Karin tampak terkejut melihat Jeni yang duduk ruang makan dengan beberapa obat yang tergeletak di meja makan. Ia segera mengambil jejeran obat yang ia yakni untuk penghilang nyeri pada wanita.
Jeni berusaha merebut obatnya dari genggaman Karin akan tetapi nihil. Karin yang masih dengan raut wajah emosinya dengan cepat menepis tangan Jeni yang berusaha mengambil obat miliknya.
"Ini obat apa, Jeni? Jangan bilang kalau kamu berusaha menggugurkan janinmu!" sergah Karin dengan bola mata yang tampak terbelalak. Ia terlihat semakin dibuat emosi oleh tingkah Jeni.
"M-a-aku-." Jeni tampak gugup tak bisa berkata-kata.
"Jawab, Jeni!" Karin berbicara dengan hardiknya.
Jeni tertunduk sedu, pasang maniknya kembali basah oleh bulir beningnya. Ia berisaha mengeluarkan kata-kata meski pun akan terasa sulit.
"Aku harus tetap menjadi sarjana, Mah. Aku tidak ingin mengecewakan, Mamah." Jeni berbicara dengan terbata-bata diiringi suara isak tangis di setiap kata-katanya.
"Jadi benar kamu ingin menggugurkan janin ini? Kamu ingin menjadi pembunuh setelah menjadi pelacur!" Karin tak bisa lagi menahan emosinya. Ia semakin dibuat geram oleh tingkah anaknya sendiri.
Jeni hanya bisa tertunduk dan mengangguk pelan.
"Kamu benar-benar sudah gila, Jeni!" Karin menggantungkan tangannya di atas pinggang. Dengan bola mata melebar sempurna kemarahannya kian memuncak.
Karin memang tak habis pikir denga ulah Jeni, ia merasa sudah benar-benar gagal dalam mendidik Jeni. Dengan tubuh lemasnya, ia duduk di kursi yang berada di dekatnya. Ia menahan kepalanya dengan kedua tangan yang terasa pusing dan berat.
"Jeni, Jeni! Mengapa kamu menjadi seperti ini, Jen! Mamah tak pernah mengajarkanmu menjadi manusia sejahat ini, tapi mengapa kamu jahat sekali, Jen! Dia bahkan darah daging kamu, hasil dari perbuatanmu!"
Kali ini Karin tak bisa lagi membending air mata dan rasa sedihnya. Bulir bening di pasang maniknya luruh membasahi pipi.
"Hidup kita sudah hancur! Mengapa semakin dibuat hancur! Papah kamu yang telah mengawali kehancuran ini, Mamah pikir kamu yang menjadi harapan akan merubah pil pahit itu, tapi nyatanya kini semakin menambah luka di hati, Mamah."
"Saat ini kamu malah ingin menjadi seorang pembunuh. Jika janin itu bukan anak haram, suruh laki-laki itu bertanggung jawab agar kembali menikahimu."
Karin tampak menangis terseguk-seguk meratapi hidupnya yang dirasa hancur.
"Maafkan aku, Mah. Aku hanya ingin menghapus kegagalan ini. Aku harus menjadi sarjana sesuai dengan keinginan, Mamah." Jeni berbicara dengan lesu setelah beberapa menit membisu dalam tangisan.
"Tapi membunuh janin itu bukanlah jalan keluarnya!" tukas Karin. Ia tampak menyadari kesalahan anaknya yang memang harus diperbaiki.
"Janin ini tak bisa dipertahankan, Mah." Jeni menepisnya.
"Minta laki-laki itu menikahimu, Jeni!" tegas Karin penuh penekanan.
"Mas Jefri sudah beristri, Mah," balas Jeni lesu. Bagaimana mungkin ia meminta Jefri menikahinya sementara lelaki itu sudah beristri dan memiliki dua anak. Bahkan yang lebih parah lagi, Jefri adalah adik dari Wili yang notabene adalah kekasih yang sangat ia cintai.
"Ya Tuhan, Jeni! Kamu menang benar-benar sudah gila. Kamu menikah kontrak itu sudah gila, ditambah kamu kawin kontrak dengan lelaki beristri! Kegilaan kamu benar-benar parah, Jeni!" Karin tampak semakin menyesali kesalahan anaknya. Sungguh ia benar-benar dibuat tak habis pikir dengan ulah Jeni.
