Avery membuka matanya dan mengerjap. Ia mendapati Dominic sedang bersandar pada sisi jendela kamarnya. Ia tampak begitu bersinar dengan tempaan cahaya matahari pagi yang menyinarinya. Pria itu sedang berdiri dan menatapnya.
"Selamat pagi putri tidur," sapa Dom.
Avery mengerjap sekali lagi untuk memastikan penglihatannya. Benar, ia memang melihat Dominic di sana. Pria itu sedang bersandar di jendela bagikan seorang model yang sedang memeragakan produk iklan atau semacamnya. Ia kemudian tersentak dan segera bangun dari tidurnya.
"Kau tak apa? Kau nyata ...," ucapnya langsung mendekati Dom. Avery meraih wajah dan meraba Dom dengan tiba-tiba. Ia ingin memastikan Dom yang sedang berdiri di hadapannya adalah Dom yang asli. Bukan Dom yang sekujur tubuhnya berubah menjadi seekor serigala.
"Syukurlah ... itu hanya mimpi." Avery mendesah lega dan menghembuskan napasnya.
"Kau tak apa?" selidik Dom. Ia meraih kedua tangan Avery yang masih menekan dadanya.
Avery menggeleng perlahan. "Aku tak apa ... aku hanya bermimpi," ucapnya. "Mimpi yang aneh ... mimpi yang begitu nyata dan ... dan kau ... berubah. Lalu ada sinar ... ada yang memanggilku, entahlah ... hanya saja semuanya tampak seperti tak masuk akal ... tapi terasa sangat nyata. A ... aku tidak merasa itu adalah mimpi yang buruk, hanya saja ... semuanya nyata seakan aku mengalaminya," racaunya.
Dom mengangguk dan tersenyum. "Lalu, bagaimana dengan perasaanmu sekarang? Apa yang kau rasakan?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja ... aku tak apa-apa. Mungkin karena obat pereda nyeri yang aku konsumsi kemarin?" ucap Avery seolah tak yakin. Ia kemudian sedikit membeku dan menatap kedua kakinya yang sedang berdiri tegak.
"Ada apa?" tanya Dom.
"I ... ini tak terasa sakit lagi ...," gumamnya keheranan. Ia bahkan mulai menghentakkan kakinya. "Bagaimana bisa?" Avery menatap Dom dengan bingung.
"Asal kau tahu saja, tanpa kau sadari kakimu sudah pulih sejak kemarin, Avery," jelasnya.
"Ta ... tapi ... bagaimana?"
"Duduklah dulu," ucap Dom lembut sambil membimbing Avery kembali ke atas ranjangnya. Avery naik ke atas ranjangnya dengan takjub. Ia kemudian mengamati kakinya yang masih dibebat.
"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?" gumamnya lagi. Ia masih sibuk mengamati kakinya dan menekan-nekan bagian yang cidera dengan penasaran.
Ingat-ingatlah lagi, Avery. Ucap Dom dalam hati sambil menatap Avery penuh harap.
"Ingat-ingat apa?!" tanya Avery. Ia menjawab Dom, tetapi masih sibuk membuka bebat kakinya tanpa melihat Dom.
Dom terbelalak seketika karena Avery menjawabnya. Ya! Gadis itu menjawab apa yang ada dipikirannya!
Bagaimana bisa?! Apa kau dapat mendengarku!? Tanya Dom lagi dalam hatinya. Ia menganga sambil menatap Avery.
"Tentu saja aku bisa mendengarmu, Dom. Mengapa aku tak bisa? Lalu mengapa kau suruh aku mengingat ...." Avery mendongak, lalu menatap Dom dengan ucapannya yang masih menggantung. Ia mengerutkan alisnya karena Dom menatapnya dengan raut terkejut.
Avery, kau bisa mendengarku!!? Tanya Dom lagi dalam hati.
Avery menutup kedua mulutnya karena terkejut. Bagaimana bisa ia mendengar suara Dom bahkan ketika pria itu hanya diam saja dan tak menggerakkan bibirnya?! Avery menggeleng tak percaya.
Avery, tolong jawab aku. Apa kau dapat mendengarku, Sayang? Apa kau bisa mendengar apa yang kupikirkan? Avery!! Desak Dom lagi di dalam pikirannya.
