"Ini mansionku. Letaknya jauh dari keramaian. Kenapa kamu bisa bersamaku karena semalam kamu mengendarai mobil sambil mabuk, lalu menggores mobilku. Mengenai barangmu aku tidak tahu. Pakaianmu yang sebelumnya kotor, pelayan wanitaku menggantikan yang baru," jelas Petra dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Dahi Olivia langsung berkerut mendengarnya. "Yang benar saja. Aku akui aku memang mabuk semalam, tapi rasanya tidak sampai menggores mobilmu," bantahnya keras.
"Jangan terlalu bersikeras, kamu bisa tertampar oleh kenyataan. Aku membawamu ke sini agar kamu tidak bisa kabur saat aku meminta ganti rugi," umpat Petra.
"Heh, jika memang begitu. Memangnya berapa yang harus aku ganti?" tanya Olivia sambil menantangnya balik.
Petra menyunggingkan senyum. "Bagaimana kalau hanya lima puluh juta?"
"Apa!" Kedua mata Olivia terbelalak besar, dia bahkan sampai menjatuhkan rahangnya. "Ha-hanya lima puluh juta? Mobil seperti apa memangnya sampai aku harus ganti rugi sebesar itu? Apakah dengan mengendarai mobil itu aku bisa langsung masuk surga?"
Petra berdesis sambil tersenyum tipis. Dia menoleh ke arah jendela dan berkata, "Itu mobilnya," ucapnya pada mobil sport hitam yang sedang terparkir.
Begitu Olivia menoleh ke arah yang Petra tunjukkan, kedua bola matanya semakin terbelalak besar bahkan rasanya hampir copot dari rongganya.
Olivia menelan saliva dalam-dalam. Dia tahu itu adalah mobil sport yang dirancang khusus yang hanya dikeluarkan beberapa buah saja tahun ini oleh sebuah brand besar.
Rasanya lebih baik mati mengubur diri saja setelah melihat mobil apa yang sudah dia gores. Tidak heran uang ganti ruginya sebesar itu hanya untuk memperbaiki sebuah goresan tipis.
Petra yang sedang memperhatikan ekspresi Olivia diam-diam tersenyum.
"Barang berharga apa yang kamu miliki?" tanyanya dengan memasang wajah serius.
Pertanyaan Petra membuat Olivia gugup gemetar. "Itu ... aku tidak punya barang berharga apa pun. Semalam adalah kecelakaan yang tidak disengaja. Mohon orang kaya sepertimu dapat berbelaskasih padaku," rengeknya sambil berusaha menarik sudut bibir.
Petra memperhatikan dengan seksama tubuh Olivia dari ujung kaki hingga kepala. Dia melihat ada sesuatu yang menonjol dari saku celana piyamanya.
"Apa yang ada di sakumu?" tanyanya sambil menaikan dagu.
Olivia menyentuh saku kirinya dan mengeluarkan isinya yang tidak ada apa-apanya. "Kosong," jawabnya sambil menunduk, tak berani menatap mata Petra.
"Saku sebelah kanan!" kata Petra.
"Ah, ini ... ehem," Olivia tampak sangat berat mengatakannya. Dia sampai bungkam untuk beberapa saat. "Ini hanya sebuah cincin kuno," ucapnya sambil berusaha menyembunyikan cincin tersebut dari Petra.
"Tunjukkan padaku," pinta Petra dengan nada memaksa.
Dengan amat sangat ragu, Olivia pun berusaha mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya dan memperlihatkannya pada Petra. Berharap pria asing dihadapannya ini tidak begitu mempedulikannya.
Petra beranjak bangun dan berjalan menghampiri Olivia. Dia menatap dari dekat sebuah cincin kuno dengan batu permata berwarna hitam.
Dia mengambilnya begitu saja dan memeriksa keseluruhan cincin kuno tersebut. Terdapat ukiran empat angka di dalam cincinnya.
"1222? Angka apa ini?" gumam Petra penasaran.
"Itu tahun di mana cincin ini dibuat," ucap Olivia sambil merampas kembali cincin miliknya.