"Aku menyesal, Mah. Maafkan aku, aku dibayar satu miliar untuk melunasi biaya kuliahku dan biaya kita sehari-hari. Aku sadar aku salah, Mah. Maafkan aku yang saat itu telah gelap mata. Aku menyesa, sungguh aku menyesal, Mah," lirih Jeni meratapi kesalahannya. Ia bersimpuh di bawah kaki Karin, meminta ampunan ibunya.
Karin tampak menarik nafasnya dalam-dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan.
"Sudahlah, semua memang telah terjadi. Kita memang tak bisa memutar waktu guna mengembalikan keadaan." Karin tampak legowo. Ia meraih tubuh Jeni yang bersimpuh di bawah kakinya. Memeluknya dengan erat.
Karin kini tampak sadar dengan keadaan dan mulai menerima kenyataan. Pelukannya begitu erat, menenangkan perasaan Jeni yang tengah hancur.
'Jeni tak memiliki siapa pun di dunia ini selain aku. Hanya aku yang menjadi sandarannya. Bagaimana bisa aku menjauhi anakku sementara dia hanya memiliki aku dalam hidupnya,' batin Karin seraya mendekap anaknya.
"Maafkan, Mamah. Mamah sempat emosi dan tak sadar diri. Mamah tahu kamu melakukan ini demi, Mamah."
"Ini semua terjadi karena kehancuran yang telah Mamah berikan pada kamu, Jen!"
Karin berkata-kara diiringi isakan tangis di bibirnya. Pipinya tampak basah oleh air mata. Kedua ibu dan anak itu tampak saling berpelukan erat, saling menyesali satu sama lain.
Kini, mereka tampak legowo saling memaafkan satu sama lain. Menerima keadaan dengan hati terbuka.
"Kita selesaikan masalah ini berdua. Mamah akan membantumu, menemukam jalan keluarnya. Jangan bunuh janin itu karena dia tidak bersalah apa-apa," ucap Karin seraya melonggarkan pelukannya. Ia berbicara dengan lembut dengan Jeni.
Dengan bola mata yang tampak berkaca-kaca, Jeni tampak terharu dengan sambutan ibunya. Air matanya kembali luruh di pipi. Kali ini Jeni bukan lagi sedih karena meratapi nasibnya, melainkan turut terharu dengan sikap mamahnya yang kini telah mulai membuka hati.
"Terima kasih, Mah. Aku sangat menyayangi, Mamah," lirih Jeni seraya memeluk kembali mamahnya dengan erat.
Karin mengusap lembut punggung Jeni. Ia berusaha bijaksana dalam menyikapi masalah anaknya.
Ditengah-tengah rasa haru yang tengah dirasakan antara ibu dan anak itu tiba-tiba harus di potong oleh suara ketukan pintu yang terdengar dari arah luar.
"Permisi!"
Suara bariton tampak jelas memenggil dari arah luar. Tak bisa dipungkiri itu adalah suara Wili, sang kekasih Jeni.
"Itu seperti, Wili." Jeni tampak tegang seraya mengusap kasar pipinya yang basah.
"Temui saja dia. Dia anak baik," titah Karin dengan bijak.
"Mah, jangan biarkan Wili mengetahui masalah ini ya. Aku tak akan sanggup melihatnya terluka. Aku tidak pernah berniat melukai hatinya," pinta Jeni dengan memelas memandang wajah mamahnya sedu.
"Tentu, Mamah tak akan mengatakan ini pada siapa pun." Karin tampak menyetujui permintaan Jeni.
Jeni mengangguk pelan. Ia membersihakn wajahnya terlebih dahulu kemudian berjalan ke depan untuk menemui sang kekasih yang sudah menunggunya di depan pintu.
"Hai, Jen!" sapa Wili saat pintu rumah itu dibuka lebar oleh sang kekasih.
Wili tampak memeluk Jeni, ia kahawatir dengan keadaan kekasihnya yang semalam ia ketahui tengah sakit.
"Bagaimana dengan keadaanmu, Jen!" tanya Wili tampak khawatir. Ia melepaskan pelukan dan menatap wajah Jeni yang masih terlihat pucat dalam pandangannya.
"Aku sudah membaik, obat yang kamu berikan memang ampuh, Wil." Jeni beralasan.
Namun tiba-tiba saja selesai ia menjawab pertanyaan Wili, perut bagian bawah Jeni merasakan sakit yang sebenarnya. Ia memegang perut yang kini terasa sakit.
"Aww!" rintih Jeni seraya membungkuk karena rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan begitu dahsyat pada bagian perutnya.