"Bagaimana bisa, Dom?" lirih Avery. Dom lalu mendekati Avery dan mengerjap kagum. Ia duduk di samping Avery dan meraih wajah kebingungan gadis itu.
Katakan sesuatu dalam pikiranmu, Avery! Perintah Dom dalam hati. Ia menatap Avery penuh binar.
Apa yang harus kukatakan?! Tanya Avery membalas Dom dalam pikirannya.
"Oh, ya Tuhann!!!!" Avery terpekik seketika sambil menutup mulutnya lagi. Ia membulatkan kedua bola matanya pada Dom yang tergelak tak percaya.
"Lihat! Kau bisa mendengarku dalam pikiranmu kan, Sayang? Luar biasa!" ucapnya kemudian. Dom masih tertawa senang seolah bangga dan takjub.
"Ta ... tapi, bagaimana bisa Dom? Bagaimana aku bisa mendengarmu?! Maksudmu kita dapat saling berkomunikasi tanpa mengucapkan sepatah kata pun?"
"Ya, itu disebut telepati, Sayang," jelas Dom dengan wajah yang masih berbinar yang kemudian melembut. Ia mengusap wajah kemerahan Avery. "Kau dan aku sudah dalam tahap penyatuan, mungkin karena memang kau adalah 'mate-ku' dan kau sudah dapat menerimaku sepenuhnya, maka jiwa kita sudah terjalin. Dan perlu kau ketahui, Avery, kau bukanlah manusia biasa. Aku masih belum tahu siapa kau sebenarnya, tapi kau spesial," jelas Dom.
Avery membasahi bibirnya dan mengerutkan alisnya. Ia masih belum sepenuhnya menangkap maksud ucapan Dom padanya. "A ... apa artinya itu? Berarti semalam bukanlah mimpi? Saat kau berubah dan ...," tanyanya.
"Ya, Sayang. Semalam bukanlah mimpi. Dan ya ... itu berarti adalah kau milikku dan aku milikmu sekarang, Sayang," balasnya.
"Mi ... milikmu? Se ... sejak kapan?" lirihnya merona.
Dom tersenyum lembut. "Sejak semalam, sejak aku menandaimu. Yah, walau belum sepenuhnya aku bisa menandaimu karena aku harus memasukimu dulu, dan kita harus saling menyatu agar kau bisa menerimaku seutuhnya, tapi ... kau sudah sedikit memiliki diriku di dalam tubuhmu, Sayang." Dom mendekat dan berbisik mesra ke arah Avery.
"A ... apa yang kau bicarakan?!" balas Avery panik. Wajahnya merah padam dan seketika memanas. Penyatuan? Memasuki? Dom, apa kau mabuk?! Bagaimana bisa kau mengatakan hal vulgar seperti itu dengan wajah tenang?! Batin Avery panik.
Dom tergelak. "Sayang, apa kau tak ingat bahwa aku bisa membaca pikiranmu dan begitu juga sebaliknya?" ucapnya santai menanggapi kepanikan Avery dari dalam hatinya.
"Oh, ya ampun!!" teriak Avery sambil menutup mukanya karena malu.
"Kau sungguh menggemaskan," gumam Dom. "Ikut aku, Sayang." Ia kemudian membimbing Avery untuk berdiri dan membawanya duduk di depan meja riasnya.
Dom kemudian menyibak rambut Avery dan menggulung sepenuhnya rambut halusnya ke atas kepalanya. "Lihatlah jejakku pada dirimu," bisiknya di telinga Avery. Dom kemudian menyentuh permukaan kulit leher Avery yang penuh dengan bercak kemerahan akibat kissmark yang ia berikan semalam.
"Dan ini ... aku semalam menyatukan sedikit darahku dan dirimu melalui ini." Setelahnya, Dom beralih meraba sudut bibir Avery yang semalam terluka karena ia gigit kecil.
"Se ... semua, bukan mimpi?!" gumamnya kemudian. Ia mengamati lagi keadaan dirinya yang penuh dengan 'jejak' Dom. Dan lagi-lagi Avery merona serta memanas. Perasaan tergelitik mulai mengusik perutnya.