"Cincin ini adalah cincin turun temurun dari leluhurku. Katanya dulu sekali pada tahun 1222 ada batu besar seperti meteor yang jatuh di depan rumah nenek moyangku. Saat batu besar itu akan diteliti, batu itu menghilang dan meninggalkan batu hitam kecil ini. Pada saat itu batu ini dipercaya bisa menghilangkan kutukan dan mengobati berbagai penyakit langka, lalu dibuatkan cincin seperti ini agar bisa menjaga para keturunan dari penyakit aneh. Tapi, aku rasa itu hanya mitos. Aku tidak begitu mempercayainya," ucap Olivia sambil menyunggingkan senyum dan menunduk menatap cincin ditangannya.
Jika memang benar cincin ini bisa mengobati penyakit, kenapa cincin ini tidak bisa menyembuhkan penyakit Ibu? (Batin Olivia)
Petra yang mendengar penjelasan Olivia termenung cukup lama. Dia mencurigai cincin itulah yang membuat Rex menghilang dan membuatnya sadar dengan cepat.
"Berapa harganya? Aku beli," celetuk Petra tanpa basa-basi.
"Eh?" Olivia sampai tercengang. "Cincin ini tidak aku jual dan memang tidak boleh dijual," katanya.
"Kamu tidak mempercayai cincin ini. Itu artinya cincin ini tidak berguna untukmu, kenapa masih ingin menyimpannya?" tanya Petra sedikit menyudutkan.
"Aku memang meragukannya, tapi begitulah wasiat dari keluargaku yang sudah turun temurun. Bahkan seharusnya aku tidak memberitahu siapapun termasuk kamu mengenai cincin ini," jelas Olivia sambil beringsut menjauh.
Aku kira dia tidak akan tertarik dengan cincin kuno ini. (Batin Olivia)
Petra menggeser tubuhnya dan kembali memepet Olivia di sofa. Dia menjadi sangat tertarik dengan cincin itu.
"Aku menginginkan cincin itu, siapa tahu akan sangat berguna untukku. Lagipula benda itu tidak berguna untukmu, kamu seharusnya memberikan pada orang yang membutuhkan, bukan?" cecar Petra, tak gentar membujuk Olivia.
Olivia segera memasukan cincin itu ke dalam saku celananya dengan sangat cemas. Dia berpendirian teguh jika menyangkut sesuatu pemberian leluhur.
"Tidak bisa. Jika cincin ini aku berikan pada orang yang bukan keturunan dari keluargaku, hidupku akan dipenuhi kesialan," kata Olivia yang masih bersikukuh.
"Kita hidup di zaman apa, kamu masih percaya dengan pembicaraan kuno seperti itu," kata Petra. Meski sebenarnya dia juga sangat mempercayai kesialan karena dia menyebut kepribadian ganda yang dialaminya sama dengan kesialan.
"Tidak peduli kamu bicara apa, aku tetap tidak bisa memberikan cincin ini pada siapa pun. Jika harus ganti rugi, aku akan membayarnya dengan uang. Aku harap kamu menghargai ucapanku." Olivia beranjak bangun sambil menatap sinis ke arah Petra.
Petra menghela napas panjang sambil menyentuh keningnya. Dia sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapatkan cincin itu karena dia harus memastikan dengan benar apa cincin itu memang bisa menangkal kutukannya.
Kalau begitu hanya ada satu cara. (Batin Petra)
Petra beranjak bangun dan menatap dalam kedua mata Olivia, lalu berkata tanpa ragu, "Tinggalah di sisiku."
Ucapannya penuh dengan maksud dan tujuan. Sorotan matanya yang dalam dan tenang pun seakan menaruh bahaya. Olivia menjatuhkan rahangnya dengan mata terbelalak.
Dia tidak tahu apa maksud dari perkataan pria asing di depannya ini. Membuatnya terkejut sedemikian rupa.
"A-apa?! Apa yang kamu bicarakan?" tanya Olivia gelagapan. Dia cukup terkejut mendengar pria asing di depan matanya tiba-tiba mengajaknya untuk tinggal di sisinya.
"Hanya untuk beberapa saat, tinggalah di sisiku. Aku memerlukan bantuanmu," kata Petra sambil mengendurkan kerah kemejanya dan menatap penuh keyakinan.
"Kerja sama apa? Kita bahkan tidak saling kenal. Kamu sedang berusaha untuk menipuku, ya!" seru Olivia sambil memelototi Petra.
Bukannya menjawab pertanyaan Olivia, Petra malah menyeret tangan Olivia ke luar mansion, lalu memaksanya masuk ke dalam mobil.
...
BERSAMBUNG!
Jangan lupa tinggalkan komentar dan power stonenya..