud kalian? I ... ibuku? Percakapan apa itu, aku hanya bertanya saja," gumam Avery. Sejujurnya ia begitu gugup dan merona saat Dom menyebutkan tentang ibunya tadi. Dom hanya tersenyum geli dengan reaksi Avery.
Setelah sarapan bersama, Avery memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia membenahi peralatan untuk pekerjaannya. Memasukkan laptopnya ke dalam tas khususnya, dan menata map design miliknya.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Dom saat ia masuk ke dalam kamar Avery lagi.
"Hanya membenahi pekerjaanku saja. Aku akan menelepon Clarita dan jika ia membutuhkn bantuanku, aku akan ke kantor segera."
"Dan kata siapa kau boleh keluar dari mansion ini?" tanya Dom lagi.
Avery menghembuskan napasnya perlahan. "Dom, bukankah aku sudah membaik?" Bahkan cideraku sembuh begitu saja secara ajaib," balas Avery.
"Bukan berarti kau boleh keluar dari sini. Dan ya, memang kau sudah membaik. Itu karena kemampuanmu sendiri. Tapi ada beberapa hal yang harus kau ketahui, Sayang." Dom memasang raut serius dan menghampiri Avery.
"Ikutlah bersamaku, Avery, aku akan menunjukkanmu sesuatu," ucapnya lagi sambil kemudian meraih tangan Avery.
Avery hanya mengikuti Dom dengan patuh. Ia memang ingin mengetahui apa sebenarnya telah ia alami. Maka, ia tak banyak tanya dan hanya mengikuti pria itu saja. Hingga saat Dom membawanya ke ruangan yang begitu gelap, Avery menarik tangan Dom dan berhenti seolah ragu.
"Apa kita harus masuk ke dalam?" tanyanya ragu-ragu.
Dom meraih kedua tangan Avery dan tersenyum padanya. "Tak perlu takut, memang ini sedikit gelap. Tapi percayalah, semalam kau bahkan telah kemari sendiri tanpa penerangan apapun," balasnya.
"Aku? Kapan aku kemari?"
"Ingat-ingatlah lagi Avery apa yang semalam telah kau alami. Semua yang kau kira mimpi itu adalah kenyataan. Dan semua benar adanya."
"A ... apa maksudmu? Jadi aku semalam berada di sini?" ucapnya tak percaya.
"Ya, Sayang, kami menemukanmu di sini semalam," terang Dom. "Dan saat kami menyusulmu, kau telah membuka segel Anima bersamamu."
"Apa? Segel? Segel apa yang kau maksudkan? Anima? Perusahaanmu?" tanya Avery tak mengerti.
"Bukan Anima perusahaanku, tapi 'Anima' dunia tempat tinggalku. Dunia asalku, dunia keajaiban dan kalian para manusia sering menyebutnya dengan dunia dongeng, peri, atau dunia fantasi. Semacam itulah. Dan kau, telah membuka segel yang seharusnya tertanam rapat-rapat di sana, di pintu masuk yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia Anima, dunia kami," jelas Dom.
Avery menganga dan mengerjap. Walau ia bisa saja menganggap semua ucapan Dom adalah gurauan belaka yang pria itu sengaja buat untuk menggodanya, tapi ia tak benar-benar yakin jika Dom sengaja melakukan itu. Melihat dari raut serius dan tatapan matanya, Avery yakin bahwa pria di hadapannya ini sekarang sedang mengatakan sesuatu hal yang sungguh-sungguh dan serius.
"Benarkah?" tanya Avery lagi. Dom kemudian mengangguk.
"Baiklah ... aku rasa, aku mungkin tak punya pilihan lain lagi selain mempercayaimu dan mengikutimu, benar?" ucap Avery kemudian.
"Benar, mari Avery, akan kutunjukkan padamu." Dom kemudian membimbing Avery untuk mulai menuruni anak tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.
Avery menelan ludahnya dan meremas jemari Dom karena kegugupannya. Walau begitu, ia tetap memberanikan diri.
____****____