"Jangan terlalu bereaksi menunjukkan gejolak perasaanmu, Sayang, nanti aku kewalahan menghadapi feromonmu yang begitu memabukkan," ucap Dom sambil memejamkan matanya sekejap seolah sedang menghirup dan menikmati aroma Avery.
"Hmmm ... aku sudah mengantisipasi dengan suppressant sebelum datang ke kamarmu, tapi ... sepertinya obat itu tidak terlalu bekerja dengan baik ketika feromonmu mulai menggila ...," bisiknya sambil mengecup perlahan lekuk leher Avery dan tulang selangkanya yang tampak menggoda dengan gerakan natural.
Avery meremang dengan sentuhan-sentuhan bibir Dom. Ia tanpa sadar mendesah kecil. Sedetik kemudian, Avery merasa melayang karena tiba-tiba Dom membopong tubuhnya dan membawanya kembali ke atas ranjangnya untuk membaringkannya!
Avery terpekik kecil. "Dom, masih pagi!" bisiknya panik. Ia mulai tercekat karena tahu betul maksud Dom.
"Lalu kenapa? Aku hanya ingin 'merasakanmu' sekejap saja," gumamnya. Tanpa malu-malu lagi, Dom segera melumat bibir Avery dan menjelajahinya dengan liar.
Dom juga menyisipkan jemarinya pada belahan dada Avery dan memilin gemas puncak Avery yang telah menegang. Seperti merasakan candu manis, Avery seketika meremang dan mendesah di bawah tubuh Dom yang menindihnya. Ia tanpa sadar bereaksi dengan sentuhan-sentuhan Dom.
O ... oke, hentikan Dom! Teriak pikiran Avery.
Tidak, Sayang, aku tak ingin berhenti. Dan aku tahu kau juga menyukainya!
Doomm!! Kau masih harus menjelaskan semuanya!
Haruskah? Oh ... biarkan aku menikmati ini dulu, oke?! Jawab Dom dalam hati.
Dom masih mencumbui dan menghisap bibir Avery dengan penuh kenikmatan. Mereka saling membelit lidah dan bertukar saliva dengan liar. Hingga pada satu titik, Avery kemudian mencengkeram rambut halus Dom dan kembali berteriak dalam hati.
Aku kehabisan napas, Dom! Aku bahkan belum menyikat gigiku!! Teriaknya lagi.
Dom sejenak membeku, dan detik berikutnya ia melepaskan ciumannya lalu tergelak geli. "Serius, itukah yang bisa kau pikirkan?" tanyanya masih tak dapat menahan tawanya.
"Ya! Dan jangan selalu menyerangku dengan liar seperti itu. Serius, kau selalu menyerangku seperti ... seperti ...."
"Hewan liar yang kelaparan?" potongnya geli. "Aku memang hewan liar, Sayang," lanjutnya dengan menggoda. Ia mengusap bibir lembab Avery dan tersenyum jahil.
"Baiklah, sekarang persiapkan dirimu karena kita akan sarapan di bawah. Aku juga akan menjelaskan semua yang ingin kau ketahui," ucap Dom kemudian. "Jangan terlalu lama bersiap, oke? Aku tahu kau hanya membutuhkan waktu sekejap saja kali ini, karena siklus bulananmu telah berakhir semalam."
Avery mengerutkan alisnya. "Ck, kau kira siklusku secepat itu? Mengapa kau mengatakan hal seperti itu? Apa agar aku tidak protes saat kau menyerangku lagi?"
Dom kembali tertawa kecil. "Oh percayalah ... aku tahu semua tentang pasanganku. Aku dapat mencium dan mengetahui dengan mudah kapan kau sedang dalam siklusmu, dan kapan saat buahmu telah matang. Dengan begitu, aku bisa segera menumpahkan seluruh semen panasku padamu, Sayang," goda Dom dengan berbisik erotis sambil menggesekkan kejantanan kerasnya pada perut Avery.
"DOOMM!!!" protes Avery dengan merona sambil memukul bahu pria itu. Avery melotot dengan ucapan Dom yang begitu vulgar. Sedang Dom hanya tergelak penuh kepuasan karena berhasil menggoda pasangan cantiknya.
____****____